10

8.2K 207 0
                                    

Lambat-laun, Mai berhenti membantu Sarah mengajari murid les-nya. Mungkin hanya sesekali Sarah menggantikannya jika perempuan itu repot.

Gadis itu sudah mempunyai banyak tawaran les privat. Namun hanya dua anak yang ia pilih, yang mana rumah mereka hanya beberapa ratus meter dari rumah Neneknya. Mai tentu bisa jalan kaki.

Hampir setiap hari ia memberi les privat setelah kuliah. Alhamdulillah, gajinya cukup untuk ongkos pulang perginya. Meskipun lelah. Karena setiap hari jalan kaki. Tidak membuat gadis itu patah semangat. Ia hanya ingin meringankan beban orang tuanya.

Karena tiap bulan. Gadis itu harus berhemat dengan uang saku dua ratus ribu yang di berikan orang tuanya. Kadang kakaknya juga memberikan saku tiga ratus ribu padanya jika orang tua Mai tak memegang uang sama sekali.

Beruntung Nenek Minah sudah pulang ke desanya. jadi gadis itu bisa leluasa di kamarnya sendiri. Ia jadi bisa menutup pintu tanpa merasa risih jika Om atau kakeknya lewat di depan kamarnya. Meskipun di hati lubuk gadis itu kehilangan. Karena tidak ada lagi yang mengingatkannya untuk shalat Isya'. Mai sulit untuk tidak meninggalkan shalat Isya'.

Dengan tidak adanya Nenek Minah. Gadis itu lebih leluasa untuk tidur dengan singlet dan celana pendek. Mengingat kamarnya yang begitu pengap karena tak berjendela. Gadis itu kepanasan jika harus tidur dengan pakaian tertutup. Padahal orang tuanya sudah berpesan. Seorang gadis harus pandai menjaga diri. Termasuk ketika tidur. Harus memakai baju yang panjang. Namun gadis itu acuh tak acuh. Baginya semua tergantung kondisi.

"Mai ... sini, Ndok!" Neneknya memanggil.

"Iya, Nek," sahut gadis itu memakai Sweater nya.

Mai menuju kamar neneknya.

"Kamu belanja ya. Ini sudah nenek catat."

Mai sudah biasa belanja di toko langganan neneknya. Setelah Isya'. Mai berbelanja keperluan untuk membuat gorengan. Kadang nenek atau kakeknya yang belanja. Bila dirinya pergi ke rumah tetangga untuk memberi les privat.

Setiap pagi gadis itu harus menggosok jamban. Mencuci piring. Seperti yang sudah-sudah. Membuang sampah dan lain-lain. Ia juga masih setiap hari menyeduh kopi dan teh untuk mereka.

Ia suka risih jika melihat Surya tidur di ruang tamu dengan pakaian yang sedikit terbuka. Tanda kutip 'hanya memakai boxer pendek'.

"Katanya alim. Tapi kok gini. Nggak punya malu nih pak Ustadz. Mertuanya dzikir. Ini malah masih ngebo," Mai membatin.

Kadang Mai juga menyesal pernah merasa kagum dengan jabatan yang di sandang oleh laki-laki itu. Tapi nyatanya sekarang ia tahu. Kenyataanya tak seindah apa yang ia kira.
****

Siti Maimunah  (END+ Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang