32

5.4K 140 3
                                    

Angin malam tidak sedikitpun membuatnya kedinginan. Kota yang di tinggalinya saat ini tidak menyediakan angin yang ia rasakan di desa. Ataupun air yang membuatnya menggigil. Kota ini terlalu panas baginya. Mai baru saja pulang dari kampusnya pukul delapan malam.

Besok adalah hari dimana pelaksanaan seminar proposalnya dilaksanakan. Mai tentu harus ngebut belajar untuk menguasai apapun tentang skripsinya tentu hanya dengan waktu satu malam. Gadis itu mengira jika jadwal pelaksanaan seminar proposalnya tak akan secepat itu.

Setelah Mai selesai membersihkan tubuhnya. Ia segera bergegas untuk shalat Isya' sekaligus makan malam. Dan ia memutuskan untuk mengistirahatkan diri selama satu jam, baru setelahnya ia akan belajar.

Dalam tidurnya, Mai tidak benar-benar tidur. Pikirannya melayang mengudara, akan kemanakah kakinya setelah ia lulus melepas status mahasiswanya? Akankah ia menjadi seorang guru seperti yang diminta oleh Sarah? Yang jelas ia akan merasa senang jika sudah lulus nanti, ia akan pergi dari tempat yang ditinggalinya saat ini.

Alarm hp-nya sudah tak memanggilnya lagi. Mata Mai mengerjap beberapa kali. Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Lalu sebotol aqua diraihnya di atas nakas, diminumnya beberapa teguk.

Mai sadar total ketika jam di hp-nya menunjukkan pukul dua belas malam.

Apa yang harus dilakukannya dengan waktu sesingkat itu! Pukul delapan pagi, Mai harus sudah dikampusnya! Sedangkan ia belum membuat Slide Power Point! Mai juga belum sempat belajar, karena tadi siang ia di sibukkan mengurus keterlambatannya membayar uang UKT.

Mai segera meraih laptopnya. Diambilnya mouse yang sudah menemaninya beberapa bulan lalu. Keyboard manual yang dibelinya pun dicolokkannya segera. Laptopnya memang sudah hampir mirip seorang pasien yang butuh perawatan darurat. Biar bagaimanapun Mai tetap memakainya.

Lama ia menekuri layar monitornya, Mai sudah membuat beberapa slide power point. Entahlah, Mai begitu santai padahal besok seminar proposalnya menanti. Dengan malas ia mengambil proposal yang sudah dari tadi ia letakkan diatas lemarinya dan baru hari ini disentuh olehnya. Ia berdoa saja, semoga Mr. Dahlan mempermudah ujian proposalnya.

Sudah hampir pukul satu. Tubuhnya sudah merasa lelah setelah satu jam berkutat di depan laptopnya. Ia segera berdiri dan berbaring sebentar sambil browsing di internet, ia hendak mencari kalimat sambutan yang pas untuk mengawali presentasinya besok.

Lama ia menekuri ponselnya sambil menekuk kakinya dan menyandarkanya pada dinding. Tiba-tiba ada kilatan yang bukan berasal dari langit. Mai memekik kencang sambil menutup wajahnya.

"Arghhhhhhhh!"

Mai tahu betul, itu adalah kilatan yang dihasilkan dari sebuah kamera. Mai melihat dengan mata kepalannya sendiri. Sebuah ponsel besar masuk dari celah ventilasi persegi panjang yang ada di depan atas tempatnya berbaring. Kilatan itu pun disertai bunyi khas sebuah ponsel menangkap gambar! Dan suara pintu terbuka arah menuju ruang tamu pun terdengar di telinga Mai. Mai hapal betul, jika ada yang hendak masuk ataupun keluar dari kamar mandi pasti akan melewati pintu itu terlebih dahulu. Pintu itu akan meninggalkan suara, dimana setiap pintu itu terbuka, pasti ada seseorang yang melewatinnya. Yang jelas, Mai sudah menangkap ciri ponsel itu, yang mana berwarna hitam dan bersilikon gambar Doraemon.

Mai benar-benar ingin mengamuk saat itu juga! Tapi tubuhnya membatu. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya entah pergi kemana. Tubuhnya membatu hingga hampir setengah jam. Otaknya mengulang-ulang apa yang dialaminya tadi. Apa yang dialaminya tadi adalah bentuk kekurangajaran seseorang! Bagaimana mungkin ada orang yang tega mengambil potretnya tengah malam seperti ini. Siapa yang tega melakukan hal ini padannya?! Bagaimana jika ini sudah terjadi berkali-kali dan Mai baru menyadarinnya malam ini?! Ah, Mai. Kenapa ia begitu ceroboh sekali.

Mai juga penasaran, bagaimana orang yang kurang ajar pada Mai itu bisa mengambil gambarnya, padahal setau Mai dinding itu cukup tinggi. Dan Mai baru teringat, jika ada tempat khusus untuk meletakkan wajan penggorengan ada disekitar dapur yang mana tatakan itu bersandar dibalik dinding kamar Mai yang diatasnya ada dua ventilasi kecil tempat mengurangi pengap kamar Mai. Mai tidak menyangka, ventilasi kecil sialan itu bisa menjadi jalan tangan si brengsek itu menjalankan aksinya.

Mai masih saja tertegun dengan apa yang dialaminya. Tangannya segera membanting buku-buku yang ada di atas almari. Termasuk proposal seminarnnya. Semua dibanting dan sengaja ia benturkan pintu. Biar orang itu tau kalau Mai murka.

Harga diri Mai terasa disayat-sayat. Ternyata Mai salah, dengan berdiam diri tanpa bertindak, Surya malah semena-mena padannya. Mai yakin orang yang mempotretnya di balik ventilasi kecil itu adalah tangan Surya. Mai masih ingat, jika Sarah tadi pagi pamer hp baru padannya. Ponsel itu ditimang-timang Sarah dan merasa bangga dengan Surya yang mampu membeli ponsel itu tanpa mengeluarkan rupiah sepeserpun. Ponsel itu hadiah. Entah Mai mempercayainya atau tidak, karena Mai tak mau tau apapun tentang Surya, manusia yang Mai ingin sekali membunuhnya saat ini.

"Ya Allah. Tegannya dia melakukan hal ini terhadapku. Apa salahku padanya? Apa salahku ya Allah ... hingga engkau mengujiku seberat ini?" Keluh Mai dalam hati. Mai sangat yakin jika itu adalah Surya. Kakeknya tidak mungkin bisa menggunakan ponsel canggih seperti itu. Mai sangat yakin Suryalah pelakunnya.

***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang