12#

7.6K 192 3
                                    

Sarah terburu-buru mengambil kunci sepedah motor dari kamarnya. Tapak-tapak kakinya melewati dapur dimana Mai beradu dengan pisaunya, mencincang bawang.

Sarah Sekilas tampak bermuram durja. Anak kembarnya yang bernama Asih itu menghilang lima menit lalu dan baru diketahui, ia ikut Ana, tetangga mereka.

Asih tiba-tiba mengukuti bude Ana tanpa sepengetahuanya yang mana sedang mengantar anaknya yang masih berumur empat tahun. Dan baru tersadar ketika Ana  menghubunginya.

Asih  dan kakak kembarnya memang sering bermain dengan anak Ana.
Sarah sudah membangunkan suaminya untuk mengejar Asih. Tapi laki-laki itu lebih mementingkan tidurnya. Sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Sarah dinomer duakan oleh Surya yang hanya menomor satukan tidurnya. Meskipun anaknya menghilang sekalipun. Seperti sekarang ini.

Wajah Sarah seharian murung. Marah-marah tidak jelas. Bahkan orang tuanya pun menjadi korban kemarahannya. Termasuk pula Mai, ia juga ikut andil mendapat kemarahan Sarah.

Darmi mengelus dadanya. Beliau hampir meneteskan air matanya. Beliau sedang mencuci banjunya. Sedangkan Mai sedang mencuci piring di sebelahnya. Darmi berbisik kepadanya sambil menyeka air matanya yang benar-benar jatuh.

"Padahal itu pilihan Sarah sendiri lo Ndok. Dulu Nenek sudah mengingatkan. Laki-laki pondok ya gitu. Malas. Yaitu, akibat menampik lamaran banyak orang.  sekarang kalo udah nyesel, orang tua yang kena imbasnya." Hembusan nafas kasar pun tertangkap oleh gendang telinga Mai.

Seharusnya pribadi Surya lah yang seharusnya disalahkan, bukan pondoknya.

Mai hanya sentuk-sentuk saja. Baginya, tidak semua orang pondok pemalas, menurut Mai, itu tergantung manusianya saja.

Kalo seperti Surya mungkin dapat dipercaya omongan neneknya. Surya tidak hanya malas. Ia juga tidak peduli dengan istrinya. Laki-laki itu seenaknya saja pada istrinya. Padahal Sarah begitu mencintainya, membanggakanya setengah mati. Perempuan itu selalu menomorsatukan Surya dalam segala hal. Meskipun itu menentang perintah ibu dan bapaknya.

Mai pun selalu mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Sarah. Jika Sarah bertengkar dengan Surya. Sampai Mai merasa selalu tidak betah jika di rumah itu. Gadis itu lagi-lagi harus bersabar. Tapi jika Sarah sudah baikan dengan Surya. Itu akan beda lagi.

"Gimana yank? nggak enak ya nasi gorengnya?" tanya Sarah yang menyuap dua anak kembarnya dengan nasi goreng. Sedangkan suaminya sedang lesehan dan makan nasi goreng buatan istrinya. Karena Surya diam saja. Mai yang tak jauh dari Sarah dan juga sedang makan nasi goreng. Mai pun menjawab Sarah.

"Enak kok Mbak. Kan makanan nggak boleh di cela," sahut Mai.

Di tengah kunyahanya. Surya membenarkan perkataan Mai.

"Iya. Bener banget Mai. Mbak mu itu apa-apa di cela. Dia itu sekarang sudah cerita. Besoknya ya itu lagi yang di ulang."

Sarah terkekeh mendengarnya. Mai pun dengan polos tersenyum. Membenarkan perkataan Surya.

Memang Sarah, perempuan yang talkaktif. Perempuan itu bisa cerita apa saja dan pada siapun. Kecuali dengan yang bukan keluarganya. Perempuan itu baru bisa mengerem bicaranya.
****

Setiap dua minggu sekali. Kakak ipar Sarah yang bernama Fera. Kakak iparnya itu dan juga kakak Sarah, Mas Ridho mengunjungi ibunya.

Sifat Fera dengan Sarah beda jauh. Jika Sarah yang baik hati dan dermawan ... sangat berbeda dengan  Fera yang kasar, pelit dan juga suka menentang siapapun jika tidak sepaham dengannya. Mai pun harus selalu berhati-hati jika berinteraksi dengan perempuan itu. Sarah pun tak suka dengan perempuan itu. Jauh dari kata suka. Sering Sarah mengajak Mai untuk keluar mengajak kedua anak kembarnya bermain ke mall, hanya untuk menghindar dari Fera. Ya Karena sifat Fera yang seperti itu. Terlebih perempuan itu selalu bercerita tentang kelebihanya. Itu tentu membuat Mai ataupun Sarah yang mendengarnya menjadi bosan. Jadi mereka lebih memilih menghindar jika ada perempuan itu bertamu.

"Kok, bisa ya? Kakakku nikahin perempuan macam dia, Mai? "

Itulah pembukaan percakapan mereka, kala kedua roda sepeda motor Sarah berhenti di depan sebuah Mall, tepat di tepi jalan. Kedua anaknya segera berceloteh karena merasa senang melihat kendaraan berlalulalang.

"Sudah menjadi takdir mungkin, Mbak. "

Terdengar bibir Sarah berdecak.

"Ibuku sering menangis jika beliau mengingat Kakakku menikahi seorang anak haram."

Mai mencoba mencerna perkataan Sarah. Namun gagal. Ia benar-benar tidak paham.

"Kamu pasti bingung ya?"

Ujung kerudung ungu Sarah, sukses mengelap dahi putihnya. Cuaca memang sedang terik. Beruntung anak-anaknya dipakaikannya topi. Sedangkan Mai juga sibuk mengipasi dirinya. Hijabnya juga sama panjangnya dengan Sarah.

"Anak haram, maksudnya gimana, Mbak?"

Sarah pun bercerita, jika Fera dulunya anak hasil hubungan pasangan yang belum menikah, ayah Fera kabur meninggalkan ibunya dan yang tengah mengandung bayinya.

"Ibuku langsung nangis, Mai. Baru tahu kalau kenyataanya seperti itu. Dan juga Masku sangat terpukul hendak membatalkan pernikahan mereka. Tapi undangan sudah disebar, Mai."

Mai mengambil nafas, setelah terbelalak karena terkejut mendengar apa yang dikatakan Sarah.

"Padahal, ibuku sudah mewanti-wanti, Mai. Agar memilih pasangan itu yang baik bibit bebet bobotnya. Rasul saja juga menganjurkan seperti itu, kan? Ya meskipun keturunan juga tidak bisa dijadikan patokan juga. Tapi Rasul juga pernah berkata
Janganlah kalian menikahi perempuan karena keelokannya, karena boleh jadi keelokannya itu akan binasa, jangan pula kalian menikahi perempuan karena hartanya, karena boleh jadi hartanya itu akan membuatnya berlaku angkuh/sombong/melampaui batas, tapi nikahilah seorang wanita karena agamanya, dan (ketahuilah) bahwa budak wanita yang hitam legam namun beragama itu lebih baik. Mbak Fera, itu lemah Mai kalau masalah agama. Dan ahlaqnya kamu tahu sendiri, kan sekarang seperti apa?" beberapa detik, Sarah melanjutkan, "yang pasti, Mas sangat menyesal menikah dengannya. Tapi sayangnya Mas tidak bisa meninggalkannya begitu saja di detik-detik dimana beberapa hari lagi mereka akan menikah. Sampai sekarang mereka masih saja beradu mulut. Aku kasihan sama, Mas. "

Mai termenung sejenak. Benar juga kata Sarah, kakak Sarah benar-benar tidak beruntung menikahi Fera. Mai sendiri tak sengaja sering mendengar neneknya berkeluh kesah tentang Fera ketika berbicang dengan kakeknya, menantu yang sering membuat neneknya merasa kesal.

Tapi Mai lebih kasian lagi dengan nasib Sarah. Ah biarlah...  Biarlah Tuhan yang menjawab semua. Memberi pahala bagi yang sabar, dan memberi karma bagi yang berdosa.

***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang