"Lucas!" Cio meneriaki adik laki lakinya itu dengan suara yang lantang. Masih terlalu pagi menghambur hamburkan tenaga untuk marah marah, tapi Cio terlalu emosi memendam amarahnya yang sudah sampai ke ubun ubun.
Lucas pura pura tidak mendengarnya, lalu berjalan dengan tergesa gesa.
Bukan Cio namanya kalau kalah dengan adik sendiri. Gadis itu berlari menghadang nya, menarik baju Lucas sampai dia menyerah juga akhirnya.
"Kenapa?"
"Masih tanya kenapa! Kenapa tadi malam kau tidak pulang kerumah? Kau kemana saja Lucas, kau tidak tahu betapa khawatirnya aku menunggumu pulang, kenapa tidak kasih aku kabar kalau kau tidak pulang, setidaknya kau bilang, aku juga tidak akan jadi marah marah begini kalau kau bilang dulu sebelumnya. Ini aku hubungi berkali kali tapi tidak dijawab, kau ini kenapa sih Lucas!"
"Aku pulang, tapi karna takut mengganggu mu dengan Mark, akhirnya aku pergi."
Cio masih tidak mengerti dengan perkataan Lucas.
"Haha sudahlah, tidak usah dipikirkan, lagian aku tidak kemana mana kok, aku tidur dirumah kak Johnny."
Cio mencoba mengingat kembali kejadian semalam.
Flashback
"Seperti biasa kau berhenti jangan didepan rumahku."
"Iya iya."
"Pokoknya kau langsung pulang, hujan barusan lumayan membuatmu kebasahan. Dan kau malah keras kepala memberikan jas satu satunya itu untukku! Mandi air hangat, makan dan langsung tidur."
"Utttutu perhatian sekali sih."
"Aku menyesal bicara seperti barusan padamu."
"Ehehe jangan begitu, akui saja kau memang memperhatikanku, tidak apa, aku malah senang."
"Terserah."
"Kak, Cio, hmm."
"Apa?"
Mark membuka helmnya dan mengaitkannya ditangan, CUP! Dengan sejumlah keberanian yang masih tersisa, Mark mengecup pipi Cio dan langsung kabur dengan motornya. "Sampai jumpa besokkk!" Teriak Mark.
Kemudian Cio hanya mematung disana. Bingung harus apa. Jantungnya seperti mau copot dan matanya serasa susah hanya untuk berkedip.
Flashback off
Cio menutup mata dan wajahnya yang merah karna merasa malu sendiri mengingat kejadian semalam. Setelah membuka mata, Lucas sudah tidak ada disana.
"Lucassss!!!!!" Walaupun mendumel tapi Cio tetap tidak bisa lupa akan kejadian malam tadi.
*
Cio tidak sengaja berpapasan dengan Johnny setelah sekian hari mereka berjauhan, lebih tepatnya Cio yang memberi tembok pada Johnny.
Johnny melewatinya tanpa basa basi, seolah dia memang tidak peduli. Tapi Cio, meskipun sedikit kesal dan canggung, akhirnya memulai pembicaraan duluan. "Tunggu Johnny!!"
Harus Cio akui, dia memang merindukan Johnny, sebagai sahabatnya. "Kau-- kenapa kita jadi begini?" Cio menepuk dahinya sendiri karna pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"Maksudku, ya, aku rindu kita yang dulu. Kenapa kita membuat tembok yang begitu tinggi sekarang?" Lanjut Cio tidak sadar bicara tentang dirinya sendiri.
"Aku hanya mempertahankan egoku sebagai seorang lelaki."
"Johnny tolonglah."
Johnny meraih tangan Cio kemudian menggenggam keduanya sangat erat. "Lihat aku sekali, lihat aku sebagai seorang lelaki, aku mencintaimu, apa pengorbananku selama ini masih kurang Cio?"
Cio masih mematung disana, Johnny kemudian tertawa getir, "Kupikir kau berbeda dari perempuan yang lainnya, tapi ternyata sama saja, kau bahkan tidak bisa lihat mana yang benar benar tulus mencintaimu dan mana yang hanya sekedar berlari kearahmu." Johnny melepaskan genggamannya.
"Satu hal, Mark yang selalu menempel disisimu itu tidak sebaik yang kau kira. Jadi hati hati saja." Johnny pergi dari hadapan Cio saat itu juga.
Cio mendengus, "Kenapa semuanya menyebalkan, berlebihan." Cio merengek juga akhirnya karna ini terlalu membuat perasaannya campur aduk.
*
"Selamat ya." Ucap Mark pada Cio yang sedang duduk termangu ditaman kampus.
"Mark!" Cio sedikit kaget karna kedatangannya. "Selamat- maksudmu?"
Mark duduk disamping Cio, "Kau sudah jadian dengan kak Johnny, aku akan berusaha bahagia untukmu."
"Astaga aku tidak jadian dengannya. Kau dengar berita burung itu dari siapa?"
"Aku melihatnya sendiri, tadi kau bergandengan tangannya dengannya erat, aku pikir kau pasti akan menerimanya saat dia mengutarakan semua perasaannya padamu."
"Dia memang mengakui perasaannya padaku, tapi aku tidak benar benar tidak bisa, dia itu sahabatku dari kecil Mark, aku harus bagaimana." Cio memeluk lututnya sendiri.
Mark menarik napasnya dengan putus asa. "Aku tadinya ingin marah padamu."
"Kenapa? Harusnya aku yang marah padamu karna kejadian sema--l--am." Cio merasa bodoh dengan kata katanya barusan, membuatnya sukses menanggung malu.
Mark terkekeh, "Benar benar tidak bisa marah kak."
"Markkk!!! Jangan dibahas lagi!!!"
Mark masih terkekeh, "Aku benar benar merasa cemburu sekarang."
"Jangan lagi Mark!" Cio mengerlingkan matanya.
"Aku tidak bohong. Rasanya aku ingin makan rumput ini saja."
"Makan saja kalau kau mau."
"Aku tidak suka rumput, aku lebih suka kak Cio."
"Kalau begini caranya, lebih baik aku menikah saja dengan lelaki lain agar tidak selalu diganggu bocah ingusan sepertimu."
"Kalau begitu, menikahlah denganku kak." Bisiknya tepat ditelingaku. Uhuk! Aku batuk karna tersedak mendengar perkataannya barusan.
Buru buru aku minum moccacino yang ada digenggaman tanganku sampai tak sadar sudah tinggal esnya saja.
Dia terus menatap kearahku karna aku malah mematung dan tak memberikan jawaban apa apa perihal bagaimana aku kepadanya.
Aku tahu dia senang sekali bercanda, dan mungkin ini hanya sekedar candaannya saja untuk menggodaku. Jadi kenapa aku harus terbawa perasaan seperti ini.
"Jangan bercanda padaku kalau kau tidak mau tanganmu ku buat patah."
"Tidak apa, lagian ada yang sudah lebih patah dari itu."
Aku mengernyit, "Hah?"
"Iya hatiku."
-____- Aku memilih mengalihkan pandanganku.
"Bagaimana? Mau kan kau menikah denganku? Aku sangat serius sekarang. Jadi jawab saja iya atau tidak."
Aku menghela napas terlebih dahulu,"Tidak Mark."
"Kenapa tidak?"
"Markkk! Tolonglah."
"Aku hanya tidak rela melihat kau menikah dengan pria lain." Dia menundukkan kepalanya. Aku merasa tidak bisa membedakan dia yang sedang serius dan dia yang sedang bercanda. Aku juga merasa ragu dengan perasaanku sendiri.
"Menikah tidak sebercanda itu Mark."
"Kau tahu aku senang bercanda. Tapi masalah perasaan, aku tidak pernah main main." Ucapnya masih dalam kondisi menunduk, dia terlihat begitu serius, meski tidak menatap mataku secara langsung, entah kenapa aku merasa kalau dia berkata jujur.
"Aku tidak bisa berkata kata. Astaga Mark tolonglah jangan seperti ini. Kau membuatku tidak nyaman."
"Maaf membuatmu tidak nyaman dengan tiba tiba mengajak menikah. Tapi, bagaimana kalau kita pacaran saja?" Dia memasang senyum kaku, tapi tiba tiba disusul dengan senyuman lebar yang disertai kekehan.
Astaga harus ku apakan anak satu ini. "Kau mau aku hajar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
moccacino, mark lee (selesai)
Fanfictionkenapa harus moccacino? rasanya seperti aku harus menuang lagi gula agar rasanya sepadan. tetap saja, meskipun pahitnya menghilang, aku slalu mengharapkan dia jangan sampai pergi..