PRANG....
Siti memecahkan beberapa piring. Kesadarannya baru saja terkumpul, tapi ia sudah pergi saja ke dapur. Takut neneknya ataupun Sarah menggedor pintu kamarnya. Sarah memang selalu seperti itu padanya. Seolah Siti itu pembantu yang sudah di bayar, jadi wajib membersihkan seluruh isi rumahnya.
Neneknya segera menghampiri.
"Ya Allah, Ndok .... Kok bisa jatuh itu gimana?! Awas kaki kamu. Kamu sapu, terus jangan sampai ada kaca kecil yang tersisa. Nanti bisa kena kaki kakekmu."
Nenek Darmi yang masih memakai mukenannya menegur Siti.
Gadis itu juga melihat kaki Neneknya berdarah karena terkena pecahan kaca kecil.
"Maaf, Nek. Siti masih ngantuk. Makannya kaki Siti tadi kepeleset."
"Yo wes, ndak apa-apa, Sit. Lain kali hati-hati."
Siti pun melihat Neneknya kembali ke kamar. Siti tahu, pasti dibenak Neneknya sebenarnya beliau ingin marah, selain Sarah dan kedua anak kembarnya, Siti juga sudah sering kali memecahkan piringnya yang hanya beberapa lusin dimiliki oleh Neneknya. Gadis itu berjanji ketika pulang nanti ia akan membawakan piring untuk Neneknya.
Siti terhanyut oleh lamunannya. Tentang betapa ia begitu kasihan melihat tangan-tangan rapuh itu menggendong kedua bayi Sarah. Tangan-tangan itu masih saja membuat adonan gorengan, yang mana seharusnya seusiannya harusnya sudah harus banyak-banyak berdzikir mengingat Allah. Seharusnya usia seperti Neneknya sudah berdiam diri di rumah, menikmati hasil kerja anak-anaknya. Terlebih kakeknya yang usianya terpaut jauh dari Neneknya. Laki-laki tua itu, setiap Mahgrib masih berkeliaran di pabrik untuk mencari pundi-pundi untuk menyambung hidup. Belum lagi ketika pagi menyapa, laki-laki tua itu mengambil air bersih dari tetangga. Menyiapkan barang dagangannya. Dan seringkali membetulkan atap rumah yang bocor.
Pantaskah seorang Surya yang masih jauh dari kata renta, tidur dengan lelapnya. Kemana perginya kalimat-kalimat wibawanya ketika ia memberikan tausiyah pada murid-muridnya? membiarkan laki-laki tua itu mengambil air, sendirian? tubuh renta itu harusnya sudah duduk manis menikmati kopi paginya. Menikmati masa tuanya dengan fokus beribadah.
Siti tersadar dari lamunanya ketika mendapati anak sulung Sarah yang laki-laki ngompol di celana. Sambil memainkan keran yang biasa untuk wudhu. Siti membiarkan saja. Siti tidak mau lagi berurusan dengan anak yang mirip ayahnya itu.
***"Iya. Ra. Gue nggak bisa segitu enaknya pergi dari sini." Siti sedang berbicara pelan dengan temannya lewat telepon.
Ia sering curgat dengan Ira yang sudah semester awal menjadi sahabatnya. Bahkan tentang Surya. Ira sering menasehati Siti untuk pergi dari rumah neneknya. Tapi Siti selalu punya alasan tersendiri untuk tetap bertahan disana selain tidak punya uang untuk menyewa kos-kosan.
"Gue pikir, lo Sit. Yang mungkin nggak mau menerima suasana baru. Loe nggak tegas dengan diri loe sendiri. Loe mau aja diperbudak. Kapan loe maju, kalo loe masih stay aja sama masalah loe. Loe nggak nyoba buat mecahin masalah loe sendiri."
Kalimat pedas Ira kini berselancar di benaknya. Benar juga. Ia memang seorang pengecut. Ia terlalu takut sebelum mencoba. Ia terlalu takut jika ia tidak bisa menyelesaikan kuliah tanpa bantuan Neneknya yang sudah hampir lima tahun memberinya tumpangan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Maimunah (END+ Revisi)
Romance21+ Dilarang keras membaca jika belum usia dewasa. Om Surya. Paman nya yang ia fikir adalah pria yang alim. Ternyata .... Sebuah pelajaran bagi Mai. Kehidupanya mengajarkan untuk tidak menilai susuatu dari luarnya saja. Begins on September 2018.