Tentang Surya

3.4K 91 4
                                    

Sarah, dialah istriku. Seorang wanita yang telah menjadikanku bukan lagi seorang suami melainkan seorang ayah dari dua anak.

Sarah, aku mengenalnya melalui adikku. Lalu peran Hanphone-lah yang menjadi perekat kedekatan kami.

Pertama kali bertemu, harus kuakui dia cantik. Berkulit ala Londo. Namun Sayang, kecantikannya itu tak menggetarkan hati. Tak melemahkan lidah untukku meramu kata tuk sekedar memuja. Kedua hingga aku lupa entah ke berapa kali kami bertemu, hingga rasa yang disebut cinta itu memburu. Namun kurasa cintaku untuknya itu semu. Sebab masih ada saja bayang-bayang Nur Jannah, mantan kekasihku yang terindah. Sarah belum mampu meluruhkanku dari kedukaan kehilangan seorang Nur Jannah.

Meski begitu, Sarah telah membuka mataku. Bahwa masih ada seorang wanita berhati besar dengan tulus hati mencintaiku, memegang erat tanganku tanpa mau dilepaskan. Aku melihat harapan di mata Sarah untukku yang perjaka tua ini meminangnya. Ah, Sarah. Andai saja kamu tahu, aku tak sebesar itu mengharapkanmu.

Hingga usia termakan oleh waktu, dan desakan orang tua, dengan berat hati kulamar Sarah.

Sarah nampak bahagia, meski hanya dengan cincin berlapis baja aku melamarnya. Namun kebahagiaan Sarah tak bertahan lama, sebab aku mendengar orang tuanya tak berkenan melepas dirinya untuk kunikahi. Mereka takut Sarah tak bahagia bersama seorang yang hanya lulusan pondok sepertiku. Ingin kurelakan saja Sarah waktu itu. Ingin kuikhlaskan saja penolakan orang tuanya. Tapi Sarah tak menyerah. Dia meronta meminta restu, hingga tubuhnya dimakan sakit selama seminggu.  Dia mempertahankan diriku dengan gigihnya hingga restu itu didapatnya, kami pun menikah dengan lekasnya.

Pesta pernikahan kami memakan biaya hampir dua puluh juta. Orang tua Sarah juga menyembelih seekor sapi untuk memeriahkan pernikahan kami.

Sebulan pun berlalu. Tiga puluh hari pula usia pernikahan kami. Kuingat betul waktu itu Sarah menyeka air matanya, lalu tidur memunggungiku. Aku memang lelaki kurang ajar. Aku sering mengabaikan Sarah. Tak pernah sekalipun aku berkenan memperhatikannya meski itu hal kecil.

Suatu hari Sarah merancau dalam tidurnya. Kubangunkan dia, lalu kuangsurkan segelas air. Tubuhnya penuh peluh. Dia bercerita aku dalam mimpinya telah mati. Dia tersedu dan memelukku erat-erat. Sejak itu aku mulai sedikit memperhatikan Sarah. Ada sesal yang kurasa. Biarpun dia istriku tapi kuperlakukan dia seperti batu. Harusnya aku sadar.Dialah yang dipilihkan Tuhan untukku, dialah istriku saat ini yang wajib kulindungi dan kunafkahi lahir batin.

Hampir empat tahun usia pernikahan kami. Tetapi mengapa serasa empat puluh tahun lamanya kami bersama. Kupikir semua telah berubah. Hari-hariku tak lagi indah. Cintaku pada istriku pun tak lagi merekah.
Hal itu tentu beralasan. Aku lelah setiap kali melihat rambutnya  yang tak pernah tersisir menyambutku. Ingin kubakar saja daster kumal yang seringkali dipakainya itu. Juga tumpukan baju yang menggunung di pojok kamar kami. Kulit putih yang ditumbuhi banyak jerawat itu aku pun enggan menciumnya. Belum lagi jika kami berpergian untuk sekedar makan diluar, dia selalu dandan ala kadarnya. Jaket hitam bau itu lagi yang dikenakannya. Salahkah aku jika kerapkali kuacungkan ribuan alasan menolak ajakannya untuk sekadar mencari angin malam?

Semua tentangnya mengapa membuatku jengah. Birahiku untuk menyentuhnya pun tak lagi menyala.

Aku rindu saat-saat itu. Lipstik merah yang mengguyur bibirnya. Aroma sampo Sunsilk yang menguap dari rambut hitamnya.

Sarah, istriku. Maafkan jika bosan menyerangku.

Tapi tenang istriku. Kini tak mengapa jika anak-anak kita lebih kamu utamakan kepentingannya dari pada aku yang hanya butuh belaian. Sebab seseorang telah datang mengisi tempat yang telah lama kamu abaikan. Gadis itu mirip sekali dengan Nur Jannah. Namanya Mai, gadis desa yang lugu mempesona. Entah dari mana debar itu hadir begitu saja, tatkala kulihat bulan di matanya. Gadis sendu yang selalu kurindu.

Inilah yang kupikir dosa tapi candu. Dialah Mai, pelebur bosanku pada Sarah. Dialah pematik gairah untukku hidup kembali, yang mana aku telah ditikam kesepian.

Sarah sibuk dengan anak-anak, baik anak-anak kami sendiri maupun anak didiknya. Sarah bahkan melupakan penampilannya. Melupakan penampilanku. Tak lagi peka bahwa aku sering cemburu dunianya tak lagi bersamaku.

Biarpun Mai tak seputih kulit istriku. Tapi dia enak dipandang. Senyumnya bagai madu. Manis menyehatkan.

Mai, gadis polos itu, dia tak tahu kalau aku sering sekali memperhatikannya. Bahkan sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di sini.

Mai tak tahu, diam-diam dalam tidur yang pura-pura, aku memperhatikannya tatkala dia mengambil cangkir bekas kopiku. Meski dalam gelap, kaki-kaki jenjangnya mampu kulihat. Aku suka melihatnya memakai kaos biru yang tak berlengan panjang itu. Tubuhnya terlihat bagai boneka, dengan buah dada yang aku tahu ukuran bra nya berapa.

Mai, kau bagai oase di tengah dahagaku akan kehangatan seorang wanita. Ijinkan aku memelukmu, mencumbumu, memperkosamu dalam mimpi.

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang