Aku terpaksa ikut Yena kerumahnya. Tidak ada yang aku pikirkan selain ingin cepat cepat menyelesaikan tugas ini.
Yena berhenti mengetik dan mau mengambil minum dulu didapur katanya. Ingat kata kataku yang barusan? Aku sangat tidak nyaman disini. Terlebih beberapa foto yang tersusun rapi dimeja kamarnya membuat pikiranku jadi kemana mana.
"Aku yakin kau sudah menyadarinya. Tapi kau pura pura diam dan berlaga seolah tidak peduli." Yena kemudian duduk disebelahku sambil memberiku segelas air putih.
"Maksudmu?"
"Dalam hatimu pasti kau bertanya tanya, hubunganku dengan Mark."
"Kalau niatmu mengajakku kerumah hanya untuk itu, lebih baik aku pamit pulang. Aku tidak begitu peduli dengan nilai, aku bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapapun."
Aku hampir pergi dari sana. Tapi saat Yena kemudian bilang kalau, "Dengarkan aku dulu, atau kau akan menyesal selamanya."
Aku mengurungkan niatku untuk pergi. Lagian untuk apa juga aku se sewot ini.
"Mark tidak sekuat yang kau kira Cio. Dia anak yang sangat rapuh untuk saat ini."
"Hm, lalu? Maksudmu bicara begitu padaku?"
"Aku hanya ingin kau tahu. Jangan terlalu jahat padanya. Kau bahkan tidak tahu, setiap malam dia selalu susah tidur dan sering bermimpi buruk. Bahkan kadang dia bisa sangat cengeng."
"Kenapa kau bicara seolah olah kau mengenalnya? Foto itu?" Tunjukku pada salah satu bingkai.
Dia terlihat menghela nafas berat. "Dulu, aku begitu dekat dengan kakaknya, namanya Milla. Dia sahabatku. Aku tidak pernah bertengkar dengannya, sekalipun bertengkar kami cepat sekali baikan. Tapi hari itu Milla melihatku sebagai seseorang yang sangat dia benci. Aku tidak tahu kenapa.
Ternyata ada yang mengadu dombakan aku, bilang kalau Mark pacaran denganku. Milla marah karna aku tidak bilang apa apa dengannya, dia marah karna kenapa diantara banyaknya lelaki yang dekat denganku, kenapa aku harus memilih Mark, adiknya sendiri."
Aku memotong pembicaraannya sebentar, "Kau bilang ada yang mengadu dombakan? Siapa? Untuk apa?"
"Aku tidak tahu siapa, yang jelas orang itu menginginkan aku dan Milla berselisih. Tapi itu semua salah, Cio. Aku mungkin terlihat sangat dekat dengan Mark dulu, tapi perasaanku padanya sama sekali hanya sekedar perasaan sayangku dengan seorang adik laki laki, begitu pun Mark padaku.
Dan, ternyata bukan hanya itu yang membuat Milla marah. Milla juga menyangka aku berkhianat dengan Jeno setelah Mark, dia sangat menyukainya dan aku tidak tahu, dia tidak pernah bercerita apa apa padaku. Aku dan Jeno, kami hanya seorang teman lama yang hanya saling merindukan, itu saja.
Dimalam itu aku sangat menyesal tidak mencegahnya untuk pergi. Sampai aku mendapat kabar bahwa dia pingsan dijalan. Aku tidak menyangka itu betulan, dia tidak pernah bilang kalau kondisinya perlahan memburuk.
Aku tidak berhenti menangis saat itu, terlalu menyakitkan jika diingat. Mark marah padaku tanpa sebab yang jelas. Dia memutus hubungan dengan menganggapku sebagai orang asing.
Perlahan, seiring berjalannya waktu, dia mulai tahu kebenarannya. Kita sama sama menyalahkan keadaan tapi tidak tahu cara mendamaikannya. Aku tidak pernah menyerah untuk meminta maaf padanya, setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan.
Tapi aku sedikit lega, sekarang dia mau bicara padaku. Bukan hanya dia yang merasa kehilangan, aku juga kehilangan sosok sahabat, teman yang sangat dekat denganku."
"A--aku minta maaf, aku tidak bermaksud, tapi, kenapa kau menjelaskan semuanya secara detail padaku?"
"Aku hanya merasa, kau orang yang bisa dipercaya. Hari ini tepat satu tahun peringatan kematian kakaknya. Dia mungkin pergi kesuatu tempat untuk menenangkan perasaannya."
"Ss-atu tahun? Sudah satu tahun?"
"Iya. Waktu yang cukup lama."
*
"Cioooo!!!!! Itu pasti kelakuanmu!" Teriak Lucas. Aku tersentak kaget karna teriakannya langsung membuat jantungku serasa mau copot.
"Apaa sihhhh!"
"Lihat dapur jadi banyak asap kan! Kau sudah bosan hidup? Kesal sampai mau membakar rumah dan adikmu? Tidak begini caranya Cioooo!"
"Astaga aku lupa, aku sedang masak mie. Aku meninggalkannya sebentar untuk kekamar. Tapi:("
"Tapi sebentarmu itu lama Ciooo. Kalau cuma sebentar saja tidak akan sampai begini. Awas saja aku laporkan ayah sama ibu kalau pulang nanti."
"Jangann laah. Aku sedang tidak fokus. Anggap saja kejadian barusan itu hanya angin lalu. Sisanya biar aku yang bereskan. Kau hanya perlu tutup mulut."
"Lagian apa yang kau pikirkan sampai tidak fokus begitu hah?"
"Tidak, aku tidak memikirkan apa apa."
"Jangan bohong."
"Oiya ayah sama ibu kapan pulang katanya?"
"Sebentar lagi juga pulang."
"Ohhh."
"Jangaan mengalihkan pembicaraan Cioo!"
"Panggil aku kakak!"
Lucas tidak mendengarkan perkataanku barusan, dia memilih pergi setelah menyudutkanku dengan ketidak jelasannya itu. "Lucaaaaaas!!!!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
moccacino, mark lee (selesai)
Fanfictionkenapa harus moccacino? rasanya seperti aku harus menuang lagi gula agar rasanya sepadan. tetap saja, meskipun pahitnya menghilang, aku slalu mengharapkan dia jangan sampai pergi..