28

5.8K 170 1
                                        

"Kamu baru sampai, Ndok?"

Mai mengangguk sembari mencium punggung tangan milik neneknya.

Wanita berumur hampir enam puluh tahun itu sedang duduk di depan rumah bersama dua anak Sarah.

Tangan-tangan kecil anak Sarah pun ikut menyalaminya. Anak pertamannya saja yang tidak mau. Entah kenapa sifat anak itu begitu menjengkelkan Mai. Selain sering membuat Mai jengkel dengan sering menyiram Mai dengan air ketika anak itu sedang mandi, anak Sarah yang satu itu sering juga memukul teman-temannya ketika mereka berkumpul. Kadang juga kembarannya yang perempuan itu juga sering rewel. Tapi anak itu manis. Ia mirip ibunnya.

Kakeknya keluar dari balik pintu belakang.

Mai pun segera menghampiri kakeknya. Memohon maaf, karena belum sempat bertemu ketika lebaran seminggu yang lalu.

"Iya. Sama-sama, Ndok. Orang tua juga banyak salahnya. Kamu kok baru balik?"

Gadis yang berbalut jilbab maroon itu menyahut, "Iya, Kek. Maaf. Keluarga belum bisa mudik ke desa, karena sebentar lagi, Mai bayar uang spp. Jadi uangnya dipakai untuk jaga-jaga."

"Iya, Ndok. Nggak papa. Kuliah memang membutuhkan banyak biaya. Mbak kamu Sarah juga dulu gitu." Nenek Darmi menyahut.

Mai pun memberikan titipan dari ibunnya. Satu wadah roti bakar, Beras lima kilo, mnyak goreng, diserahkan semua pada neneknya.

"Waduh, Mai. Ibu kamu kok repot-repot, Sih. Makasih, ya." Neneknya pun memberikannya pada kakek untuk dibawa masuk, sedangkan beliau masih menjaga dua cucunya. Kakek pun juga ikut berterima kasih.

Sebelum Mai membenamkan tubuhnya dibalik pintu belakang, neneknya terlebih dahulu menyuruhnya sesuatu. Sesuatu yang sangat ia hindari. Bertemu Surya untuk meminta maaf. Kebetulan laki-laki itu sedang ada di kamarnya. Sedang apalagi kalau bukan menutup mata dengan pulasnya.

Mai berdecak dalam hati. Sia-sia usahannya selama ini, meminta ibu dan bapaknya untuk tidak pulang ke desa.

Neneknya mengantarnya menuju kamar Sarah. Perempuan itu sedang ikut arisan, hari ini hari minggu, dimana Sarah ataupun Nenek Darmi pergi untuk membayar arisan. Tapi hari ini Sarah yang pergi.

Pintu kamar pun terbuka. Tampak tubuh besar yang sudah membuncit memenuhi ranjang besar itu.

"Pantesan ... Mbak Sarah menyuruh suaminya untuk tidur di luar. Mana cukup kalau dibuat empat orang," batin Mai berkata.

Surya bangun ketika neneknya memanggilnya pelan. Mai pun menunduk.

"Mai mau lahir batinan sama kamu, Sur."

Seperti biasa. Mata Surya seperti menelanjangi Mai. Gadis itu pun tak berani menatapnya. Surya pun mendekat ke arah pintu.

Mai menjulurkan tangan untuk bersalaman. Dengan cepat dan lama Surya menerima uluran tangan Mai.

"Iya, Mai. Mas juga minta maaf kalau ada salah."

Tangan Mai segera terlepas setelah ia dengan kasar menariknya. Neneknya sudah tak ada di sampingnya. Mai pun segera pergi. Ada kilatan senyuman Surya mengiringi kepergian gadis itu. Tangan kanan Surya pun diciumi. Entah apa yang membuatnya tergila-gila pada Mai.

Di balik pintu kamar, Mai melepas kerudungnya. Kamarnya yang kotor pun menyambutnya untuk dibersihkan. Ruang itu semakin pengap saja. Mai lupa jika belum mencuci baju ketika ia pulang ke desa.

Tiba-tiba suara ketukan di balik pintu kamarnya terdengar.

"Sit. Buka, Ndok." Neneknya berkata lirih. Sepertinya anak kembar Sarah dititipkan kakeknya.

Tangan Mai membukannya perlahan.

"Iya, Nek?"

Mai sedikit heran dengan sikap neneknya. Dari awal Mai datang. Wajahnya begitu murung. Seperti ada yang sedang dipikirkan.

Neneknya perlahan duduk di samping Mai. Sepertinya ada hal penting yang akan dibicarakan oleh neneknya.

Dengusan pelan itu terdengar di telinga Mai.

"Nenek mau tanya, Mai. Apa benar Surya menggodamu?"

Bagai tersengat aliran listrik, Mai kaget bukan main. Padahal Mai sudah rapi menyembunyikan rahasia itu. Siapa yang berani memberitahu neneknya perihal masalah ini?!

Mai menelan ludahnya sendiri beberapa kali. Memikirkan antara berkata jujur atau tidak.

"Bapakmu yang bilang pada Nenek. Lebaran dulu, Bapakmu telpon." Wajah nenek Darmi kentara selali. Membuat Mai merasa bersalah.

"Iya, Nek."

Rintik air mata neneknya terjatuh. Itu hal yang sangat Mai tidak inginkan. Ia sangat tidak ingin membuat neneknya sedih. Darah Mai berdesir. Tak berani mengeluarkan kata yang mungkin membuat neneknya semakin berlinang air mata.

                        ***

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang