empatpuluh

355 37 2
                                    

"Kau mau aku belikan minum? Wajahmu kelihatan murung sejak tadi." Tanya Mark pada Cio. Sepulangnya dari tempat Milla, mereka memilih untuk berjalan sebentar diarea pertokoan.

"Aku hanya kepikiran Yena. Apa dia baik baik saja sekarang? Aku sempat membencinya sekali, tapi setelah tahu keadaannya aku benar benar merasa aku juga sudah berlebihan menyikapinya."

"Tapi kalau kau menyerah dengan Yena, kau mungkin akan kehilanganku."

"Apa aku terlihat egois?"

"Tidak. Bagiku yang lebih egois itu aku."

Cio menatap tajam kearah Mark. Dia tidak bilang apa apa lagi dan terus saja berjalan dengan keheningan.

"Anginnya terasa sangat dingin ya." Ucap Mark tiba tiba.

"Lumayan."

"Hmm."

"Kenapa? Mau memberikanku jaket yang kau pakai? Halah."

"Tidak, siapa bilang. Haha."

"-____-"

Mark menarik tangan Cio untuk mendekat, memeluknya dengan penuh hangat. "Yang kau butuhkan itu aku. Bukan yang lain."

Wajahnya yang merah benar benar tidak bisa Cio sembunyikan. Untunglah jalanan tidak terlalu ramai. Jadi mereka tidak terlalu fokus pada keduanya, pikir Cio. "Dasar. Kau jadi semakin pintar, belajar darimana?" Sindirnya.

Mark meletakan tangan Cio agar dia juga membalas pelukannya. "Kurasa ini sangat alami karna aku benar benar sedang jatuh cinta. Segalanya akan terlihat menggelikan, tapi aku menyukainya."

"Hei kau ini masih anak anak."

"Siapa bilang? Kau yang tidak tahu saja. Aku pernah tidak naik kelas waktu sekolah menengah. Waktu itu aku marah pada ayahku, tidak mau pergi sekolah dan belajar. Meskipun dia bisa saja melakukan segala hal agar aku naik kelas, aku menolaknya dengan cukup kasar:( aku menyesal karna akhirnya aku jadi terlihat muda sekarang kalau berada disebelahmu."

Cio hendak melepaskan pelukan itu sepihak. Namun Mark mencegahnya dengan lembut. "Jangan dulu beranjak. Sebentar saja. Sebentar saja Cio."

"Aku akan menunggu sampai kau mau menceritakan semuanya padaku. Jangan memendam semuanya sendirian. Kau masih mempunyaiku. Aku tidak akan kemana mana."

Mark sedikit mengangguk, memilih untuk tetap diam diposisi itu. Cio perlahan menepuk nepuk punggung Mark pelan. "Kalau kau mau menangis, menangislah, aku tidak akan menertawakanmu disituasi seperti ini."

"Tapi kau akan menertawakanku nantiii."

"Markkkk.."

"Hehehe. Iya. Tapi bahumu bekas menangis Yena, aku tidak mau menangis hari ini, lain kali saja:("

"Bisa bisanya."

"Apa?"

"Tidak tidak, fokus saja memelukku. Tidak usah pikirkan hal lain. Aku ingin melihatmu bahagia."

*

"Ayah datang lebih cepat. Ayah benar benar menghubungiku untuk bertemu kan? Bukan sekedar menanyaiku dengan hal aneh lagi?"

"Duduk dulu."

Mark menurutinya untuk duduk. Sepulangnya bersama Cio, Mark memutuskan untuk pulang kerumah karna ayah menghubunginya dengan cepat agar dia segera pulang.

"Kapan kau akan mulai belajar soal perusahaan? Ayah akan terus menunggumu."

"Ayah.." Mark menarik napasnya berat. "Baiklah, beri aku sedikit waktu lagi. Mungkin setelah lulus nanti, atau setelah aku melakukan apa yang aku ingin lakukan. Sebentar lagi saja, jangan terus mendesakku."

moccacino, mark lee (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang