27

6K 164 0
                                    

Mai terpekur melihat neneknya berpeluh menggoreng tahu isi. Ramadhan sudah berlangsung empat hari, gorengan neneknya laris manis. Hampir tiap hari seratus tahu isi, 50 ote-ote dan juga gorengan lain habis. Belum lagi es degan, teh dan kopi juga tak ketinggalan ikut andil mengisi pundi-pundi dompet milik kakeknya. Ya. Semua itu untuk simpanan hari raya nanti. Mai juga rajin membantu nenek dan kakeknya. Mai memasak di sore hari yang kadang dibantu oleh Sarah.

Sarah berjingkrak senang ketika mendapati sebuah surat dari pak Rt, yang meminta suaminya untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid. Mai cemberut mendapati senyuman Sarah. Ia menyeringai tidak suka. Gadis itu hanya tidak suka dengan Sarah yang berlebihan mengelu-elukan suaminya.

Mai hanya tidak percaya saja. Orang yang jarang shubuh seperti Surya, kenapa bisa di jadikan Imam shalat tarawih?! Bukan salah pak Rt juga sih. Surya memang terkenal sebagai pak Ustad di daerah yang Mai tinggali. Pandai Qori', pengurus pondok, dan lulusan pondok membuat namanya mendapat embel-embel pak Ustadz.

Minggu ini orang tua anak didik Mai memintannya untuk berhenti memberi les untuk sementara. Karena Ramadhan biasanya di sekolah hanya di beri pelajaran sedikit. Sisannya untuk mengaji.

Mai senang, ia bisa cepat pulang. Suasana Ramadhan di desa sangat ia nantikan. Disana ia akan jauh lebih tenang, mengumpulkan pahala sebanyak mungkin di bulan suci ini.

"Iya, Sal. Ada apa?" Mai bersuara ketika Hp digenggamnya.

"Mai cepet pulang. Nenek kamu sudah tidak ada."

Tenggorokan Mai tercekat. Ia tak mampu mengeluarkan siara.

"Ja-jangan gila kamu, Sal."

"Tadi malam, nenek dibawa ke rumah sakit. Penyakit jantungnya sudah sangat parah. Pulanglah sekarang."

Hp yang ia pegang segera dimasukkan kedalam saku. Mai benar-benar gemetar, air matanya tumpah. Mai tidak percaya dengan semua yang di dengarnya. Ia menangis di depan pelataran rumah neneknya. Mai memang tidak bisa mengangkat telepon di kamarnya. Sinyal di hp nya begitu parah.

Kakinya segera menuju kamar untuk mengemasi barang. Di benaknya berputar-putar kenangan tentang neneknya. Bahkan ia belum sempat membuat neneknya melihatnya memakai toga. Tapi, neneknya sudah pergi menghadap Tuhan.

Titik-titik air matanya tumpah. Di sambut isakan pelan. Ia berusaha tegar. Mungkin ini yang terbaik, dari pada harus melihat neneknya menderita sakit jantung berkelanjutan.

Mai segera beralih ke kamar nenek. Meminta ijin untuk pulang.

"Innalillahi wainnailaihi raajiuun. Ya Allah. Iya, Ndok. Kamu cepetan pulang. Maaf, nenek belum bisa kesana."

"Iya, Nek. Ndak papa."

Penghuni rumah itu menanyai Mai satu persatu, termasuk Sarah.

"Ini uang untuk rasa belasungkawa kami, Mai. Maaf kami nggak bisa kesana."

Mai menyadari, mereka semua kerja. Lagi pula jarak rumahnya di desa sangatlah jauh. Perlu waktu hampir lima jam untuk kesana. Dan Mai juga tidak tega melihat kondosi anak Sarah yang masih balita.

"Iya, Mbak. Nggak papa. Terimakasih," Mai menerima uang itu setelah dipaksa neneknya.

Sambil masih setia meneteskan air mata, Mai menyalami mereka semua.

Tiba-tiba, Surya yang Mai tahu kalau baru saja lali-laki itu baru bangun dari tidurnya ikut menyalami Mai. Mai mau tak mau menerima salaman itu, karena banyak pasang mata mengamati. Mai tidak mau menciptakan suasana yang mungkin membuat Sarah bertanya-tanya jika Mai tidak mau menerima uluran tangan dari Surya.

Surya menyalaminya lama.

"Yang sabar, ya, Mai. Semoga nenekmu di terima di sisinya."

"Iya, Mas. Terima kasih." Mai melepas tangan Surya secepatnya.

***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang