5#

10.8K 236 0
                                    

Sama halnya seperti hari-hari yang telah lalu. Tepat pukul lima pagi, kedua mata Mai terbuka. Diliriknya jam dinding dengan malas, berharap jarum pendek itu kembali ke angka empat.

Tubuhnya menggeliat beberapa kali, tapi mengingat lima menit lagi Nenek dan Kakeknya hendak pulang dari Mushola, segera tanganya memutar knop pintu sambil setengah dari dirinya masih berada dalam dunia kapuk.

Tubuhnya harus segera bersuci, sebelum Sarah bangun. Sebelum wanita itu membidiknya dengan tatapan-tatapan tak sedap dipandang. Hampir dua minggu tinggal disana, Mai kerap mendapat tatapan tak suka dan teguran beberapa kali dari Neneknya hanya karena terlambat bangun pagi. Pagi menurut Neneknya adalah kala waktu Shubuh datang. Memang sudah kebiasaan Mai ketika di desa, ia bangun tak sepagi itu.

Ia harus segera berwudhu untuk menunaikan shalat Shubuh.

Segera setelah itu, bunyi keran diputar, gemericik air mengaliri bak kecil di depanya. Piring-piring di dalamnya pun bersenggolan. Sisa-sisa makanan dibuangnya di tempat khusus. Tanganya pun sudah biasa bermandikan sabun dan busa. Satu persatu beberapa piring, sendok dan gelas itu dicucinya.

Mai kemudian berdiri sambil mengatur rok panjangnya agar tak basah. Dililitkannya sedikit agar tak tergerai menyapu air yang menggenangi kakinya. Kakinya melaju menuju ruang tamu, mencari barangkali masih ada piring ataupun gelas yang belum tercuci.

Benar juga, ada satu gelas yang berisi ampas kopi tertangkap manik matanya. Segera diambilnya gelas sisa kopi itu dari atas almari kecil. Kebiasaan Sarah yang tak segera menaruh benda kotor itu ditempat cuci. Coba kalau Mai yang melakukan hal semacam itu? Mungkin ia segera disuguhi omongan pedas.

Om nya ternyata masih menggelepar di sebuah sofa panjang. Merangkul erat guling. Melihatnya membuat Mai bermonolog dengan pikiranya, mengapa laki-laki yang dianggapnya sholeh itu masih saja memejamkan matanya di jam yang seharusnya ia menunaikan shalat.

Harusnya Mai mengganti arti kata 'sholeh' dalam benaknya. Surya sepertinya tidak pantas menyandang gelar itu. Harusnya laki-laki yang dianggapnya sholeh itu sudah mengimami istrinya shalat Shubuh tadi. Atau ikut melantunkan kalam Allah dengan suara indah yang biasa Surya alunkan di acara hajatan.

Ia pun masih melanjutkan monolognya dalam pikirannya sendiri, hingga aroma kopi menyeruak bercampur aroma teh 'Wayang' yang sudah berada dalam tiga buah gelas belimbing. Dua gelas kopi untuk Kakek dan Om nya. Segelas teh hanggat untuk Neneknya.

Diantarkanya dengan penuh hati-hati menuju kamar Neneknya dua gelas berbeda isi itu. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil secangkir lagi kopi untuk Surya.

Diliriknya laki-laki itu masih sibuk mendengkur saja rupanya. Diletakkannya minuman berwarna hitam itu dengan hati-hati. Laki-laki itu harusnya merasa sungkan dengan Sarah ataupun mertuanya yang kini mereka sedang membaca kalam-kalam Allah di ruangan yang berbeda. Tapi sepertinya urat malunya menguar entah pergi kemana. Bahkan Mai pun dibuatnya risih, hanya celana selutut yang membungkus tubuh besar itu.

Setelah jarum jam merayap ke pukul enam. Gadis dengan kuncir kuda itu membantu neneknya memasak. Tak sungkan perempuan sepuh itu mengajarinya berbagai macam dunia dapur.

Neneknya mengajarinya memotong wortel dengan ukuran tebal, begitupun dengan kentang-kentang. Padahal setahu Mai, wortel harusnya dipotong tipis, agar tak terlalu lama perebusanya. Tapi ia bisa apa. Ia hanya menurut saja tanpa membantah.

Nenek Darmi juga mengajarkan pada Mai tips membuat nasi goreng enak. Ya, walaupun semua itu bisa Mai pelajari lewat Google, Mai menuruti saja apa kata Neneknya.

Kadang Sarah membantu mereka memasak. Namun hanya sesekali. Sarah harus menjaga kandungannya yang sudah menua. Mai jadi seperti ... seorang dayang saja dengan seorang ratu bernama Sarah.

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang