"Siapa yang sanggup menerka, madu yang disangka manis itu ternyata racun"
____________¤¤¤______________Hidup di kota tidak membuat Mai bertambah cantik. Tidak seperti teman-teman sepermainannya dulu di desa, mereka bilang jika hidup di kota akan membuat kulit putih, bersih. Tapi sepertinya tidak dengan Siti. Lalu dari mana mereka mendapat teori semacam itu? Aneh. Siti membatin.
Ia justru terlihat semakin dekil. Jerawat pun tak sedikit meramaikan wajah kusamnya. Beda jauh saat ia berada di desa. Kulitnya sebersih dan sehalus kulit bayi. Kulitnya juga tak sekusam sekarang ini.
Pantas saja jika Mai tak seindah dulu, hampir setiap hari, wajahnya yang tak terbungkus apapun itu kerap kali diterjang kejamnya panas sang Surya. Ditambah lagi hanya beberapa gelintir pohon yang menyumbang udara. Panas sekaligus gerah sudah menjadi teman Mai kala pergi ataupun pulang dari kampus.
Jalan di mana tempat pemberhentian Bemo memang sedikit jauh dari rumah Neneknya memungkinkan kaki Mai harus menelusuri jalan panjang beratus-ratus meter juga melewati sebuah komplek perumahan. Tentu selain membuat kakinya ngilu, menjadi kusam juga termasuk efek yang didapatnya.
Andai saja, kantongnya berisi banyak uang, mungkin tanpa enggan ia mau pergi ke dokter kulit untuk membeningkan wajahnya. Sebab memang selalu menghadirkan akibat. Kini ia tampak semakin kecil di mata teman-temannya yang berotak encer dan juga modis.
Tapi dengan Mai tinggal bersama Neneknya, secara langsung membuatnya lebih taat dalam beribadah. Dulu Siti sering ketinggalan shalat Shubuh, Neneknya dengan disiplin menerapkan bangun pagi di rumahnya, meski itu tak berlaku bagi Om-nya. Mai juga semakin pandai membuat masakan lezat; Rawon, Soto, Sup Ayam, Kare, sayur Lodeh, Sayur Bayam, Tumis Kangkung dan lainnya.
Dan Mai juga lebih berhemat. Bayangkan jika dirinya menyewa sebuah kos, mungkin ia tak sanggup melanjutkan kuliahnya mengingat Bapaknya yang hanya bekerja sebagai Buruh tani.
Disamping itu, tali silaturahmi antara keluarga Mai dan Neneknya pun terjaga mengingat orang tuanya yang jarang sekali mudik ke Blitar. Masalahnya hanya satu, uang. Bapak Mai tak punya cukup uang untuk membawa istri serta anak-anaknya untuk mudik tiap tahun ke Blitar.
Dengan Totebag dicangklongnya, Mai pamit pada Kakek dan Neneknya. Ketika kaki-kakinya menapaki ruang tamu, Sarah menyapannya dengan tatapan yang, entahlah, Mai juga tak mampu menjabarkannya.
"Mai. Nanti jangan sampe lupa. Besok anak-anak ada ulangan. Kamu jangan sampai pulang terlambat." Sarah berjalan pergi tanpa berniat mendengar jawabannya. Perutnya makin besar saja. Guratan gelisahnya tampak sekali. Mungkinkah Sarah sedang ada masalah?
Entahlah. Ia tak mau tahu dan tak mau ikut campur.
Sepatu yang menemaninya selama sebulan pun dipakainya dengan cepat. Siti sudah sangat terlambat.
***
Langkahnya semakin cepat, kala Gadis itu teringat pesan Sarah yang tiba-tiba menjadi bersikap otoriter denganya. Berbeda sekali dengan dulu---ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah Darmi. Gadis itu hanya mendengus sebal. Sama sekali tidak bisa membantah. Mai harus terpaksa mengiyakan semua perintah anak neneknya itu.
Tak terasa hampir satu jam tubuh yang semakin kurus itu sampai juga di rumah neneknya dan di sambut hangat oleh Sarah, beserta sepuluh anak yang sudah hampir setahun belajar dengan Sarah. Ia pura-pura senang saja, meski tubuhnya tak seirama dengan hatinya. Tubuhnya terasa sangat lelah. Meski ia ingin berteriak 'aku lelah Mbak!' Mau bagaimana lagi. Mai hanyalah seorang penumpang yang harus patuh dengan arahan supir.
"Sebentar ya Mbak. Aku mandi dulu," Mai pergi setelah menerima anggukan dari Sarah. Berjalan menuju kamarnya dengan buntalan kekesalan. Yang Mai tidak suka, Sarah meski sudah menyerahkan seluruh anak lesnya, tapi Sarah masih saja mengatur segalanya. Entah itu dari jam mengajar Mai ataupun cara-cara Mai memberi les mereka, Sarah suka tidak puas. Perempuan itu sering mengkritiknya pedas.
***
Belum beberapa detik kakinya sampai di ambang pintu kamar yang sudah terbuka, Mai dibuat kaget karena ada nenek-nenek sedang shalat di sana. Sambil beberapa kali memastikan jika Nenek itu adalah Buyutnya sendiri. Nenek Ibunya.
Nama beliau Aminah. Dengan panggilan Mbah Buyut, Mai biasa memanggilnya.
Tasnya segera ditanggalkan. Handuk di belakang pintu pun disambarnya. Ia harus segera bergegas mandi jika tak mau mendapat kritikan lagi dari Sarah. Biarlah nanti setelah mandi ia menyapa Buyutnya. Toh perempuan sepuh itu sedang berdzikir dengan khusyu' nya tanpa tahu Mai sudah berdiri di sana sejak tiga menit yang lalu.
Sedikit penatnya hilang, setelah air mengguyur ubun-ubunnya. Rasanya tidak segar, tapi lumayan membantu mengusir bulir-bulir keringat ditubuhnya. Lumayan mengering setelah handuk itu menjelajahi tiap helai rambutnya, lalu menyisir dan membiarkannya terurai.
Tak lupa menepukkan bedak di pipinya beberapa kali. Dress panjang yang terlihat sopan telah membungkusnya sejak keluar dari kamar mandi.
"Mai ... sini, Ndok. Kamu jadi kuliah di sini?" Tiba-tiba Mbah Buyutnya memanggil. Ada siwak di sudut sajadahnya.
"Iya, Nek," sahut gadis itu mencium tangan nenek Minah.
Karena Mai terburu-buru untuk mengajari murid-muridnya yang sudah menunggu. Ia tanpa basa-basi langsung pamit untuk mengajari mereka setelah mandi. Mbah Buyutnya pun melanjutkan dzikirnya lagi.
Sejak adanya Buyut Mai di kamarnya, kehidupanya bukannya membaik. Malah semakin kesal hidup disana. Baru saja beberapa hari Aminah mendiami kamarnya, tapi Mai seringkali sudah di buat jengkel.
Aminah memang berwatak keras, bila Mai tak menuruti perintah Buyutnya dengan segera, sudah dipastikan, Aminah akan meneriakinya. Belum lagi masalah pintu kamar yang tidak boleh ditutup, Nenek Minah merasa pengap jika pintu kamarnya di tutup. Tentu itu membuat Mai risih jika ada yang melewati kamarnya. Terutama pada Surya yang sering sekali laki-laki itu ketika pulang lewat kamarnya untuk sekedar menyapa Aminah. Laki-laki itu juga tiap tengah malam wira-wiri membuang sampah dan itu membuat Mai semakin tidak nyaman.
Gadis itu jadi tidak bisa leluasa tidur di kamarnya yang sudah sempit itu.
Pernah ketika Mai sudah pulas karena keletihan. Bau debu mengusik indra penciumannya. Ia juga merasa ada yang menyapu kamarnya. Ketika ia membuka mata. Ternyata Aminah, buyutnya yang sedang menyapu kamarnya. Sontak membuatnya emosi. Padahal malam sudah larut.
Entah kapan Surya pulang, yang tak disangkanya, laki-laki itu tiba-tiba datang ke kamarnya. Surya pun menyapa Nenek Minah yang sedang menyapu. Entah kenapa juga laki-laki itu belum memejamkan mata ditengah malam seperti ini.
Sepertinya Surya sudah paham dengan sifat nenek Minah. Nenek itu selalu kekeh dengan pendirianya. Tidak perduli jika itu membuat orang lain merasa tidak nyaman.
"Loh, Mbah. Kok dereng tilem? (Loh, Mbah kok belum tidur?)" Surya dari ambang pintu menyapa.
"Iyo. Mai kebangetan. Kamar ndak tau di sapu ngene kok iyo betah." (Iya. Mai kebangetan. Kamar nggak pernah disapu seperti ini kok betah." Aminah menjulurkan sapu di kolong ranjang. Rambutnya yang sudah memutih semua sejenak dikuncirnya tanpa tali.
Surya membuang senyumnya pada Mai. Surya pasti merasa kasihan padannya.
***
Semoga yang tekan bintang... rejekinya lancar ... banyak kawan ... dan selalu dilimpahi kebahagiaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Maimunah (END+ Revisi)
Romance21+ Dilarang keras membaca jika belum usia dewasa. Om Surya. Paman nya yang ia fikir adalah pria yang alim. Ternyata .... Sebuah pelajaran bagi Mai. Kehidupanya mengajarkan untuk tidak menilai susuatu dari luarnya saja. Begins on September 2018.