"Ray, mau 'kan, menua bersama Saka?"
(Tegar Saka Arkana)
Kembalinya Saka ke sekolah disambut baik oleh seluruh penghuni sekolah. Sepanjang koridor yang Saka lewati, semua orang terlihat gembira melihatnya berjalan. Bahkan Pak Santo yang biasanya ada untuk menghukum kini justru tersenyum sangat tulus.
"Sudah sembuh Saka?"
"Seperti yang Bapak lihat."
"Jujur, Bapak senang akhirnya bisa melihat kamu bersekolah lagi."
"Terima kasih, Pak."
"Ya sudah, silahkan masuk ke kelasmu."
Saka mengangguk patuh. Dia juga sudah tak sabar melihat reaksi teman-teman sekelasnya.
Sengaja Saka tidak memberitahu ingin masuk sekolah hari ini. Dia ingin memberi kejutan. Bahkan Raya sendiri pun tidak ia beritahu.
Tanpa di sangka, Raya telah berdiri di belakang Saka. Memanggil kekasihnya itu dengan bingung.
"Saka?"
Saka berbalik badan. Tanganya ia rentangkan. Dia sudah hafal suara gadis yang memanggilnya barusan. "Suprise! Aku kembali ke sini, Ray. Buat kamu, buat jagain kamu lagi. Seneng, kan?"
"Terus maksudnya apa kamu rentangin tangan kayak gitu?"
"Minta dipeluk sama kamu. Nggak mau?"
Raya menggeleng. "Ini sekolah."
Saka tertawa pelan. Mengacak rambut gadis yang begitu dia rindukan. "Aku rindu sama kamu."
"Sama."
"Udah gitu aja jawabnya?"
"Emang harus gimana?"
"Ya apa kek yang lebih romantis. Misalnya ... Saka, aku juga rindu, jangan pernah tinggalin aku yah. Aku nggak bisa kalo tanpa kamu."
Raya hanya tersenyum simpul, dia senang melihat Sakanya kembali lagi.
"Aku punya sesuatu buat kamu."
"Apa?"
Saka mengeluarkan gelang tangan dengan aksen bunga matahari dari saku seragamnya. Dia juga segera memakaikan benda itu ke tangan Raya.
"Cantik," gumam Raya.
"Tapi nggak ada yang secantik kamu di dunia ini buatku, Ray."
Raya benar-benar kembali menemukan bahagianya, menemukan tempat pulang yang sempurna. Saka sudah memberi segalanya.
"Aku nggak tahu lagi harus bilang apa selain dua kata terima kasih."
"Naraya Eliza, jangan pernah pergi ninggalin Tegar Saka Arkana, ya?"
Raya mengangguk. Tidak akan, dia berjanji hanya takdir yang akan memisahkan mereka berdua.
"Masuk kelas gih, temen-temen kamu juga pasti bakal seneng banget ketemu kamu lagi. Aku juga mau masuk kelas."
"Thalita sama Luna, mereka masih rese? Biar aku antar kamu ke kelas dulu ya, Ray."
"Nggak usah Saka. Aman kok, aku bisa handle."
"Aku percaya."
Ya, Saka sangat percaya bahwa Raya bukan gadis yang lemah.
Raya tersenyum manis. Melambaikan tangan dan segera menuju kelasnya. Saka memanggil sekali lagi.
"Pulang sekolah aku mau ajak kamu jalan. Bisa?"
"Kemana?"
"Danau?"
Tanpa menimbang lagi, Raya langsung mengiyakan. Pasti akan sangat menyenangkan duduk di tepi danau berdua dengan Saka. Berbagi banyak hal.
🌻🌻🌻
"Inget nggak waktu kita camping, kita bicara berdua di tepi danau kayak gini. Itu salah satu hari terburuk sekaligus terindah dalam hidupku, Ray. Hari terburuk karena aku masih belum bisa rebut hati kamu, tapi hari terindah karena aku bisa peluk kamu cukup lama," ucap Saka yang saat ini masih mengenakan pakaian putih abu-abunya. Dia duduk di tepi danau tempat favoritnya bersama Raya.
Raya masih fokus mendengarkan. Dia juga samar-samar mengingat kejadian itu.
"Saat itu kamu marah banget karena aku terus bicara tentang Prila. Kamu nggak mau disamakan dengan dia."
Raya mengangguk. "Itu karena aku nggak tahu bahwa Prila kembaranku."
"Aku paham. Mau kalian kembar atau nggak. Gak seharusnya aku melakukuan kesalahan itu. Kalian memang dua orang yang berbeda."
Saka meraih lembut tangan Raya. Membuat gadis itu menatapnya lekat. "Setiap kali kamu tolak aku, rasanya hancur, Ray. Aku udah terlalu kepedean bisa dapetin kamu dengan mudah. Tapi ternyata nggak. Ekpetasiku salah besar. Aku harus lihat kamu jadi milik orang lain dulu."
"Saka, maaf kalo aku terlambat."
"Shutt!" Saka menaruh jari telunjuknya di bibir Raya. "Nggak ada kata terlambat, Ray. Kalo kamu terlambat, kita berdua nggak mungkin ada di sini. Lihat danau, bicara serius kayak gini. Mengungkapkan perasaan yang selama ini aku tahan. Aku cuma mau kamu tahu, Saka sudah menemukan tempat pulang, menemukan rumah untuk dia singgahi saat lelah. Dan yang di sebut rumah itu kamu, Ray. Aku berharap kamu nggak keberatan."
Raya tiba-tiba meneteskan air matanya. Memeluk Saka dengan erat. Danau itu menjadi saksi betapa besarnya cinta Saka untuk Raya.
Lalu bagaimana Raya bisa menolak permintaan Saka kali ini jika dia sendiri butuh Saka dan tak ingin kehilangannya. Jika menurut Saka, Raya adalah rumah. Maka menurut Raya, Saka adalah semestanya.
Saka langsung menghapus air mata Raya begitu pelukan mereka terlepas. "Kenapa malah nangis?"
"Aku nggak pernah semelow ini sebelum sama kamu, Saka. Tapi saat ini aku benar-benar nggak mau kehilangan kamu."
"Ray, mau 'kan, menua bersama Saka?"
"Maksudnya."
"Nikah sama aku."
"Hah?"
"Iya. Mau kan?"
"Secepat ini? Kita bahkan belum kelulusan."
"Nanti, kalo kamu udah siap punya baby dari aku."
"Sakaaa!"
Keduanya tertawa tanpa beban. Membayangkan betapa bahagianya mereka berdua nanti.
Ditemani semilir angin sore, Raya berbisik. "I love you, Saka."
*END*
KAMU SEDANG MEMBACA
My Feeling [END]
Teen FictionTentang rasa yang tak pernah dapat diabaikan hadirnya. Hati Saka langsung tertambat pada Raya kala gadis itu berjalan acuh melewatinya. Saka tak pernah benar-benar bersemangat perihal asmara setelah kehilangan sahabat sekaligus cinta pertamanya dulu...