8#

8.4K 210 3
                                    

Mai tidak pernah menginginkan Aminah lebih mencintainya dibanding Sarah. Tapi yang diinginkan gadis itu hanyalah kesetaraan kasih sayang. Aminah begitu pilih kasih padannya. Ia seperti terjajah dalam kedukaan panjang.

Hatinya perih, ketika Aminah mengatainnya pelit. Ketika itu Sarah sedang dilarikan ke rumah sakit hendak melahirkan. Hampir dua hari tak ada kabar dari rumah sakit. Sedangkan yang mampu menghubungi Sarah hanya dirinya.

Hanya Aminah dan Mai yang berada di rumah. Aminah tak segan memakinya ketika tak bisa menghubungi Sarah dan menangis meronta seakan Mai ini penjahat di sana. Padahal Mai sudah beberapa kali menelpon Sarah, tapi tak diangkat. Aminah malah mengatainya yang tidak-tidak. Membuatnya dalam situasi sulit.

Buyutnya itu khawatir sekali dengan cucu kesayangannya. Tetapi apakah rasa khawatir itu pernah terbagi untuk seorang Mai? Jawabannya ... entahlah.

Setelah Mai hampir berpuluh-puluh kali menghubungi Sarah. Baru sebuah pesan masuk di ponselnya dan menyatakan bahwa Sarah harus menjalani operasi Caesar. Tekanan darahnya tinggi, dan bayinya beratnya 400 gram, disisi lain bayinya juga kembar, jadi tindakan Caesar memang sudah tepat.

Satu minggu setelahnya Sarah dibawa pulang dengan dua bayinya. Mai mencuci banyak piring malam ini. Banyak tamu yang berdatangan untuk menengok bayi Sarah.

Aminah juga makin sering memanggilnya. Menyuruhnya melakukan banyak hal. Yang Mai tidak suka, kenapa yang harus membeli bakso empat puluh bungkus harus dirinya, mengapa Neneknya tidak menyuruh Surya, yang sibuk mengobrol dengan para tamu.

Tak hanya Aminah, Darmi juga berubah menjadi menjengkelkan. Neneknya seolah memperlakukannya seperti pembantu. Yang tanpa gaji tentunya. Tapi gadis itu tetap saja harus menahan rasa sakit hatinya. Ia juga sadar diri. Nenek itulah yang merawat ibunya sejak kecil. Dari menyekolahkan ibunya, sampai membiayai pernikahan ibu dan bapaknya.

Di luar banyak sekali tamu. Nenek Minah juga ikut nimbrung. Samar-sama Mai mendengar dari dapur, karena letaknya tak begitu jauh dari ruangan itu. Aminah tertawa keras dengan para tamu. Sesekali gadis itu mendengarkan obrolan mereka.

"Ya kalo baju bayinya Sarah, biar Mai saja yang nyuci. Hahahaha," Ah. Suara itu terlalu menikam untuk didengarnya. Hatinya sudah teramat perih. Mendengar kalimat itu seperti mendapat lelehan lilin yang membuat sakit hatinya membuncah saja.

Gadis yang sedang mencuci piring itu sama sekali tidak ada yang membantu. Bau bakso menusuk hidungnya. Tangannya penuh dengan tumpukan piring. Ia sendiri pun yang menata di rak meja sebelum nanti dikeringkan.

Nenek Darmi juga sedang mengurus bayi-bayi Sarah. Sedang kakeknya sudah lelah menemani para tamu dan istirahat di kamarnya.

Hampir Maghrib Mai masih bergelut dengan piring. Karena relasi Sarah dan suaminya silih ganti berdatangan.

Piring yang di cuci Mai pun lebih dari seratus orang. Itu dalam sehari. Tangannya ngilu. Tubuhnya terasa kaku.

Gadis itu menggaruk keningnya yang gatal dengan punggung telapak tanganya. Kedua tangannya memegang piring. Suara langkah kaki membuatnya menoleh.

"Sini Mai. Biar aku bantuin." Suara Surya mengusik lamunan Mai yang ingin cepat pulang kampung. Entah kenapa Mai tidak suka dengan senyuman Surya. Itu seperti yang membuatnya bergidik. Tapi ia enyahkan saja perasaan itu. Tidak baik baginya berpikir tidak-tidak.

Gadis itu dengan senang hati menerima bantuan sang pemilik suara. Mai yang bagian memberi sabun dan membilasnya. Sedangkan Surya hanya mengeringkan lalu menaruhnya di rak.

"Itung-itung buat latihan kamu Mai. Kamu kan juga pasti berumah tangga nantinya." Kata-kata dari Surya itu juga sering ia dengar dari Darmi. Tapi bagi Mai. Itu hanyalah alasan untuk Neneknya bermalas-malasan, dan membebankan semua pekerjaan rumah untuk di kerjakannya sendiri. Atau mungkin Mai yang terlalu berpikir negatif pada Neneknya yang ia pikir mulai suka menyuruh-nyuruhnya dengan sesuka hati.

Yang Mai tidak suka ketika di rumah itu dirinya tidak bisa membantah. Menyuarakan hatinya yang sakit. Semua pekerjaan rumah harus Mai yang mengerjakan.

Ia mulai begitu lelah dengan hidupnya. Mereka menyuruh Mai tapi juga memberi kritikan untuknya. Entah piringnya masih berbau sabunlah. Sarah juga mengeluhkan lantai yang kurang bersih jika dirinya yang mengepel.

Kalau di rumah Mai sendiri. Ia merasa hidup bebas. Bisa memaki-maki adiknya dan juga mengeluh pada orang tuanya jika ia beri tugas mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.

Mai hanya bisa berharap untuk Aminah segera pulang ke rumah asalnya. Ia sudah tidak betah Buyutnya itu berada satu kamar denganya. Meskipun Mai sudah melakukan hal-hal baik padanya, tetap saja, Sarahlah yang selalu di nomor satu kan. Kalau ia malah tak memiliki nomer di hati sang Buyut.

***

Tak terasa, malam mulai merambat pukul sebelas. Sudah tak terdengar lagi suara-suara yang menurut Mai berisik. Tamu-tamu Sarah sudah meninggalkan rumah sejak pukul sembilan tadi. Saatnya merenggangkan otot.

Malam ini Mai sendirian di kamar, Aminah tidur dengan cucu kesayangannya. Sarah.

Direbahkannya tubuh penat itu. Matanya mulai sedikit terpejam, Mai tiba-tiba berlari ke kamar mandi. Perutnya mulas. Dan perutnya pun terasa kembung. Mungkin gadis itu terkena masuk angin. Hampir delapan kali, gadis itu hilir mudik ke kamar mandi. Hingga Darmi menyuruhnya untuk membuat teh panas.

Dalam hati gadis itu menggerutu. Kenapa bukan Neneknya saja yang membuatkan teh untuknya?
Kenapa mereka tidak sedikitpun menyumbang perhatian untuk dirinya.

Mereka hanya sibuk dengan Sarah. Mengapa ketika Sarah sakit, ia yang harus mengurusnya. Apalagi Neneknya jika badannya pegal. Tangannya lah yang memijitnya. Mai hanya merasa semua terasa tak adil baginya.

Tiba-tiba ada Surya sudah berada di tempat dirinya berbaring. Dengan berani Ia memegang dahi Mai.

Mai pun membuka matanya. Ia sedikit kikuk di perlakukan seperti itu. Gadis itu tidak pernah dekat dengan laki-laki sedekat apa yang di lakukan Surya kepadanya.

"Badan kamu panas Mai. Sebentar Om ambilkan obat."

Mai yang masih berbaring mengiyakan. Surya begitu baik padanya. Bahkan mau membelikanya obat. Di banding neneknya yang hanya mengingatnya ketika badannya  pegal saja.

***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang