Sayup-sayup lantunan ayat suci Al-qur'an mulai mendengung. Menyeruak memenuhi rumah mungil itu. Mai tahu, jika itu suara Sarah. Mai juga tau, pasti suaminya masih terlelap memunggungi anak-anaknya yang juga masih terlelap. Bagaimana mungkin, seorang perempuan seperti Sarah yang ayu parasnya. Ayu pula tutur katannya. Tangan yang mudah terulur untuk menolong sesama, bisa membuat suaminya menghianati ikatan suci mereka. Tapi berbeda sikap jika berhadapan dengan Mai. Tutur katanya yang lembut sirna.
Mai yang sudah bangun sejak pukul lima tadi, pikirannya sedang berkelana. Mencari celah jalan keluar masalah yang ia hadapi saat ini. Tapi buntu. Sama seperti hari-hari ataupun bulan berganti tahun lalu. Ia tak menemui titik temu masalahnya. Meskipun Mai sama sekali tak menggubris om-nya itu. Mai tetap saja takut padannya. Terlebih ketika tengah malam menyambut. Entahlah ... suara decakan Surya membuat bulu kuduknya berdiri. Ia ketakutan sendiri.
Gadis itu juga berusaha untuk memberitahu neneknya. Tapi gadis itu juga tak mampu membebani neneknya yang sudah tua. Apalagi ... sekarang ia belum menyelesaikan study-nya yang tinggal menunggu skripsi selesai.
***
"Mai, nanti ikut Mbak, ya?" Sarah tiba-tiba muncul di mulut pintu kamarnya.
Mai pun membuka pintu.
"Mau kemana, Mbak?"
"Mbak mau nyetok barang. Ada yang pesan. Deket kok Mai, Mbak nggak bisa kalau nggak ada temennya. Mbak kewalahan kalau bawa dua anak."
Mai tau. Percuma jika ia melontarkan pertanyaan, mengapa Sarah tidak mengajak suaminya saja?! Laki-laki itu mana ada rasa peduli terhadap kegiatan istrinya. Laki-laki itu lebih memilih mendengkur lama daripada harus mengantar Sarah untuk menyetok barang.
Terkadang dari sini ... Sarah tak pernah menyadari, betapa Mai sangat berjasa. Kemanapun Sarah pergi, Mai selalu diajaknya tanpa membantah, meskipun gadis itu mengeluh sakit kepala atau alasan lainnya. Sarah hanya bisanya marah, jika Mai tak menurutinnya.
"Tapi aku ada janji, Mbak. Kalau sampai jam sembilan. Mai nggak bisa."
Sarah membetulkan kerudungnya.
"Nggak sampai jam sembilan, kok. Ayo berangkat. Sebelum Mas pakai sepedannya."
Mai hanya bisa nurut. Mana mungkin ia bisa menolak. Diam-diam Mai melihat nanar nasib Sarah yang pontang-panting kesana kemari tanpa suami yang menyertainnya. Waktu tak akan bisa diubah. Jalan yang ia pilih harus ia jalani. Itu kalimat yang pernah meluncur dari mulut Sarah.
Tiba-tiba, suami Sarah bangun. Mungkin tau kalau Mai akan keluar bersama istrinnya. Laki-laki itu pura-pura membersihkan sepeda motornya. Mengeluarkannya. Dan sepertinnya menunggu mereka berangkat.
Mai segera memakai hijab dan memasang masker. Ia akan sangat risih jika dipandangi oleh laki-laki yang bukan muhrim Mai itu. Mai pun menunduk ketika melewati pintu parkir menuju pelataran rumah. Ia tau jika Surya di ruang tamu. Mai segera meminta Sarah untuk bergegas dengan membantu memasang sepatu anak-anaknya. Memang melelahkan mempunyai anak kembar.
Sepanjang perjalanan. Mai hanya menikmati pemandangan pagi hari. Benda bernama jam itu menunjukkan pukul tujuh pagi. Mai terpaksa membiarkan neneknya memasak sendirian. Ya meskipun sebenarya ia merasa senang. Tak ada tugas masak yang menantinya.
Mai memeluk si kecil Rasya didekapnya. Lantas Sarah menyetir motor yang dicicilnya selama dua tahun itu dengan menggendong anaknya.
"Kamu masih ingat Diah?" Sarah melontarkan pertanyaan.
Mai yang dari belakang menyahut.
"Iya, Mbak. Kenapa? Mbak Diah temen satu ngajar sama Mbak, kan?"
"Iya. Yang itu. Aku kesal banget sama dia, Mai," keluh Sarah.
"Kenapa, Mbak?"
"Kamu jangan bilang siapa-siapa. Apalagi sama ibuku. Barang daganganku dibawa sama dia. Dan belum balik sampai sekarang."
"Lah. Kok bisa gitu, Mbak?"
"Aku malah dibilang mencampuri urusannya. Dia selingkuh dan pacaran di sekolah Mai. Bayangkan! Dia nggak punya urat malu sama sekali! Suaminya mencarinya kemana-mana. Aku nggak tau jalan fikirannya."
Mai yang mendengarnya pun beristighfar. Bagaimana mungkin seorang guru yang harusnya jadi panutan, malah pacaran di sekolah?!
Mai pun menenangkan Sarah. Menyuruh Sarah untuk bersabar. Walaupun di benaknya ia juga menggerutu.
"Suamimu juga tak punya urat malu, Mbak. Dia juga berkhianat!" Ingin rasanya gadis itu meluapkan amarah yang dipendamnya selama ini. Tapi itu tidak mungkin ia lakukan, ia tidak mau jika sampai ada peperangan di keluarga kecil mereka. Sarah sudah cukup menderita pernah dikhianati oleh mantan pacarnya dulu ketika masih kuliah. Ia tidak mau, melihat Sarah kecewa untuk kedua kalinnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Maimunah (END+ Revisi)
Romance21+ Dilarang keras membaca jika belum usia dewasa. Om Surya. Paman nya yang ia fikir adalah pria yang alim. Ternyata .... Sebuah pelajaran bagi Mai. Kehidupanya mengajarkan untuk tidak menilai susuatu dari luarnya saja. Begins on September 2018.