🌻 Bagian 35

259 20 2
                                    

"Saka, kamu selalu larang aku untuk ketemu Tuhan lebih cepat. Tapi kenapa sekarang kamu yang buat aku takut?"

[Moza Margaretha]

Langkah Raya melambat ketika dia sampai tepat di depan kamar Saka di rawat. Ragu-ragu dirinya membuka pintu. Raya takut dirinya tidak siap melihat keadaan Saka saat ini. Dia dengar, Saka terluka cukup parah. Saka kemungkinan akan lama sembuh. Atau bisa jadi, tidak bisa bertahan. Benturan di kepalanya cukup keras, helm yang Saka gunakan bahkan tidak mampu menahan benturan itu.

Bayangan Saka saat cowok itu memeluknya erat di sekolah terakhir kali tiba-tiba muncul. Juga saat di kuburan Prila. Saka begitu terlihat sangat menyayanginya.

Lalu mengingat bagaimana perlakuan dirinya pada Saka sebelum itu, membuatnya ikut sakit hati. Raya sadar dirinya sudah jahat, sudah membuat Saka menunggu terlalu lama. Sudah menorehkan luka begitu banyak. Kini, Raya menyesal.

Ruangan Saka sepi. Samuel masih harus bekerja, sementara Karin memutuskan pulang sebentar untuk mengganti pakaian. Mereka sudah menitipkan Saka pada perawat.

Pelan, dengan air mata yang tak henti mengalir. Raya mendekat ke arah Saka yang tubuhnya dipasangkan begitu banyak alat medis.

Lirih, Raya berujar seraya menatap Saka yang tengah terpejam. "Kapan kamu akan sadar? Aku di sini, Saka."

Tangannya mengelus rambut Saka. "Aku ada di samping kamu. Kamu harus sembuh, kamu harus bahagia dulu. Jangan tinggalin aku, Saka. Aku butuh kamu."

Tidak ada jawaban. Saka masih terpejam. Raya duduk di dekatnya, menggenggam jemari Saka. "Tangan kamu dingin, tapi aku masih bisa ngerasain kehangatan dalam diri kamu. Buka mata, Saka. Kita harus lihat dunia sama-sama lagi."

Percuma, tubuh itu tetap tidak merespon apa-apa. Membuat dada Raya semakin sesak, deru napasnya tidak beraturan. Gadis itu masih meneteskan air mata. "Maaf atas semua kesalahan aku yang selalu ragu atas besarnya cinta kamu ke aku, Sak."

Raya melingkarkan satu tangannya di perut Saka. Memeluknya sebentar, lalu mengecup kening Saka. "Aku cinta sama kamu."

Kalimat itu, apa masih ada artinya sekarang? Saka bahkan tidak bisa mendengarnya sama sekali. Apa Raya masih punya kesempatan untuk membuat Saka bisa bahagia?

Rasanya sulit.

Tak berapa lama, pintu kembali terbuka. Sosok Fallen, Sean serta Edgar muncul.

Fallen seperti biasa dengan tatapan dinginnya. Edgar hanya menyunggingkan senyum tipis. Sementara Sean, dia tidak tertebak.

"Ngapain lo di sini, Ray?" tanya Edgar.

"Gue mau jagain Saka. Gue mau nemenin dia sampai dia sadar."

Sean berdecih. "Bukannya ini yang lo mau? Bukannya lo nggak suka sama dia?"

"Yan, jangan mancing keributan," tegur Edgar.

"Gue nggak ngajak ribut, gue cuma tanya."

"Kalo kalian nggak nyaman sama kehadiran gue, gue bisa pergi dulu. Tapi tolong, kalo Saka sadar, kalian kabarin gue."

Fallen bersuara. "Lo di sini aja, Saka kayaknya lebih butuh kehadiran lo."

Edgar mengangguk. "Fallen bener, Ray. Lagian kita ke sini cuma mau mampir sebentar, cuma mau lihat perkembangan Saka. Kalo lo masih mau di sini gak apa-apa, kita bakal pergi sebentar lagi."

"Kalian kenapa sih masih percaya sama Raya? Pasti dia yang udah bikin Saka kayak gini. Saka kecelakaan karena bolos bareng dia!" Sean protes tidak terima.

"Nggak ada bukti kalo ini salah Raya. Buka mata lo, Yan. Bisa jadi ini memang murni kecelakaan. Gue yakin kok kalo Raya nggak sejahat itu."

Raya menunduk, dia bersyukur Fallen dan Edgar masih percaya padanya. Masih membelanya. Tapi Sean? Dia jadi sangat membenci Raya, sama seperti yang lain.

"Terserah!" ucap Sean lalu langsung keluar ruangan.

"Huft, kalo gitu kita balik sekarang deh, Ray. Nggak enak juga ganggu Saka. Titip dia yah," ucap Edgar masih dengan wajah ramah.

Raya mengangguk. "Pasti gue jagain Saka."

🌻🌻🌻

"Obat dan pisau, mana yang harus aku pakai untuk pergi dari dunia ini kalo kamu pergi, Saka?" ucap Moza di depan cermin kamarnya.

Dia baru saja pulang dari rumah Sakit. Membayangkan Saka akan meninggalkannya untuk selamanya membuat Moza jadi hilang arah lagi.

Dia tidak bisa hidup tanpa kehadiran Saka. Dia akan hancur bersamaan dengan kepergian Saka.

Gadis itu terlalu rapuh untuk bertahan sendirian. Orang tuanya semakin parah, semakin tidak menganggap dirinya ada.

Lalu bagaimana dia bisa hidup saat orang yang selama ini menopang dan menguatkannya tiada?

"Nggak! Saka nggak boleh pergi lebih dulu. Saka pasti sembuh, Saka udah janji nggak akan ninggalin aku. Saka pasti bisa sehat lagi," racaunya.

"Arghhh!" Dia lempar dua benda yang tadi dia pegang ke sembarang arah. Pisau tajamnya hampir saja mengenai kaki.

"Tuhan, bantu Saka pulih lagi."

Tubuhnya melorot ke lantai. Dia peluk erat-erat lututnya. Membiarkan rambut panjangnya menjuntai tak beraturan. Air matanya telah terkuras habis. Mata Moza memerah, tapi sudah sulit mengeluarkan butiran bening itu lagi.

Saka itu hidupnya.

Tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Asisten rumah tangga tengah cuti sejak dua hari yang lalu.

Tidak ada siapa-siapa yang bisa menenangkannya di rumah itu. Sesakit ini Moza. Kesepian, kesakitan, dia selalu mengandalkan Saka untuk meminta bantuan. Lalu sekarang?

Ponselnya berdering nyaring. Nama Danu tertera di layar.

Moza mencintai Danu, tapi lelaki itu sempat mengecewakannya. Lantas, apa dia bisa pecaya sepenuhnya lagi?

Tidak. Moza tidak bisa.

Dia memilih mematikan telepon. Tidak ingin Danu mengusiknya dulu.

"Saka, kamu selalu larang aku untuk ketemu Tuhan lebih cepat. Tapi kenapa sekarang kamu yang buat aku takut?"

"Biar aku yang pergi lebih dulu, jangan kamu. Jangan, Saka!" kata Moza semakin melirih. Sendirian, di dalam kamar yang selalu jadi saksi luka dan patah hatinya.

Update!

My Feeling [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang