"Jangan tinggalin gue seperti Prila, Ray. Gue nggak sanggup hidup lagi, kalo lo juga pergi."
[ Tegar Saka Arkana]
"Kenapa sih, Saka nggak pernah dengerin apa kata Moza. Kenapa Saka terus-terusan suka sama cewek itu. Dia udah sering sakitin Saka, tapi Saka selalu baik sama dia. Moza nggak habis pikir kenapa Raya nolak Saka terus. Dia punya apa sih sampai segitunya menyia-nyiakan Saka. Moza kesel banget, Saka!"
Gadis itu, Moza. Sejak mereka berdua sampai di kantin, dia terus saja mengomel. Padahal Saka tidak sedang ingin diceramahi.
"Za, bisa berhenti ngomong?"
"Kenapa?"
"Kamu ke kelas yah, Saka butuh waktu buat sendiri."
Mimik wajah Moza semakin terlihat sedih. Dia tak suka melihat Saka jadi begini. "Tapi Moza mau nemenin Saka di sini."
"Kalo mau nemenin, tolong nggak usah bahas hal itu lagi. Saka capek, Za."
Moza meneteskan air mata, menatap mata lawan bicaranya. Tangan gadis itu menggenggam jari-jari Saka. "Maafin Moza karena nggak bisa buat Saka ketawa. Please jangan kayak gini, Moza nggak suka lihat Saka sedih."
Tak ingin membuat Moza ikut bersedih, Saka memaksakan senyum, mengelus pucuk rambut Moza. "Saka nggak apa-apa, Za. Ayo, biar Saka antar kamu ke kelas."
Mau tidak mau, Moza menurut. "Ya udah, tapi Saka harus janji jangan sedih terus."
Seulas senyum kembali Saka tunjukkan, hanya untuk meyakinkan Moza bahwa dia tidak apa-apa.
Mereka berdua jalan beriringan, tangan Saka tidak lepas dari genggaman Moza. Membuat orang yang berpapasan menatap Moza iri. Saka memperlakukan Moza benar-benar spesial.
Hari ini sikap Saka berubah 180 derajat pada orang-orang. Cuek, ketus, tidak sabaran, menyebalkan. Hanya pada Moza dia bisa sedikit lebih mengontrol diri. Hanya pada gadis itu Saka memperlihatkan air matanya hari ini. Beberapa menit yang lalu, tangis Saka pecah di bahu Moza Margaretha.
Hanya bisa melihat Raya dari kejauhan membuatnya jadi semakin gelisah. Saka masih berharap keajaiban bahwa Raya akan berubah pikiran, tapi nyatanya tidak. Raya bahkan tidak berniat menatapnya sama sekali.
"Saka, Moza masuk dulu," ucap Moza setelah sampai di depan kelasnya. Hanya anggukan kecil yang Saka tunjukkan sebagai respon.
Saka memutuskan untuk bolos lagi hari ini. Masih ada waktu sebelum bel masuk berbunyi untuk Saka kabur lewat tembok seperti biasa.
Belum sempat Saka kabur, suara yang tak asing di telinganya memanggil. Untuk beberapa saat, Saka hanya bisa mematung.
"Lo mau ke mana? Bisa nggak sih kalo ada masalah itu nggak usah kabur-kaburan dari sekolah?"
Kali ini Saka tertawa, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri. Dia mendekat pada siapa yang berbicara.
"Bisa nggak sih, bayangan lo nggak usah ribut di kepala gue? Nggak usah muncul terus di pikiran gue? Bisa nggak sih, waktu diulang dan gue nggak jatuh cinta sama orang kayak lo."
"Saka, jangan buat gue makin ngerasa bersalah bisa nggak sih?"
Mendengar kalimat itu diucapkan oleh Raya, Saka melangkah mendekat ke arahnya. Jarak mereka kini hanya satu langkah kecil saja. Saka menatap mata Raya yang kini mengeluarkan cairan bening. Raya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Feeling [END]
Teen FictionTentang rasa yang tak pernah dapat diabaikan hadirnya. Hati Saka langsung tertambat pada Raya kala gadis itu berjalan acuh melewatinya. Saka tak pernah benar-benar bersemangat perihal asmara setelah kehilangan sahabat sekaligus cinta pertamanya dulu...