empatpuluhsatu

362 34 2
                                    

Cio POV

.
.

Aku tidak tahu semua bermulai dari mana. Dari kapan aku mulai menyukainya sedalam ini. Dia terlalu mengganggu pikiranku setiap harinya. Aku tidak mengerti kenapa, tapi dia benar benar terus ada dikepalaku setiap kali aku mencoba ingin lari darinya.

Pertemuan pertamaku yang hanya dia sendiri yang tahu.

"Ada masalah?" Tanya Mark yang waktu itu duduk bersebelahan dengan Lucas di salah satu tempat tunggu pasien.

Lucas melirik kearahnya dengan nanar dan wajah yang sudah terlihat sangat pucat. "Kakakku butuh darah, sedangkan aku tidak bisa mendonorkan darahku untuknya. Bagaimana pun aku begitu mengkhawatirkannya." Sambil mengacak rambutnya yang sudah berantakan.

"Golongan darahnya?"

"AB. Orang tuaku sedang dalam perjalanan kesini. Tapi akan memakan waktu cukup lama, sedangkan kata dokter harus dapat golongan darah yang sama dengan segera."

"Aku akan melakukannya."

"Kau?"

"Iya, aku akan melakukannya untuk kakakkmu. Kita lakukan sekarang juga kalau kau ragu dengan golongan darahku. Semoga benar benar sama."

"Jangan bercanda."

"Aku serius."

Kemudian setelah kesembuhanku, setelah cukup lama juga diwaktu itu. Lucas membawa pulang seorang teman baru dari masa ospeknya kerumah.

"Namanya Mark. Bersikap baiklah pada temanku."

Aku melihatnya biasa saja, tapi perasaanku menolak menjadikannya seseorang yang seperti itu. Dia mungkin lebih muda dariku, tapi rasanya aku seperti.. tidak bisa bohong dengan diriku sendiri. Tatapan matanya yang terlihat sayu kala itu membuatnya terlihat teduh, tawanya yang menyenangkan membuat perasaanku tanpa sadar menghangat.

Ini diluar kendaliku. Aku tipe orang yang tidak percaya akan cinta pada pandangan pertama. Karna kupikir bagaimana bisa seseorang bisa jatuh cinta dengan waktu yang sesingkat itu. Tapi setelah merasakannya sendiri, aku menyadari satu hal, bahwa tanpa perlu hitungan hari, aku bisa menyukainya hanya dalam beberapa detik. Jangan tanya kenapa, aku pun tidak mengerti..

Sekarang, kalau diingat lagi ketika pertama kali bertemu dengannya, setelah apa yang sudah aku lalui bersamanya, aku banyak bertanya pada diriku sendiri, ini sebuah kebetulan atau memang takdir? Aku tidak ingin bilang ini semua hanya kebetulan semata, tapi bilang kalau ini semua adalah takdir pun aku takut terlalu sok tahu dan mengada ngada.

Dia, adalah sesuatu yang aku syukuri keberadaannya, sesuatu yang aku senangi disetiap perjumpaannya, juga sesuatu yang aku tangisi disela terlukanya.

Aku ingin terus melihatmu tertawa seperti itu.

"Hey kau hanya akan mematung disana? Cepat kemari!!!" Teriak Lucas disebrang sana bersama Mark. Aku yang daritadi hanya mematung kemudian menghampiri mereka berdua dengan detak jantung yang semakin berdebar.

Aku tidak tahu harus apa, rasanya begitu gugup dan tidak bisa mengontrolnya dengan baik.

"Aku ingin ketoilet sebentar." Ujarku lalu pergi darisana seperti yang sudah tahu saja arahnya akan kemana.

"Hey kau tau toiletnya dimana?" Tanya Lucas.

"Biar aku antar." Ucap Mark, ya ini kan memang rumahnya, harusnya dia bilang begitu dari tadi. Apa sih, aku jadi makin berpikiran yang tidak tidak.

"Yasudah sana."

Mark membawaku kedalam, sedangkan Lucas menunggu kami ditepi kolam renang.

"Disini."

moccacino, mark lee (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang