sembilan

510 92 1
                                    

Cio POV

.
.

Kalau sudah begini aku jadi canggung sekarang. Kenapa harus memelukku sih Mark.

"Kak, kau marah padaku?"

"Tidak, kenapa harus marah."

Dengan wajah yang cemberut, "Aku memelukmu, ya itu salahmu karna menakutiku."

Aku akhirnya terkekeh karna merasa tidak kuat melihatnya seperti ini.

"Aku benar benar takut, kalau malah menertawakanku."

"Maaf maaf, aku tidak sengaja."

"Aku pernah melihatnya dulu, dan itu menakutkan, makanya aku tidak mau berhubungan dengan hal mistis lagi. Aku jadi parno, dan kalau aku sampai tidak bisa tidur nanti, aku akan menyalahkanmu."

"Tadi kau bisa tidur, nyenyak sekali malah, aku tidak yakin kau tidak bisa tidur nanti."

"Hm-- kak!!! Tanganmu kenapa????" Dia tiba tiba meraih tanganku. "Kau terluka, kenapa tidak menyadarinya sih?!!"

"Aku tidak tahu, mungkin tidak sengaja menyenggol sesuatu tadi. Lagian sudah tidak apa apa kan, sudah mengering."

"Tidak bisa, luka tetap luka. Tidak semua luka yang dibiarkan itu bisa sembuh dengan sendirinya. Perlu diobati supaya tidak mengakar."

"Jangan berlebihan Mark, ini hanya goresan kecil, besok juga hilang."

"Tidakkk! Pokoknya kau tunggu disini. Aku akan mencari plester. Aku akan berlari jadi tidak akan lama."

"Tapi Mark-- tunggu Markkk!" Dia tetap berlari meski aku cegah, ah anak itu kenapa sih suka sekali membuat perasaanku tidak nyaman.

Aku menunggunya disini, untung ada tempat duduk, jadi aku tidak beku karna terus berdiri. Kenapa jadi dingin sekali sekarang. Tahan saja, tunggu Mark, sebentar lagi pulang.

"Mana tanganmu." Dia kemudian membersihkan tanganku terlebih dahulu dengan tisu basah, lalu memasangkan plaster dengan terampil.

"Itu kantong apa?"

"Ah iya, ini aku belikanmu Moccacino. Jelas bukan es yang kau suka, ini panas karna tidak mungkin aku membelikanmu yang dingin untuk sekarang." Dia memberikannya padaku.

"Kau beli rasa apa?"

"Rasa yang sama denganmu."

"Memang kau suka juga rasanya?"

"Tidak terlalu."

"Terus kenapa kau membelinya?"

"Aku hanya, ingin saja."

"Hm terserah saja."

Dia hanya membalasnya dengan tersenyum. Kemudian kami hanya sibuk dengan pikiran masing masing.

Tiba tiba aku kepikiran sesuatu. Sudah lama semenjak Lucas membahas masalah ini, aku ingin menanyakan padanya langsung.

"Mark."

"Kenapa kak?"

"Benarkah kau yang mendonorkan darah?"

Dia hanya diam dan seperti sedang berfikir. "Jawab aku Mark." Lanjutku karna dia tidak kunjung menajawab.

"Iya, tapi aku tidak ada maksud apa apa, aku hanya-- melihatmu membuatku teringat akan kakakku yang sudah meninggal."

"Ah maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya penasaran saja kenapa kau tiba tiba berteman dengan Lucas."

"Waktu itu aku melihatnya gelisah, aku menghampirinya karna merasa tahu apa yang sedang dirasakannya saat itu. Kemudian dia bercerita mengenai permasalahannya, ayah dan ibumu sedang diluar kota dan kau sangat butuh darah saat itu, sedangkan Lucas tidak bisa memberikannya karna kondisinya dia yang tidak memungkinkan."

Aku memperhatikannya dengan serius.

"Sampai aku merasa harus membantunya. Disana lah kami mulai berteman, tapi aku  baru tahu kalau kami itu sekampus, satu jurusan pula. Bahkan aku sama sekali tidak pernah bertanya padanya mau meneruskan kemana." Ada jeda disana, dan aku masih memperhatikan dia biacara. "Kau slalu salah paham padaku, menganggapku membawa pengaruh buruk pada Lucas, hm itu membuatku sakit."

"Itu karna kau slalu saja mengajaknya bermain game, dia itu tidak pernah belajar, hobinya main, makanya aku frustasi, aku takut kuliahnya sia sia."

"Bukan tidak pernah belajar, dia hanya jarang belajar, lagi pula dia pintar, kau kakaknya masa tidak tahu adiknya seperti apa."

"Tetap saja, belajar itu perlu kan, jangan mentang mentang sudah pintar jadi tidak mau belajar."

"Iya tapi orang itu kadang semakin dipaksa ya semakin tidak bisa diatur. Biarkan saja dia, lagian dia anak yang baik, aku tahu dan menjamin kalau dia bukan anak yang seperti dalam pikiranmu."

"Terus saja kau bela dia."

"Lalu aku harus bela siapa? Membelamu?"

"Tidak usah."

Dia terkekeh seperti biasanya. Sampai kata kata kami hanya menggantung disana. Kami kembali sibuk pada pikiran masing masing. Jadi, dia punya seorang kakak dan sudah meninggal, astaga aku merasa sangat jahat kemarin.

Jadi benar, dia yang mendonorkan darahnya untukku. Tapi aku masih merasa aneh kenapa dia bisa ada dirumah sakit saat itu? Sudahlah aku juga tidak berhak ingin tahu lebih, lagian itu sudah berlalu dan aku tidak ingin mengingat kejadian itu lagi, terlalu menakutkan.

Aku melihatnya sedikit berkaca kaca sekarang, bagaimana ini, aku pura pura tidak lihat saja.

"Ayok kita pulang saja."

"Ah, iya, sebentar." Dia membuka jaketnya, "Pakai ini, sekarang sudah sangat dingin, aku tidak mau kau sakit."

Aku tidak menerimanya, dia malah langsung memakaikannya untukku. Aku hanya mematung dan tiba tiba menjadi canggung.

"Tidak usah berlebihan. Aku kan sudah pakai jaket."

"Jangan barisik. Tidak usah pikirkan aku, aku kan anak laki laki, harus kuat, tidak boleh lemah. Biar aku tenang. Aku takut angin menggodamu dijalan nanti." Kekehnya.

Markk..

*

"Kau habis darimana kak?" Lucas sudah diambang pintu, menunggu kepulanganku. Aku tidak menjawabnya dan langsung masuk rumah.

Untung saja aku meminta Mark untuk menurunkan ku sedikit jauh dari rumah, jaga jaga jika ada Lucas, seperti saat ini. Apa jadinya kalau Lucas tahu aku barusan jalan dengan Mark. Ah aku memikirkan apa sih.

"Kau habis jalan dengan siapa?"

"Teman."

"Kau kan tidak punya teman. Jawab jujur."

"Aku punya teman, kau saja yang tidak tahu."

"Aku memang tidak tahu, jadi siapa teman yang kau maksud itu kak?"

"Kenapa kau ingin tahu sekali sih, sudah malam tidur sana."

"Kau yang harusnya tidur."

Ah aku ingat, jaket. Aku melirik bajuku sekilas dan ternyata aman. Oh iya tadi aku langsung memberikan lagi pada pemiliknya, untunglah, kalau Lucas tahu bisa bahaya.

"Berisik sekali."

"Barusan kak Johnny menanyakan mu, aku kira kau jalan dengannya, tapi sepertinya bukan, ada orang lain lagi kan? Yang kau maksud sudah menyukai pria lain itu siapa? Orang yang kau ajak jalan barusan?"

Aku tidak meladeni perkataannya dan langsung masuk kekamarku dengan cepat. "Kakkk!! Ciooo!!!"

moccacino, mark lee (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang