37

5.7K 136 1
                                    

Titik-titik hujan mulai menyentuh jemarinya yang begitu erat membopong tumpukan baju. Angin segar bercampur bau tanah sudah dihirupnya beberapa kali, mengisi rongga-rongga kecemasanya tadi, mengendurkan ketakutanya.

Langkah-langkah kecilnya mulai dipercepat kala melewati jalan yang dulu Sarah pernah mendapatkan pelecehan dari sana, bokong Mbaknya itu pernah dipegang oleh seorang laki-laki nakal yang sengaja menghadang di jalan sepi yang di lewatinya saat ini.

Jalan ini memang terkenal sepi. Mai tidak punya pilihan lain untuk tidak melewatinya karena jalan ini adalah satu-satunya penghubung jalan untuknya menuju pangkalan becak. Ia hendak naik kendaraan beroda tiga itu untuk pergi ke terminal. Biasanya ia lewat jalan yang di apit perumahan. Tapi entahlah, ia takut saja, Om nya bisa saja menguntitnya dari belakang. Ia hanya mencari pilihan jalan yang mungkin Om nya tak akan berfikir jika Mai akan berani melawati jalan sempit yang mirip hutan itu.

Sesekali matanya milirik pohon-pohon di sekelilingnya. Jalan itu sempit tapi panjangnya beratus-ratus meter. Sayangnya, hujan mulai merong-rongnya untuk berteduh. Gadis yang hendak pulang ke rumahnya itu memilih untuk berlari dan basah, daripada harus berteduh di keramaian pohon-pohon yang menjulang tinggi. Entahlah pohon apa namanya. Yang hanya Mai tau, hanya ada satu pohon mangga di sana.

Jarang sekali jalan sempit itu di lewati kendaraan. Karena di samping mirip hutan, ada sebuah pemakaman yang penuh dengan pohon kamboja juga mengisi sebagian tanah di samping kiri jalan itu.

Sebuah sepeda motor yang tak asing bagi Mai menerabas dinding-dinding hujan dari arah belakang. Mai semakin di buat untuk mempercepat langkah kakinya. Deru motor itu juga tak kalah cepat. Sepatunya yang telah basah menyulitkanya berlari. Ia terjatuh....

Sepeda motor itu terparkir di depanya. Mai menengadah, mencoba memastikan apakah pengendara itu pamanya.

Benar saja. Helem itu sudah di lepas. Kumis tipis, mata merah, warna kulit kusam, dan perut yang membuncit itu lah gambaran pemilik sepeda motor itu.

Laki-laki itu tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya. Senyumnya sama sekali tidak manusiawi.

Alat pemompa darah itu berdentum-dentum kala melihat Surya ada di depanya.

"Kamu mau kemana? Mai?" Laki-laki itu tersenyum lagi, senyuman yang membuat siapa saja akan merinding jika melihatnya.

Gadis itu mencoba untuk berdiri. Ia tidak mau melihat mahluk menjijikkan itu lagi. Kakinya melangkah beberapa kali. Tapi manusia di depanya itu menarik lenganya.

"Sudah kubilang, jangan pernah berlari dariku!" Bentaknya di tengah hujan deras yang masih menerpa.

Lengan Mai terasa sangat sakit.

"Lepaskan aku, Bangsat!" Hardik Mai. Lengannya semakin ditarik hingga tas besarnya itu jatuh.

"Aku begini karenamu!"

Kini Surya menarik tangan kiri Mai. Kedua tanganya di tarik erat-erat.

"Apa salahku! Kenapa Om tega melakukan ini! Apa salahku!" Air matanya bergulir diikuti alunan nafas yang menderu kencang.

Tangan kanan Surya menyentuh sekaligus mengelus pipi kiri Mai yang sudah basa oleh hujan. Karena hal itulah yang selama ini ingin dilakukannya. Mai melengos membuang muka.

"Karena kamu terlalu cantik untuk aku biarkan pergi. Aku tau kamu pasti juga sama-sama kesepian, sama sepertiku! Jadi jangan munafik! Kamu pasti menginginkanya juga!"

"Bangsat! Buaya! Apa kamu pikir aku tertarik dengan Om-Om yang sudah beranak sepertimu! Najis! Jangan mimpi!" Mai pun meludahi Surya.

Surya dibuat geram. Kedua tangannya yang besar itu mencengkeram erat wajah gadis itu. Surya berusaha menempelkan bibirnya ke bibir yang tak pernah terjamah itu. Siti meronta-ronta, berusaha membuang muka. Dengan sekuat tenaga Mai menendang perut besar laki-laki itu. Hingga laki-laki itu mengaduh. Hampir saja bibirnya terlumat jika ia tak menendang perut laki-laki itu. Siti juga menambahkan bogem keras-keras di sudut bibir Surya, meskipun dadanya berdegup dengan keras-keras karena ini kali pertamanya Mai menganiaya seseorang. Gadis itu hanya memanfaatkan momen ketika laki-laki itu kesakitan. Sekalian saja Mai menendang tengkuk laki-laki itu dan membuatnya jatuh.

Mai belum puas jika hanya melihat laki-laki itu cedera fisik. Berbeda dengan Mai yang menderita tekanan batin karena teror laki-laki itu yang tentu akan lama untuk sembuh. Mai memberanikan diri untuk mencomot kunci sepeda motor Surya, kemudian membuangnya jauh-jauh. Segera tangannya mengamit kembali tas besarnya dan hendak melarikan diri. Kerudungnya sudah tak berbentuk karena lepek terkena siraman hujan.

Tapi, kakinya terhalang oleh tangan Surya yang begitu erat mendekapnya. Tenaga Mai terlalu lemah untuk melawanya. Meskipun rasa sakit di perut masih dirasakan oleh laki-laki itu. Surya menjegal kaki-kakinya yang dibungkus sebuah rok panjang. Dan berakhir dengan Mai jatuh kepelukan laki-laki itu.

"Jangan pergi, Mai. Ku mohon. Aku sangat menyukaimu." Mai dipeluknya erat-erat hingga gadis itu tak mampu bernafas. Tangan-tangan besar itu semakin membuat pelukan laki-laki itu semakin erat. Dada Mai terasa sesak. Memikirkan rentetan kata yang terucap dari mulut Surya. Bagaimana bisa laki-laki beristri itu dengan lantang mengucapkannya, tanpa merasa bersalah pada seorang perempuan yang mungkin sekarang sedang menyuapi makanan anak-anaknya satu persatu. Kenapa laki-laki yang memeluknya ini begitu tega menghianati janji sucinya. Yang hanya bisa Mai lakukan hanyalah memukul-mukul punggung laki-laki itu dengan sekuat tenaga. Karena dekapan laki-laki itu bisa saja membunuhnya. Tak ada ide apapun yang terbesit di kepala gadis itu yang mana sudah terkunci dalam pelukan Surya.

Tubuhnya yang lemah itu tiba-tiba terangkat menuju tempat dimana tubuhnya itu di naungi pohon yang menjulang tinggi. Hujan berganti rintik-rintik.

Gadis itu kini beranjang tanah. Tenggorokanya tercekat. Lidahnya lagi-lagi kelu. Tak mampu berteriak karena Surya sudah berada tepat menggagahinya. Tetesan demi tetesan pun tak henti-hentinya meluncur dari sudut mata gadis itu merasakan tangan besar itu mulai melepas kancing-kancing kemejanya. Ia ingin berteriak tapi percuma. Hujan pasti membuat malas orang-orang untuk berlalu lalang.

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang