Hari Pertama Di Rumah Nenek

11.3K 326 5
                                    

Tak Ada Gading Yang Tak Retak

_________________•••_________________

_________________•••_________________

Tak hanya panas Matahari yang membakar kulit, tenggorokannya pun ikut mengering. Tubuhnya tak luput banjir oleh keringat. Dipakainya telapak tangan untuk sedikit menepis panas. Baginya berjalan dari Mall terasa sangat lama untuk sampai menjejakkan kaki ke pintu rumah Darmi. Setelah sekian menit dari jalan raya, kedua kaki yang bersepatu kets itu melenggang ke muka pintu parkir. Dibukannya pintu tanpa salam. Pasti belum ada manusia di rumah Si Mbah. Hari yang melelahkan bagi Mai, berkeliling hanya beberapa menit di sebuah mall.
Jauh-jauh jalan kaki, Mai pergi kesana hanya untuk mencari permen Ting-Ting, tak lain adalah keperluan Ospek. Tubuhnya cepat merangsek masuk kedalam kamar. Mencari-cari benda yang bernama kipas. Bukan kipas angin, tapi hanya sebuah kertas kardus, dipakainya menguapkan keringat. Rupanya ventilasi-ventilasi kecil itu tak membantu. Kamarnya masih terasa pengap. Karena tak tahan, tak lama setelahnya pakaian ia tanggalkan, berganti kaos dan celana panjang. Kamar itu terlalu pengap untuk dihuni manusia. Suatu hari mungkin Ia akan menabung untuk membeli kipas mini. Mai lantas meraih segelas air dari galon dapur. Dahaga yang menyerang perlu ia disingkirkan. Lalu kembali ke kamarnya lagi setelah memastikan rumah sepi.
Jarum merambat pukul tiga sore, mengantarnya bangun dari tidur. Mai harus segera membersihkan apa yang sekarang menjadi kebiasannya. Mencuci piring sekaligus menyapu rumah, tak lupa lantai juga harus di pel dua kali sehari seperti yang Darmi pinta. Tak apa, rumah itu sempit. Pasti Ia akan mudah mengerjakannya. Lagi pula Sarah juga pasti akan membantunya. Kata Darmi, kemarin malam Sarah pulang Mahgrib. Bersama perut besarnya, Perempuan itu langsung menenggelamkan diri dalam mimpi setelah shalat. Mai belum pun sempat menyapanya. Pekerjaan mengharuskan Sarah sering pulang sore. Meski suaminya sudah melarang. Sarah hanya tidak mau kehilangan pekerjaan yang dicintainya.
Kala matanya mencari sapu, yang biasa digantung dibalik pintu ruang tamu, Mai melihat Sarah sedang berbaring di sebuah sofa. Mengelus perutnya. Rupanya perempuan berkulit putih itu sudah pulang.
“Mbak Sarah."

Sarah tersenyum melihat kedatangannya.
"Hai, Mai. Sini duduk!"
Mai mendekat. Dilihatnya wajah Sarah yang bercahaya. Sarah begitu awet muda, usia tak memangkas paras ayunya. Hidungnya pun mancung. Mai tentu kalah cantik.
"Kamu di tungguin kok baru kesini Mai? kirain nggak jadi."
"Hehehe. Mai baru OSPEK tanggal lima, Mbak. Makanya baru kesini."
"Em ... begitu ya. Ya udah kalau gitu kamu bantuin aku ngajarin anak-anak les ya. Nanti kita bagi hasilnya," tutur Sarah.
"Ow, Mbak Sarah punya anak les?"
Sarah mengangguk.
"Lima belasan, kayaknya. Berhubung lagi hamil gini aku agak kuwalahan. Kamu nanti siap-siap ya. Biasanya mereka abis Mahgrib datang."
"Dengan senang hati, Mbak. Terima kasih sudah membantu Mai."
"Sama-sama, Mai. Yang penting kamu semangat kuliahnya." Sarah mengelus-elus lagi perutnya.
"Em... sudah hamil berapa bulan, Mbak?"
"Tujuh Mai."
"Pantesan udah besar."
"Sakit, ya, Mbak? Kok di elus-elus terus," Mai berujar lagi.
"Perut Mbak gatal, Mai. Kata orang-orang, sih. Biasanya bayinya tumbuh rambut, makannya gatal."
"Em ... masak, sih. Kok Mai baru denger, ya. Hehehe. Udah USG kah, Mbak?"
Sudah. Kata dokter, anakku kembar, Mai. Semoga nanti lahirannya lancar.
Perbincangan itu berlanjut hingga Sarah menceritakan bagaimana ia bisa hamil setelah tiga tahun berumah tangga.
"Udah makan, Mai?" imbuhnya setelah hening menyapa.
"Belum, Mbak. Mai nyapu dulu."
"Ow mau nyapu. Mbak masuk dulu kalo gitu."
Dari perbincangan lima menit itu Mai jadi tahu. Kata Sarah, ia bisa hamil karena sowan ke Pak Kyai. Meminta doa. Sarah diminta untuk memakan Satai yang sudah diberi doa. Tak lama setelah itu kabar gembira diterimanya. Ia positif hamil. Tidak sekadar itu, Sarah juga bilang, selain sowan ia juga berikhtiar melalui sodaqoh pada anak yatim tiap bulan. Usaha yang luar biasa bagi Mai. Ini tentu salah satu bentuk kekuasaan Allah. Bila manusianya mau berihtiar dan berdoa ya pasti ada hasil. Mai pun mengambil sisi positif dari cerita Mbaknya.
***
Suara motor terparkir di depan rumah. Membuat Mai menengok siapa yang datang dari jendela kaca ruang tamu. Ia pun beralih melihat kembali acara Talk Show di TV ketika tahu laki-laki itu adalah Surya. Laki-laki itu masih memakai helem. Tangannya sedang sibuk menepikan sepeda motornya, maklum saja gang depan rumahnya sempit.
"Assalamualaikum ...." Surya datang dengan senyumnya.
"Waalaikumsalam, Mas." Mai menjawab.
Surya memandanginya dengan saksama. Dahinya mengeryit beberapa kali. Mai hanya melebarkan senyum.
"Mai, ya? baru datang?" Surya kemudian meletakkan helemnya di kursi paling ujung kiri. Lantas laki-laki itu duduk melepas kaos kaki.
"Iya, Mas. Baru kemarin siang."
Suami Sarah baru saja pulang dari luar kota. Lelaki itu sudah biasa pulang dua atau tiga hari sekali.
"Jadi kuliah di sini?"
"Iya Mas. Dua hari lagi OSPEK."
"Em ... semoga betah ya tinggal di sini. Selamat sudah diterima di sana."
"Iya Mas. Terima kasih. Mai ke kamar dulu ya."
"Oh ... monggo, Mai.
Lantas Mai mematikan TV. Kaki-kakinya melangkah pergi. Sungkan jika harus berlama-lama disana. Lagipula Adzan Maghrib segera tiba.
Surya melepas jaketnya. Lelaki yang hampir setengah baya itu segera masuk ke kamar untuk menemui istrinya yang masih tidur.
"Kamu itu Mas ... selalu aja jarang pulang. Bayi kamu ini juga butuh kasih sayang. Begitupun aku!" Sarah terbangun dari tidurnya kala Surya mengelus puncak kepalanya.
"Iya. Mas minta maaf. Kerjaan Mas banyak. Kemarin ada study tour ke Jogja. Masak iya Mas mau ninggalin anak-anak." terangnya meredam emosi sang istri. Selain menjadi Sales perumahan dan pengurus pondok, Surya juga berprofesi sebagai guru SMK di Sidoarjo.
Tanpa sengaja, dari kamar, Mai mendengar perbincangan mereka. Rumah yang sempit membuat mereka bisa saling curi dengar. Dengan polosnya Mai merasa terkagum-kagum dengan Sarah yang bisa mendapatkan suami seperti Surya. Selain menjadi pengurus pondok, Surya juga biasa di minta Qori' di acara hajatan. Lelaki itu juga sering menjadi imam tarawih ketika bulan puasa. Sudah pernah pula menginjakkan Ia kaki di tanah suci. Hal itulah yang membuat Mai kagum dengan Surya. Tapi hanya sebatas kagum, tidak lebih. Surya dianggapnya lelaki yang soleh dan multitalenta. Baginya, mungkin karena alasan itulah, Sarah, Mbaknya itu mau menerima pinangan Surya.
***
"Assalamualaikum!"
Mai keluar mengintip dari pintu parkir. Salam tadi dari bocah-bocah murid les Sarah. Mereka semua tengah berdiri di muka pintu ruang tamu.
"Iya, masuk." Sarah menjawab dari dalam. Jadi mereka murid-murid les Sarah.
Mai buru-buru ke ruang tamu ketika Sarah menata bangku. Belasan anak kecil itu mulai membuat gaduh.
"Ayo semuanya duduk. Inget peraturan nMaser satu. Yang rame harus apa hayo?" Sarah meredam keramaian.
"Bayar uang seribu. Iya kan, Mbak?"
"Iya betul. Yang rame harus bayar seribu sama nggak boleh pulang."
Sarah pun meminta Mai duduk. Diperkenalkannya ia pada anak-anak itu.
"Hai Mbak Mai." Mereka pun menyapa.
"Hai juga." Ini kali pertamanya Mai mengajar murid tingkat SD. Di desa ia juga memberi les, tapi bukan siswa SD seperti mereka. Semoga ia mampu menguasai kelas.
"Ayo anak-anak baca doa dulu."
Sarah kemudian memintanya untuk menggantikannya malam ini. Perutnya keram. Ingin istirahat sejenak.
"Jangan tegang gitu Mai. Anggap mereka anak-anakmu. Kalau nakal marahi saja. Tapi jangan sampai main fisik ya. Nanti biar Mas Surya aku suruh ikut bantu kamu."
"Iya, Mbak."

Ketika ada anak kelas lima bertanya tentang rumus Pytagoras, Mai kelabakan. Salah satu kelemahan Mai, jika ditanya rumus Matematika. Karena Mai lama memberi jawaban, anak lainya pun turut memberinya bertubi-tubi soal pelajaran lain. Ruang tamu itu semakin ramai.
"Kenapa Mai?" Surya datang dari kamar.
"Em... itu, Mas. Aku lupa rumus Pytagoras."
Surya terkekeh dengan ekpresi Mai. Tegang.
"Ya sudah yang mau belajar Matematika, kalian sama Bapak, saja ya. Ayo sini!"
Mendengar itu Mai merasa tak becus. Kalau dihitung-hitung, Mai memang selalu kesulitan jika murid lesnya dulu punya PR mata pelajaran itu. Ia lebih sering mengutamakan pelajaran non-eksak.
"Jangan tegang gitu Mai. Relax."
Mai menanggapinya dengan senyum. Wibawa seorang guru memang belum dimilikinya saat ini. Mai pun mengamati tiap detik cara Surya mengajar anak-anak itu. Sepuluh anak bersama Surya belajar Matematika, sisanya bersama Mai, belajar baca tulis. Terlihat dengan jelas, berbeda dengan dirinya, Surya sangat lihai membuat mereka tenang. Sedangkan dirinya terkesan kikuk dan diacuhkan murid-muridnya.
Surya dilihatnya sangat tegas. Wibawa seorang guru ada dalam dirinya. Buktinya semua anak-anak itu terdiam dan mendengarkan. Mai jadi terkagum-kagum. Kapan ya dirinya bisa seperti itu? Tanyanya dalam hati.
"Kok bisa sih, Mas? Mas Surya pinter banget bikin mereka diem." Surya berdehem sejenak.
"Karena kebiasaan, Mai. Suara juga memainkan hal penting dalam mengajar. Kamu nanti pasti diajari juga di perkuliahan nanti."
"Suara yang gimana ya, Mas. Boleh Mas terangin sedikit?"
Surya yang tidak begitu jauh dari Mai, Ia pun mendekat. Murid-muridnya tadi sedang sibuk mengerjakan apa yang diperintahkan, tapi ada juga yang ikut fokus mendengarkan perbincangan gurunya.
"Kalau anak-anak lagi susah di-handle, tingkatkan saja volume suara kamu. Suruh mereka tertib. Apalagi ketika kamu akan memberikan penjelasan materi pada anak-anak. Tapi kalau suasana lagi kondusif, pelankan saja suaramu. Usahakan untuk selalu melakukan kontak mata dengan anak-anak.”
"Em, begitu ya, Mas?" Mai menggaruk kulit kepalanya sambil tersenyum tipis. Lumayan Ia mendapat ilmu baru. Mai semakin mengagumi Surya. Lelaki itu benar-benar tampak beribawa.
"Iya, Mai." Surya mengelus puncak kepalanya, membuat rambutnya sedikit berantakan.
Mai kaget mendapat sentuhan seperti itu, sebab gadis polos seperti Mai belum pernah mendapat perhatian semacam itu dari lawan jenisnya. Ah, mungkin itu bentuk perhatian biasa, seperti kakak sama adik. Ia berusaha menelan pikiran aneh itu.

"Tapi kakakku sendiri nggak pernah begitu," batinnya.

~~~

Jangan lupa ya, tinggalkan bintang ... supaya Author merasa dihargai ckckckc....

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang