"Kenapa dulu Ibu nggak bilang sama Mbah Darmi?"
"Buat apa?" wanita yang paling kucintai itu malah balik bertanya. Beliau lalu mengaduk kopi Bapak.
"Apa ibuk nggak tertekan mendapat pelecehan seperti itu?"
"Dulu Ibuk masih terlalu kecil untuk mengerti, May. Jadi ya berlalu begitu saja. Ibu sudah mengadukannya pada Mbah Minah, tapi beliau menyuruh Ibu untuk diam dan ngalah."
Seperti sifat orang jawa lainnya, yang lebih ngalah, lalu ngalih, Ibu seolah melupakan semuanya. Melupakan perlakuan suami Mbah Darmi terhadapnya.
Aku terlonjak kaget ketika ibu bercerita bahwa dulu yang sangat dulu sekali, suami Mbah Darmi itu pernah menciumi Ibuku tatkala beliau terlelap. Di masa kecilnya, ibuku memang pernah tinggal serumah dengan Mbah Darmi. Tak bisa kucerna, ternyata laki-laki tua yang kerap ikut jama'ah shalat shubuh di musala itu mantan predator anak. Aku sangat geram sekali.
"Daripada merusak pagar ayu. Lebih baik ibu diam, Ndok. Kamu juga lebih baik mengalah saja. Kalo diperkarakan Kasihan Mbakmu Sarah. Kasihan anak-anaknya."
Atas nama kasihan? Kenapa ibu dengan gampangnya berkata begitu. Apa beliau tidak kasihan padaku? Aku ini putrinya! Kehormatanku sedang diinjak-injak, mengapa beliau diam saja!
Kuulang lagi kalimat ibu dalam hati, "Merusak pagar ayu?"
Bukannya pagar ayu itu memang sudah rusak sejak dulu? Bahkan sejak awal pernikahan mereka. Om Surya tidak mencintai Mbak Sarah. Dia lelaki kurang ajar, dan tidak tahu diri. Apa tidak lebih kasihan kalau wanita tulus seperti Mbak Sarah hidup lebih lama dengan lelaki bangsat seperti dia!
"Aku nggak iso ngalah, Buk. Ali Bin Abi Thalib bukannya sudah bilang, disuruh jujur meskipun pahit sekalipun," aku membela diriku dengan embel-embel perkataan salah satu khulafaur Rasidin ke empat itu.
"Tapi kanjeng nabi yo nembung loh, May. Sopo wae seng nutup aib e sedulur islam, mengke dino kiamat yo bakal ditutup aib e. Sampean luweh njunjung dawuh e kanjeng nabi opo bawahane kanjeng nabi?"
"Yo bedo kondisine, Buk. Mboten saget ngoten. Ini masalah harga diri May. May tidak terima, Buk."
Ibuku terduduk, lalu mengelus dada. Ada gurat kesedihan disana.Ditundanya kegiatan beliau tadi untuk sesaat.
"Ndok. Gusti Allah kui Maha Adil. Sampean dikasih cobaan seperti ini karena sampean pasti bisa melewati. Ibuk bukannya tidak memahami keaadane sampean. Justru Ibuk ingin mendewasakan sampean."
Aku mendekat lalu mencium tangan beliau.
"Ibuk tau sampean nggak terima. Tapi kalau sampean ngadu sama Mbakmu Sarah, bisa retak rumah tangganya. Bisa rusak masa depan anak-anaknya. Sampean nanti juga akan tahu bagaimana beratnya berumah tangga. Biarkan saja Allah yang mengurusnya. Yang penting sampean selamat dan sekarang dekat sama ibuk."
Ya, mungkin benar kata ibu. Biarkan Allah saja yang mengurusnya. Mungkin dengan aku tidak memberitahu siapa sebenrnya Om Surya, bisa saja Allah sudah mengatur semua. Dan suatu saat Mbak Sarah akan menemukan jalan terbaik. Semoga saja. Dari sini aku mengerti, perlunya meluaskan hati. Bersedia memaafkan dan melupakan siapapun yang pernah melukai. Karena bisa saja, hanya sesuatu yang kita anggap benar belum tentu itu akan benar dimata orang lain. Aku tak punya bukti. Tapi cinta dimata Mbak Sarah untuk suaminya sudah lolos uji. Dan aku yakin, penghiatan macam apapun tak akan mengiklaskan rumah tangganya tercerai-berai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Maimunah (END+ Revisi)
Romance21+ Dilarang keras membaca jika belum usia dewasa. Om Surya. Paman nya yang ia fikir adalah pria yang alim. Ternyata .... Sebuah pelajaran bagi Mai. Kehidupanya mengajarkan untuk tidak menilai susuatu dari luarnya saja. Begins on September 2018.