4

11.7K 283 6
                                    

Hidup memang sudah terbiasa dengan kekejamanya

___________¤¤¤_____________

Ketika kokok ayam menderu, Mai sudah siap dengan seragamnya. Ia memakai kaos olahraga berwarna kuning, bercelana hitam dan tak lupa membawa topi terompet dari kertas karton buatanya sendiri, ditambah rentetan kalung dari permen menggantung di lehernya. Biasalah ... masa-masa OSPEK memang selalu berbaur dengan hal-hal aneh.
Mai membuka pintu parkir. Di muka pintu ruang tamu, Rusman, kakeknya sudah berada diatas motor hendak mengantarka Mai ke kampus. Darmi pun mengingatkan untuk mereka agar berhati-hati di jalan. Sementara petang masih menyapa, dua manusia itu membelah jalan menuju kampus. Dinginnya subuh bersungut, Mai merasa sangat merepotkan keluarga Darmi. Tangan-tangan ringkih itu seharusnya masih berkutat dalam dzikir di kediamannya. Tapi kata neneknya tak mengapa, toh hanya beberapa hari saja.

Pintu gerbang kampus sudah menyambut. Sudah banyak mahasiswa bertaburan disana. Sebagian dari mereka berduyun-duyun berlarian menuju masjid. Hendak solat karena mungkin dirumah tak sempat sebelum panitia berteriak, meminta mereka cepat.

"Maturnuhun, Mbah. Sudah nganterin Mai." Tangan keriput itu pun diraihnya. Ditempelkanya pada pipi.

"Iya. Kamu yang hati-hati. Nanti pulangnya langsung naik bemo saja. Jam sepuluh masih ada bemo kok. Ndak usah hawatir. Nanti kalau sudah sampai di depan Giant. Telpon saja. Nanti Kakek jemput."

"Iya kek. Mai berangkat dulu." Mai berlarian sambil menenteng topi uniknya memasuki gerombolan manusia disana.

Rusman pun melajukan motor puluhan tahun itu dengan hati-hati. Ia kembali pulang. Kegiatan OSPEK begitu menyita tenaga Mai. Mulai dari pembekalan sebelum kuliah sampai melakukan hal-hal aneh :,makan hanya boleh dengan nasi, minum boleh satu teguk saja, Mai juga tidak boleh kehilangan atribut ospek satupun, atau waktu salat yang berkisar sepuluh menit dalam antrian panjang. Beruntung, Mai tidak terlalu dikerjai senior. Hanya saja dirinya tadi pura-pura pingsan, usaha menggagalkan hukuman untuknya dari panitia.

Mengesalkan memang. Sudah hampir jam merayap pukul sembilan malam, Panitia OSPEK masih belum juga mengijinkan mereka pulang. Mai mencoba untuk tidak merepotkan kakeknya dengan pulang jalan kaki selepas naik angkutan. Jalanan menuju rumah Darmi begitu ramai, jadi Ia tak begitu takut, hanya di salah satu gang membuatnya perlu berlari. Gelap karena kurangnya pencahayaan.

Kendati kakinya sudah penat. Gadis itu yakin, kakeknya pasti lebih lelah darinya. Ia tidak mau menggangu waktu istirahat sang kakek.
Pukul 10.00 kakinya merayapi halaman rumah. Dengan topi kuning dan seragam senada yang dipakai, sedikit menimbulkan tanda tanya para tetangga. Baru setelah ia menjawab, mereka mengangguk-angguk.

"Ow, Ospek tow" Tidak hanya penat yang didapat, pun sepatu yang dipakai meninggalkan luka lecet. Harganya yang murah tak mampu memberinya kenyamanan.

"Loh, Mai. Kok nggak ngabarin. Tau gitu Mbah jemput kamu tadi."

"Maaf, Mbah. Hp Mai batrei-nya habis." Sang kakek mengajaknya berbincang sebentar, sementara ia melepas sepatu dengan hati-hati.

"Tadi Mbah mu nunggu kamu, sekarang sudah pada tidur. Pintu parkir kunci ya, Ndok. Surya ndak pulang kayaknya."

Mai pun mengiyakan dari luar. Sepatu diletakkanya di rak. Depan pintu parkir.

Sudah tak tahan rasanya tubuh itu ingin dialiri air. Lelah bercampur lengket. Belum lagi lapar dan dahaga ditahanya sejak tadi. Besok seperti shubuh tadi, dirinya juga harus bersiap mengikuti ospek. Tiga hari baginya sangat lama jika kegiatannya hanya pembentakan, dihukum. Kata mereka, Ospek itu upaya penguatan mental. Tapi dengan dibentak-bentak, disuruh ini itu dengan tidak masuk akal, hanya karena permen ting-ting-nya hilang lantas mereka memintanya untuk menirukan suara ayam berkokok. Apalagi meminta memakan permen dari mulut ke mulut. Mai rasanya mau muntah. Itukah yang disebut penguatan mental? bukanya sama saja mereka diajari kekerasan dan hidup kotor.

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang