Hampir tiga bulan aku meninggalkan kota ini dan sibuk mengurus skripsiku di Surabaya. Jalanan tak tetap tak berubah, tetap saja panas dan gersang karena minimnya pepohonan. Aku masih ingat betul, jalan panjang ini adalah saksi bisu perjalananku menuntut ilmu. Sebab aku sering melewatinya. Iya Jalanan yang aku maksud ini adalah jalan menuju rumah Mbah Darmi. Membutuhkan waktu lima belas menit dengan berjalan kaki maka akan sampai di rumah wanita sepuh yang kupanggil Mbah itu. Dulu aku berjalan dengan basah keringat, tapi kusus hari ini mobil merah menyala mengantarku. Hari ini hari dimana aku telah selesai diwisuda. Aku dirias oleh kerabatku sendiri yang tentu gratis tanpa biaya. Aku bahagia sebab orang tuaku merasa bangga putrinya telah menjadi seorang sarjana.
Sebelum pulang ke desa, kami menyempatkan untuk mengunjungi Mbah Darmi, walau hatiku tak tenang sebab masih mengingat kejadian dimana suami Mbak Sarah hampir melecehkanku. Aku sempat trauma setelah kejadian itu dan tak mau dekat-dekat dengan lawan jenis. Tapi semua itu kulupakan saja setelah aku sibuk mengerjakan tugas skripsi yang sungguh menguras pikiran, biaya dan tenaga ini.
"Iya, Mas. Belok kiri nanti ada perumahan Kerinci, lalu belok nanti ada gang. Berhenti disitu aja karena gangnya sempit."
Kami telah sampai di depan rumah Mbah Darmi. Kebetulan Mbah Darmi bermain dengan cucunya di depan teras. Beliau tampak senang dengan kedatangan aku dan keluargaku.
"Ya Allah... Kamu sudah lulus, Ndok?"
Aku mengangguk dan beliau menyapa orang tuaku dan mempersilahkan kami masuk.
"Mbahmu Lanang (lelaki) belum pulang dari pabrik. Sedang Mbakmu Sarah tadi ada pertemuan guru di Sidoarjo. Mbuh kapan balik e (enggak tau jam berapa pulangnya)."
Mbah Darmi asyik bercakap dengan orang tuaku. Sedang aku bergidik ngeri melirik kamar Mbak Sarah yang pintunya tertutup. Aku yakin lelaki kurang ajar itu ada disana. Orang tuaku tentu berpikiran hal yang sama denganku bahwa Surya, suami Mbk Sarah itu enggan menemui kami walau sudah ketauan kalau orang itu ada di kamarnya. Entah karena malu atau bagaimana, justru aku senang, dia tidak merusak hari sepesialku dengan menampakkan wajah buasnya.
Tak lama, setelah itu Mbak Sarah datang dengan membawa beberapa bungkus bakso. Mungkin tadi Mbah Darmi menelponya dan memintanya untuk segera pulang. Mbak Sarah wanita itu masih seperti dulu. Dia masih saja memakai jaket bekas kkn nya dulu dan kerudung milik Mbah Darmi yang sebenarnya menambah kesan tua diwajahnya. Mbak Sarah terlihat tenang, dan menyalamiku juga orang tuaku. Dia tersenyum rendah menyambut kami dengan hangat, seperti tidak terjadi apapun diantara kami. Ya baguslah.
Akhirnya aku meminta ijin untuk pergi ke kamar yang kutempati dulu. Mbah Darmi mengijinkan dan aku cepat melesat kesana.
Duh. Kamarku hampir mirip gua berhantu. Lampunya redup, pengap, dan pakaian milik Mbak Sarah dan anak-anaknya berserakan disini. Ada bak cuci berisi pakaian kusut diatas kasur. Lantainya begitu lembab dan berdebu. Puluhan kecoa berterbangan dan saling loncat kesana kemari sebab terdapat lubang dilangit-langit dan itu mengundang banyak serangga masuk. Aku benar-benar ternganga dibuatnya. Seingatku sebelum aku pergi, sudah kupastikan kamar ini bersih dan rapi, tapi mengapa justru sekarang kondisinya bikin ngeri. Untung buku-bukuku kelihatanya tidak dikencingi para tikus sialan, hanya saja para kecoa itu dengan sembarangan menaruh telur-telurnya di buku-buku milikku. Tiba-tiba ada langkah kaki mendekati kamar ini.
"Itu, May. Buruan kamu bawa balik ya, buku-bukumu. Soalnya mau aku pakai kusus buat tempat baju anak-anakku," nada Mbak Sarah seolah mengusirku. Aku jadi tambah geram. Kelihatanya memang keputusan yang tepat aku segera pergi dari rumah ini. Bahkan dalam dirinya tidak ada penyelasan pernah memperlakukanku semena-mena. Buktinya dia diam saja, tidak berkata maaf atau gimana, hanya membahas buku-bukuku yang baginya mengganggu.
"Iya, Mbak. Emang udah mau aku angkut, kok. Maaf ya Mbak, kalau misal aku ada salah. Terima kasih untuk selama ini sudah diijinkan tinggal di rumah ini."
"Iya. Sama-sama." Jawabanya cepat dan seperti malas. Dia lalu berlalu pergi. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menyesal mengapa harus kemari dan menghadapi orang yang seperti itu lagi. Ya, aku sungguh sebal dengan sikap Mbak Sarah yang bossy. Aku disini juga seperti pembantu saja tidak dibayar pula. Harusnya dia berterima kasih padaku bukan malah lagi-lagi menyakiti perasaanku. Ya sudahlah, toh aku sudah lulus dan nggak akan mau lagi mampir kesini. Apalagi bila bertemu dengan Surya, mungkin aku akan pingsan di depannya saking ketakutan. Untungnya lelaki sialan itu tak menampakkan batang hidungnya. Mendapat pesan darinya sebulan yang lalu saja bulu kudukku berdiri saking ngerinya. Padahal nomer ponselnya sudah kublokir tapi dia malah mencari akun facebooku mengirim inbok padaku.
Pesan itu berbunyi:
"Seandainya aku ada salah, tolong maafkanlah."Oh my god! Semudah itu ya meminta maaf setelah apa yang dilakukannya padaku. Aku yang ketakutan segera kublokir akun itu. Takut kalau dia sampai mengekepoin kehidupanku lagi. Sudah cukup aku trauma dengan perlakuan dia tempo dulu, sudah cukup aku merasa dihina oleh istrinya. Semoga saja setelah aku memutus komunikasi dengan mereka hidupku akan merasa tenang. Bukan maksud kacang lupa kulitnya, salahkah aku yang berusaha menjaga? Agar tak kembali terulang kisah yang penuh drama itu. Mungkin setahun sekali aku akan menyambung talisilaturahmi dengan Mbah Darmi dan suaminya ketika hari raya idul fitri tiba, sebab pada waktu itu sudah pasti mereka berdua ada di desa. Dan tentu tak ada Mbak Sarah dan suaminya sebab pasti mereka malas pulang kampung seperti yang sudah-sudah.
Semoga apa yang menimpaku bisa menjadi pelajaran untuk kedepannya. Aku akan lebih mawas diri dan berhati-hati, bahwa tidak semua lelaki berkopyah pasti akan baik akhlaknya, walau sudah pernah mengunjungi ka'bah sekalipun. Semua tentu tergantung pada pribandinya sendiri. Hikmah dari semua yang kualami ini bisa kujadikan bekal kelak ketika berumah tangga nanti, yaitu perlunya mencari pasangan yang benar-benar mencintai kita dan mau setia sepanjang hayat.
------------$$$$----------
Menurut kalian, suka yang mana dari semua karya karyaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Siti Maimunah (END+ Revisi)
Romance21+ Dilarang keras membaca jika belum usia dewasa. Om Surya. Paman nya yang ia fikir adalah pria yang alim. Ternyata .... Sebuah pelajaran bagi Mai. Kehidupanya mengajarkan untuk tidak menilai susuatu dari luarnya saja. Begins on September 2018.