🌻 Bagian 21

295 17 6
                                    

Cinta bukan cuma tentang perasaan bahagia, tapi juga tentang rasa sakitnya yang sama-sama tak berlogika. Pun masa lalu terkadang menjadi ujian tersulit dari fase memulai yang baru.

(Author)

Sebuah batu terlempar begitu saja dari tangan lelaki yang kini tengah menunggu seseorang. Batu itu jatuh tepat di tengah-tengah luasnya danau dekat perkemahan.

Saka selalu menyukai suasana danau. Air tenang yang terlihat hijau padahal sebenarnya jernih. Udara sejuk yang tercipta dari hembusan angin di sela-sela pepohonan. Belum lagi sedikit keheningan  yang membuat dia merasa nyaman.

Tempat inilah yang sejak awal ingin Saka tunjukkan pada Raya, tempat yang beberapa tahun lalu dia kunjungi bersama Prila. Niatnya bukan untuk bernostalgia, melainkan untuk membuka lembaran baru kisahnya bersama perempuan lain yang dia semogakan akhir-akhir ini. Sayangnya perempuan itu justru harus ia lepaskan, karena telah memilih orang lain yang mungkin bisa membuatnya lebih bahagia.

Begitu mendengar langkah kaki seseorang, Saka langsung berbalik badan. Perempuan yang dia tunggu-tunggu kini menatapnya dengan ekspresi yang tak dapat diartikan.

"Kenapa lo nyuruh gue ke sini? Bukannya lo udah memutuskan untuk mundur?" tanya Raya tanpa basa-basi.

Saka mendekat, mengulurkan tangannya agar Raya bisa berdiri sejajar dengannya di tanah yang lebih rendah, lebih dekat dengan danau.

"Untuk terakhir kali, Ray. Gue mau lo tahu seberapa besar keinginan gue untuk dapetin lo, untuk bahagiain lo. Sekali ini, izinkan gue buat bicara banyak hal tentang perasaan gue, tentang betapa nggak relanya gue melepas lo."

"Oke, gue bisa turun sendiri. Tugas gue cuma dengerin lo, bukan untuk hal lain."

Saka mengangguk, kembali menarik tangannya yang terulur untuk membantu. Sekali lagi, dia tak boleh berharap banyak. Benar apa yang Arestya bilang waktu itu. Jangan berharap terlalu tinggi, karena kecewa itu sakit. Kini Saka merasakannya.

Raya sudah berdiri sejajar dengan Saka. Meski tadi sedikit mengaduh karena kakinya masih terasa sakit. Lagi-lagi Saka mencoba membantunya, tapi tangannya ditepis begitu saja. Sampai akhirnya mereka berdua sama-sama menatap danau dan Saka memulai pembicaraan.

"Ada dua hal yang nggak bisa gue lupain di dunia ini. Kematian Prila dan juga rasa sakitnya. Tapi sejak kehadiran lo, rasa sakitnya perlahan hilang, Ray. Gue berhasil nemuin obatnya, yaitu senyuman lo. Meski gue tahu, lo nggak pernah senyum buat gue, lo nggak pernah suka sama gue, bahkan lo muak lihat muka gue. Tapi gue gapapa, gue tetep bisa sayang sama lo."

"Lo nggak seratus persen mirip Prila, kalian berdua berbeda. Tapi terkadang kalian emang mirip banget. Cara bicara, raut muka kalo marah, atau ketika lo senyum buat orang lain. Semuanya ngingetin gue sama Prila, lo baik Ray."

"Saat itu gue seneng banget lo kasih kesempatan satu bulan supaya bisa rebut hati lo, tapi entah apa yang membuat lo begitu cepat ambil keputusan gue nggak bisa memaksa lebih, walau pada kenyataannya hal itu buat gue kecewa sama diri gue sendiri."

"Gue nggak mau rasa kecewa gue jadi beban buat lo, gue nggak mau kejadian yang menimpa Prila berlaku juga untuk lo. Maka dari  itu gue mundur, Ray. Gue nyerah karena melihat lo bahagia aja udah cukup buat gue."

"Prila dan lo itu sama-sama me—"

"Cukup!" bentak Raya, tangannya mengepal kuat-kuat. Ingin sekali rasanya menutup mulut Saka yang sejak tadi menyebut nama gadis lain saat bersamanya.

My Feeling [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang