duapuluhempat

299 49 2
                                    

Author Pov
.
.

Dingin malam ini begitu menusuk hingga ketulang. Sepi tidak terlalu membantu menenangkan perasaan yang sudah membaur bersama luka.

Jam ditangannya sudah menujukkan pukul satu dini hari. Badannya lelah, dan matanya mulai memerah. Pikirannya sudah ingin tidur dan berkelana dibawah mimpi. Tapi hatinya menolak untuk pergi.

Dia masih disini, ditempat biasa yang selalu dia kunjungi kalau sedang rindu. Rumah sakit.

Sedikit aneh, tapi kenyataannya memang begitu.

"Kau sedang apa disini?" Tanya salah satu satpam yang sedang berjaga disana. Mark masih diam dan tidak menjawab apa apa. "Menunggu pasien? Kenapa tidak diruangannya? Disini sepi lho jarang ada orang lewat. Apa kau tidak takut?" Lanjutnya.

Mark hanya tersenyum simpul. Dia tidak bicara apa apa selain kembali pada lamunannya.

"Kalau mau melamun jangan disini dek, bahaya nanti kalau kesurupan gak ada yang nolong."

"Bapakkkk! Jangan nakut nakutin gitu lho. Ini saya lagi sedih."

"Bukan nakut nakutin tapi emang bener kan apa yang bapak bilang."

"Yasudah kalau begitu, bapak temani saya disini sebentar."

"Kok jadi bapak yang ikut ikutan."

"Ya abisnya bapak malah nakut nakutin saya." Jawabnya, jelas Mark itu penakut tapi dia tidak ingin meninggalkan tempat ini dulu sebelum rindunya benar benar terobati.

"Iya bapak temani sebentar ya, sebentar, bapak harus kerja lagi sudah ini."

Mark tersenyun sumringah. Akhirnya dia tidak terlalu sendirian untuk malam ini.

"Bapak boleh tau kenapa adek ada disini malam malam?"

"Jangan panggil adek pak, saya sudah gede."

"Terus panggil apa? Om?"

"Ya gak om juga pak."

"Ya apa dong."

"Terserah bapak aja mau panggil apa."

"Lupakan saja soal nama panggilan. Jadi kau kesini ada urusan apa? Kenapa sendirian disini kalau takut."

Mark sedikit berpikir, menghela napas dalam dalam. "Saya lagi kangen."

"Kangen siapa? Pacarnya? Kalau kangen ya ketemu dong."

"Bukan, kakak saya. Dia sudah meninggal."

"Innalillahi."

"Dia orang paling hebat yang pernah saya kenali. Sampai kehebatannya untuk terlihat baik baik saja mampu mengelabuiku. Dia menyimpan semuanya sendirian. Sendirian tanpa menceritakan apapun."

"Memangnya dia kenapa?"

"Dia sakit. Asmanya diperparah karna dia jarang berobat dan kontrol ke dokter. Dia slalu bilang kalau dia baik baik saja, dia sudah sembuh. Tapi kenyataannya dia selalu bersembunyi dibelakangku kalau penyakitnya kambuh. Saya menyesal waktu itu membiarkannya pulang sendirian malam malam."

"Kenapa kau membiarkan dia pulang sendirian?"

"Saya tidak tahu. Saya sudah menunggunya ditempat biasa, tapi dia tak kunjung menemui saya. Sudah mencoba menghubunginya berkali kali tapi dia tidak menjawabnya. Dia tidak pernah mau diantar siapapun kecuali saya. Tapi malam itu dia lebih memilih naik taksi dan entah situasi apa yang terjadi dijalan sampai asma nya kambuh dan supir taksi juga tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.

Dia langsung membawa kakak saya kesini. Beberapa hari dia dirawat, kondisinya mulai membaik, tapi tiba tiba, disini, ditempat ini, saat kami sedang berbincang berdua layaknya seorang kakak beradik, dia bilang pada saya 'boleh aku mengusap rambutmu? Aku takut ini kali terakhirku bisa seperti ini bersamamu.'

moccacino, mark lee (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang