"Kau tidak lelah?" Tanya Johnny yang kala itu duduk bersebelahan dengan Yena di pinggir lapang basket.
"Aku dari tadi diam, kenapa harus lelah?"
"Maksudku, masih mau mengejarnya?"
"Siapa?"
"Kau, siapa lagi."
"Kau juga, kenapa malah menyudutkanku?"
"Aku tidak sedang menyudutkanmu, aku hanya bertanya."
"Masa?"
Johnny menarik napasnya dulu berat, memandang lurus kearah depan. "Kita sudah menyia nyiakan waktu untuk sesuatu yang seharunya tidak kita tunggu. Masih mau menunggu takdir menjemput dia untukmu? Kenapa tidak kita saja yang menjemput takdir untuk kita sendiri?"
Yena menatap tajam kearah Johnny. Mereka hanya saling tatap tanpa berkata apa apa lagi.
Hening sejenak sampai mereka berdua akhirnya sama sama tersadar.
Yena tersenyum kecut kearah Johnny. "Kau tahu sesuatu yang lebih lucu dari kata katamu barusan? Aku bahkan tidak tahu alasan dibalik kenapa harus dirinya. Kenapa harus dia yang aku kejar mati matian." Ada jeda disana, Johnny tidak langsung menjawab dan memilih diam memperhatikannya dengan serius. "Kau akan lebih menertawakanku lagi kalau tahu jawaban dari kata kenapa yang aku bilang barusan." Lanjut Yena memalingkan wajahnya.
"Kenapa aku harus menertawakanmu? Semua orang bebas tertawa, tapi tidak semua orang punya hak tertawa diatas kesakitanmu."
"Jangan mencoba menghiburku."
"Memang ya lelaki selalu salah dimata perempuan."
"Tapi kau selalu benar untuk dirimu sendiri."
"Maksudmu?"
"Hmm... aku selalu membenarkan semua yang tidak seharusnya dibenarkan dengan alasan apapun. Aku iri dengan sahabatku dulu karna dia merasa beruntung punya segalanya, terlebih dia punya seorang adik yang begitu perhatian dan menyayanginya dengan teramat sangat. Aku ingin mengambil apa yang dia miliki, apapun itu yang menyangkut dirinya, aku ingin, itu sudah menjadi obsesi dan tidak ada yang bisa mencegah keegoisanku dimasa itu. Aku terlalu serakah dan tidak berperasaan. Tapi pada akhirnya, aku tidak mendapatkan apa yang aku mau, aku tidak mendapatkan apa apa dari yang aku harapkan. Kenyataan seolah menamparku dengan begitu kerasnya, yang aku dapatkan setiap harinya hanyalah penyesalan dan perasaan bersalah... Aku menyesal tapi aku tidak bisa apa apa..."
Johnny menarik tangan Yena pelan, membawanya pergi ke tempat yang lebih tenang dan jauh dari keberadaan Mark dan Cio.
Johnny menarik Yena dalam dekapannya. "Menangislah. Bahuku lumayan nyaman buat dijadikan tempat bersandar."
Yena sedikit kaget, matanya membelalak sempurna, sambil memasang wajah yang cemberut, "Bisa bisanya."
"Eheeeee."
*
"Jadi,"
"Jadi apa?"
"Jadi kita kapan seperti mereka?" Tanya Lucas pada Jelly sambil melirik kearah kakaknya dan Mark.
"Aku tidak ingin seperti mereka." Jawabnya singkat tanpa berpikir.
"Kenapa?"
"Aku ingin seperti ini saja. Tidak harus menjadi seperti orang lain, kita jadi diri sendiri saja."
"Ya jadi bagaimana? Kau saja belum menerima perasaanku:(" Wajahnya yang tadi begitu semangat tiba tiba murung karna perkataan Jelly barusan.
Jelly menarik wajah Lucas yang cemberut. Dia terlihat sangat lucu kalau sedang begitu. "Kau masih saja butuh jawaban setelah apa yang sudah kita lalui? Jangan membuat perasaan sukaku jadi sekentara itu dong Lucas."
Moodnya gampang sekali berubah, seketika wajahnya jadi sangat bersemangat. "Aku boleh memanggilmu milikku--kan?"
"Hentikan Lucas, itu benar benar menggelikan."
Lucas hanya terkekeh mendengar perkataannya sendiri, juga saat melihat ekspresi Jelly yang menggemaskan saat dia bilang begitu. Lucas mencubit kedua pipi Jelly, "Uu gumushhh."
"Lucaaaas:("
"Iyaaa sayanggg?"
"Orang orang melihat kita:("
"Ya sudah, biar seluruh dunia tahu."
Jelly semakin tidak bisa berkata kata, wajahnya benar benar merah. Lucas hanya tertawa tanpa sebab, yang jelas dia sangat bahagia.
"Hei kalian sedang apa?" Tanya Mark, Cio mengekorinya dari belakang karnaa masih malu malu dengan adiknya sendiri.
"Kita sedang membicarakan kalian berdua, ya kan Jell?"
"Ahh tidak tidak, dia tuh yang membicarakanmu, aku tidak ikut ikutan."
Cio hanya tersenyum kikuk. "Aku pergi duluan ya."
"Ehhh mau kemana? Kenapa tidak pergi bersama saja?" Sahut Lucas. Cio menggelengkan kepalanya, "Tidak tidak, aku pergi duluan saja." Menarik tangannya Mark untuk pergi juga dari sana.
"Aku ikut kakakmu." Ucap Mark.
"Pergi sana pergiiiii!" Ujar Lucas kesal. Jelly hanya terkekeh, memberi senyum yang sedikit kaku kekeduanya.
Setelah Mark dan kakaknya pergi, Lucas terus memandangi keduanya yang mulai menjauh. Mereka terlihat tidak bisa menyembunyikan perasaannya satu sama lain. Benar benar melegakan, batin Lucas.
"Hei, kau jangan terus terusan mengganggu kakakmu. Kau ini apa apa menguntit, apa apa ingin tahu. Percaya saja, Mark kan temanmu. Tidak usah mengkhawatirkan apa apa, aku percaya kalau Mark memang sungguh sungguh dengan kakakmu."
Lucas hanya terkekeh mendengarnya. "Sebagai adik, aku hanya ingin memastikan kakak perempuanku bahagia dengan pilihannya. Tidak muluk muluk, melihatnya tertawa seperti itu, rasanya begitu melegakan. Meskipun sering sekali bertengkar, bahkan sering kali dia memukuliku karna kesal, sekalipun aku tidak pernah menaruh dendam padanya. Ah aku benar benar menyayangi kakakku."
Jelly mengukir senyum manis dibibirnya. "Ini yang membuatku semakin menyukaimu Lucas."
"Benarkah?"
"Tapi bohoooonggg."
"Ahhh Jellyyyyy:(("
"Apaaa?"
"Aku tidak mau bicara. Aku akan puasa berbicara denganmu."
"Coba saja kalau bisa."
Lucas benar benar melakukannya. Dia tidak menjawab perkataan Jelly setelah itu.
"Oh begitu. Yasudah aku pergi yaaa. Jangan mengikutiku yaaa. Daaahh."
Benar benar tidak bisa, Lucas menarik tangannya. "Aku menyerah:("
"😆"
"Jangan tertawa, kau tidak tahu apa kalau kau tertawa seperti itu orang lain mungkin akan jatuh cinta meski sekali melihatnya."
"Aku tidak percaya punya pacar tukang kerdus, pintar sekali belajar darimana?" Jawabnya sambil terus berjalan menadahului Lucas.
"Pacar? Yes akhirnya kau bilang aku pacar juga."
"Siapa bilang?"
":((("
"Iya iya terserah."
"Benarkah?"
Jelly sedikit berlari kecil. "IYAAAAAAA."
"AKU TIDAK DENGARRR."
"IYAAAAA LUCASSSSSS IYAAAAAA."
KAMU SEDANG MEMBACA
moccacino, mark lee (selesai)
Fanfictionkenapa harus moccacino? rasanya seperti aku harus menuang lagi gula agar rasanya sepadan. tetap saja, meskipun pahitnya menghilang, aku slalu mengharapkan dia jangan sampai pergi..