6#

9.1K 212 0
                                    

Sebelum kakinya beranjak dari Bemo yang biasa mengantarkannya pergi ke kampus, gadis dengan mata sayu itu memikirkan sebuah cara. Yang mana, bisa mengambil les tanpa harus merogoh kantongnya dalam-dalam.

Dengan hidupnya yang pas-pasan, ia tidak akan mampu mengambil les bahasa Asing. Bahkan untuk uang sakunya saja ia dapatkan dari gaji yang diperoleh dari Sarah.

Satu-satunya titik terang yang terlintas di otaknya adalah pamannya. Surya sendiri adalah guru Bahasa Inggris yang sudah biasa mengajar ataupun memandu muridnya ketika study tour di beberapa kota. Mungkin barangkali laki-laki itu mau mengulurkan tangannya untuk menolong Mai.

Dengan sedikit berbasa-basi. Ketika pamanya pulang. Dari pintu belakang, gadis itu mengajak Surya mengobrol.

"Om. Mai boleh nggak belajar Bahasa Inggris sama Om." Gadis itu sudah berhadapan dengan Surya yang masih memakai sepatunya di ambang pintu ruang bagasi motor.

Seperti biasa, Surya melemparkan senyum padanya. Senyum yang mungkin bagi Mai hanya sebatas ramah tamah saja, tapi entah jika bagi Surya. Lantas laki-laki yang ia panggil Om itu masuk tanpa segan ke kamarnya. Mai dengan heran membuntutinya dari belakang.

Surya dengan tanpa ragu duduk di tepian ranjang. Terlihat ia memperhatikan tiap inci kamar Mai, lalu mengambil nafas sebentar. Dan matanya beralih menatap Mai kembali.

Sedangkan Mai hanya berdiri di depan pintu kamarnya. Ia segan jika harus berdua saja di sana. Meskipun ia merasa sudah di anggap keponakan sendiri oleh Surya. Hanya berusaha menjaga diri.

Mai sesekali menggaruk pelipisnya. Berusaha memecah keheningan yang baru saja tercipta.

"Kamu duduk sini Mai. Om nggak gigit kok."

Dengan ragu-ragu Mai menurut. Gadis itu duduk di sebelah Surya dengan polosnya.

"Boleh kok. Kamu boleh belajar sama Om. Tapi kamu cari temen, ya? Biar belajarnya nggak sama kamu aja. Belajar bahasa kan perlu interaksi. Kamu perlu interaksi dengan orang lain," terang Om nya sambil mengelus puncak kepala Mai. Desir-desir aneh segera menerjang pikiran Mai. Timbul satu pertanyaan di kepalannya. Apa Sarah tidak akan cemburu jika tangan suaminya mengelus ubun-ubunya dengan santainya.

"Iya, Om. Mai cari teman dulu." Mai berfikir keras. Temanya mana yang mau di ajak nya untuk ambil les lagi? Sementara hampir dari  mereka sudah mahir semua.

Lantas pamanya pergi dari kamarnya. Meninggalkan suara pintu dapur yang terbuka karena tubuhnya melewati daun pintu itu.

                     ***

Tidak ada yang berubah dari kebiasaan sehari-hari Mai. Setiap sore, Mai membersihkan seluruh penjuru rumah sempit itu. Beberapa sampah permen, bungkus makanan-makanan ringan, putung rokok sudah disapunya bersih. Semua sampah itu sendiri berasal dari para anak tetangga.

Mai menggerutu sikap tak adil Neneknya disaat tanganya dengan lambat mengepel lantai putih ruang tamu. Ia kesal dan sekaligus merasa cemburu jika neneknya terlalu memanjakan Sarah. Kondisi hamil membuat Sarah begitu dimanja oleh ibunya. Semua pekerjaan jadi Mai  yang mengerjakan. Sedangkan perempuan berkulit putih itu sedang enak-enaknya membaringkan tubuh sambil jari-jarinya menari di layar ponsel. Suara cekikikan Sarah terdengar jelas dari balik pintu kamarnya. Semakin membuat gadis itu ingin melempari perempuan itu dengan pel.

Gadis kurus itu setiap pagi  juga harus membersihkan kamar mandi. Kadang Mai masih mendengar keluhan neneknya karena tidak puas dengan pekerjaannya. Mai harus benar-benar extra sabar. Seorang penumpang seperti Mai memang tidak diberi hak-hak untuk memberontak. Ya, meskipun mereka mengaku sebagai sanak keluarga.

Sepuluh menit yang lalu cukup membuat lantai itu terlihat mengkilat dari sebelumnya. Harum Lavender pun menyeruak ke penjuru ruang tamu itu. Mai menikmati hasil kerjaannya.

Tapi mendadak, Sarah keluar kamar dan berlari dari kamar menuju kamar mandi. Tapak kakinya pun terdengar disusul suara muntahan Sarah berkali-kali membuatnya ikut merasa hawatir.

Neneknya yang masih memakai mukena pun menghampiri Sarah. Sarah, meski sudah hamil tua, tetap saja perempuan itu sering merasa mual. Darmi pun berlari menuju kamar, hendak mengambil minyak kayu putih untuk dioleskan ke perut Sarah.

Beruntung lantai kamar mandi itu sudah disikatnya tadi. Andai Siti tidak segera menggosok lantai-lantai yang sudah hampir hilang kemolekannya itu, mungkin Darmi akan menghujaninya dengan kritikan yang mungkin lima menit baru berhenti.

Gadis kurus itu ikut mengantri di belakang Darmi dengan wajah penuh kekhawatiran. Darmi memijat-mijat bahu anaknya, sambil terus merancau yang membiarkan saja suaminya sering pulang tengah malam.

"Mbok ya ditegur suamimu itu, Sar. Tiap pulang kok mesti tengah malam."

"Sudah, Buk. Sarah sudah sering mengeluh. Tapi mau gimana lagi, Mas Surya sulit dibilangi." Terlihat Sarah kesulitan menyahuti Darmi. Matanya mengerjap beberapa kali. Mungkin pening juga menyerangnya.

Mai kerapkali juga merasa kasihan melihat Sarah yang merasa kesepian di ujung kandungannya memasuki bulan ke sembilan. Suaminya masih sering ke luar kota. Kadang meskipun suaminya pulang, Surya, tidak juga terlihat menemaninya. Pria itu lebih memilih menghabiskan waktu di luar hingga hampir Shubuh baru kembali.

Mungkin kebiasaannya dulu ketika di pondok yang jarang tidur di malam hari. Tapi ngebo di siang hari. Pekerjaan Surya tidaklah seperti para pekerja umumnya. Ia bisa pergi seenak hati. Atau mungkin bisa saja keluar malam adalah cara Surya untuk menyingkirkan kebosanan dan memilih teman-temannya yang lebih menarik daripada istrinya yang sedang berbadan besar.

                        ***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang