"Mungkin bagi lelaki tak setia, kesetiaan baginya seperti menggengam sebuah BARA yang mungkin mereka takut, bara itu akan membakarnya"
________________¤¤¤___________________"Mai."
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Disinyalir itu adalah Surya. Lagi-lagi orang itu yang mengetuk pintu kamarnya. Mai sudah berusaha menepiskan pikiran negatifnya pada Surya, ah, tapi mengapa laki-laki itu lagi-lagi datang ke kamarnya.
Gadis itu pun membuka kamarnya dengan mengerjapkan matanya. Ia baru saja bangun. Waktu memang sudah tengah malam. Ini sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk Surya meminta tolong padanya.
"Iya ada apa, Mas?"
Siti sedikit melonggarkan pintu. Menyepulkan kepalanya. Tampak rambutnya yang berantakan dengan mata masih terasa lengket untuk dibuka.
Sedangkan Surya, ia sendiri memakai kaos polos putih yang kontras sekali dengan warna kulitnya. Sarung motif kotak pun membalut bagian tubuh bawahnya. Sepertinya laki-laki itu hendak keluar, ia hanya memakai boxer pendek jika hendak mau tidur.
"Mai. Tolong kamu bantuin Mbak Sarah cuci piring, ya. Kasian dia kecapek- an."
Sontak membuat Mai sangat kesal mendengarnya. Apa maksud Surya dengan permintaannya itu. Karena gadis itu merasa, ia sudah dua kali cuci piring. Yang mengotori piring dengan jumlah yang banyak tentu Sarah dan dua anak kembarnya. Itu membuat Mai kesal bukan main. Kenapa selalu ia yang di salahkan. Ia benar-benar tidak memiliki hak untuk mengeluh ataupun membela dirinya sendiri.
Mai pun menuruti perintah Om nya. Ia mencuci piring malam itu juga. Tapi anehnya, si Surya itu kembali menapaki arah menuju ruang tamu. Semenit kemudian suara tangisan anak laki-lakinya membahana, Surya memang suka sekali menjahili anak-anaknya itu hingga menangis.
Setelah mencuci piring-piring kotor itu ia sudah tidak bisa menutup matanya lagi.
Gadis itu pun memilih untuk mengerjakan tugas kuliahnya saja. Ia pun membuka laptopnya. Mengatur posisi yang memungkinkan untuk ia bisa mengetik dengan mudah. Laptop itu ditaruhnya di tepian ranjang, sedangkan dirinya duduk dilantai, pintu kamar pun sedikit dibukanya, untuk menghilangkan pengap. Namun sayang, baru beberapa menit berlalu,saat itu juga lampu mati. Ia benar-benar kesal. Ia benci gelap. Surya pun lewat. Menyapanya di depan pintu.
"Lampu mati Mai. Kamu ngapain?"
Mai yang masih berkutat dengan laptopnya, mengangkat dagunya. Menangkap bayangan Surya dengan senyum aneh itu lagi. Ngeri itu pun kembali.
"Ngerjain tugas, Mas," jawabnya yang kemudian fokus kembali pada layar persegi panjang yang ada dihadapannya.
"Udah malem Mai. Kamu nggak istirahat?" Om nya malah beralih ke sudut pintu kamarnya sambil melipat kedua tangannya.
"Heheheh entar, Mas."
"Okey. Aku keluar dulu ya Mai."
Mai hanya mengangguk. Baguslah. Ia jadi tidak dikira berduaan lagi dengan Om-nya. Semua manusia dirumah itu sudah tertidur pulas, kecuali dirinya dan Surya.
Pintu parkir pun terbuka, dan Surya sudah menghilang dari balik pintu yang mana sudah pula ditutupnya kembali dari arah luar. Mai dibuatnya geleng-geleng kepala. Bukannya ini seharusnya jam untuk istirahat? mengapa om-nya malah pergi. Om nya memang selalu seperti itu. Seperti kelelawar. Tidur di siang hari saja. Malamya main sama tetangga.
***Keesokan harinya. Surya libur. Begitupun Sarah. Mai pun juga sama, ia pun tak ada mata kuliah hari ini.
Pagi itu, kakak Sarah memberi kabar jika akan ada tamu dari Semarang. Kerabat Darmi dari pihak sang suami. Jadi Sarah diminta kakaknya untuk segera menyiapkan jamuan untuk mereka, yang mungkin jumlahnya hampir lebih dari sepuluh orang. Tapi Surya sungguh sulit di bangunkan. Kebetulan hari itu masih agak pagi.
"Mas. Bangun!"
Gedoran pintu itu berasal dari kamar Sarah. Suaminya itu masih saja belum membuka mata. Sarah sungguh dibuat emosi pagi ini."Nanti ada tamu dari Semarang! bangun dong! ayo cari makanan!"
Bukanya bangun, Surya malah mengunci pintu kamarnya. Sarah yang berada di ruang tamu semakin tersulut emosinya. Apalagi, kedua anak kembarnya sungguh rewel pagi ini.
Disisi lain, Lina, sahabat Mai berkunjung pagi ini. Dari kamarpun mereka mendengar, Sarah yang tak henti-hentinya menggedor pintu kamarnya sendiri.
"Maaf, ya, Lin? kamu jadi nggak nyaman denger hal kayak gini?"
"Nggak apa-apa kok, Mai. Santai aja."
Siti pun merasa tak enak membuat Lina merasa tak nyaman. Kamarnya juga begitu pengap tanpa adanya ventilasi.
"Kita keluar aja, yuk? cari bakso."
Lina pun mengiyakan. Pintu parkiran pun terbuka. Mai dan Lina memakai sandal mereka, hendak melangkah keluar, tapi Surya yang berada diambang pintu mencegahnya. Tentu dengan boxer pendeknya itu, wajahnya pun tampak begitu berminyak. Mai tahu betul, Surya pasti tidak shalat shubuh tadi.
Dengan tidak tau dirinya. Mai di perintahnya."Mai. Kamu beliin satai di pojok sana, ya, jangan pakai sepedah. Deket kok."
Mai agak syok. Ah, Surya. Di lain waktu ia sering begitu baik padanya. Kenapa sekarang ia merasa Surya begitu menyebalkan. Mai pun tak tega jika Sarah yang harus menyiapkan jamuan itu. Anak-anaknya saja sudah sangat merepotkan.
Nenek dan Kakeknya juga mengapa belum pulang juga dari desa.
Lina sahabat Mai itu tampak menggerutu ketika kaki-kaki mereka melewati jalanan menuju Warung satai pak Tresno. Merasa aneh dengan sikap Surya. Seharusnya ini tugas laki-laki. Lina juga menyayangkan. Kenapa perempuan seperti Sarah bisa mendapatkan laki-laki seperti Surya. Yang tidak peka. Biarkan sajalah... Mai harus tetap extra sabar.***

KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Maimunah (END+ Revisi)
Romance21+ Dilarang keras membaca jika belum usia dewasa. Om Surya. Paman nya yang ia fikir adalah pria yang alim. Ternyata .... Sebuah pelajaran bagi Mai. Kehidupanya mengajarkan untuk tidak menilai susuatu dari luarnya saja. Begins on September 2018.