5. Publikasi^

2.6K 192 0
                                    

"Aduh... Ini kok sepi banget sih. Kuburan aja kalah," Liza berseru setengah jengkel. Makanan di piringnya sisa setengahnya lagi, tapi sejak pertama mendudukkan bokongnya di kursi, Liza sama sekali tak mendengar suara apa pun selain denting sendok dan piring. Bahkan suara makhluk hidup seperti jangkrik pun tak ada.

"Bang Fadil sama Kak Erin lagi marahan ya?"

Tak ada jawaban. Kedua makhluk yang barusan dirinya sebut itu tetap sibuk dengan makanannya masing-masing. Jelas ini tak baik-baik saja. Fadil yang biasa usil di meja makan(terutama ketika tidak ada Mama) kini lebih kalem. Erin yang cerewetnya minta ampun sekarang lebih--sangat pendiam.

"Udah pernah denger belum judul sinetron azab kakak keselek sendok karena ngacangin adeknya ketika makan?"

Erin dan Fadil reflek mematung, wajah mereka secara robotik memandang ke arah Liza yang dua detik kemudian kembali pada kesibukan masing-masing. Liza berdecak kemudian memasukan satu suapan besar dengan rasa kesal.

"Bikin mood Liza jelek aja kalian."

Fadil menyimpan sendoknya dan sedikit mendorong piring ke tengah. Pertanda kalau dia tidak akan menghabiskan makanannya itu. Suara derit kursi yang bergeser membuat Liza dan Erin menoleh ke arahnya.

"Lebay, dasar korban sinetron," ucapnya kemudian beranjak. Respons yang sangat lambat untuk ucapan Liza. Liza tentu semakin membrengut. Apa yang terjadi semalam hingga kakak-kakaknya yang abnormal menjadi manusiawi begini?

"Sumpah ya ngeselin," Liza menggerutu. Liza hendak ikut pergi kalau saja suara Erin tak terdengar.

"Kamu sendiri biang keroknya, malah nyalahin orang lain," sindirnya cuek.

"Apaan sih, kok jadi Liza?" Liza berujar tak terima. Yang jutek dari pagi siapa? Yang mukannya tembok siapa? Yang ngacangin siapa? Kita-kira begitu pemikirannya.

"Serius nggak ngerasa bersalah? Setelah laporin kakak kemarin sama Mama?"

Raut Liza yang semula berpercik-percik api berubah cengengesan. "Aku kan anak yang jujur, Kak," jawabnya tanpa dosa. Berpura-pura tak tahu kalau berkat laporannya Kakaknya itu mendapat omelan panjang lebar dari Sang Mama.

"Oh anak jujur. Kalau kayak gitu kakak mau nanya,  tau dari mana kamu kakak bolos? Sekolahan kita aja beda." Sebenarnya Erin sudah gatal untuk menyidang adiknya itu dari kemarin. Hanya saja kemarin rasa kesalnya terlalu besar, hingga ia takut menyeret adiknya itu ke gudang dan mengurungnya seperti waktu SD dulu. Waktu itu Erin hanya terlalu khilaf, percayalah Erin adalah kakak yang baik hati.

"Aku lihat kakak di mall lah," ucapnya enteng yang membuat mata Erin melotot.

"Nah kamu sendiri kenapa jam sekolah ada di mall?"
Puji Syukur, otak Erin dapat bekerja cepat di pagi ini. Sebenarnya Erin sudah menaruh curiga dari kemarin.

"Ya bolos lah. Tau sendiri kan aku kesiangan. Sekalian nyemplung, daripada sok suci datang ke sekolah yang ujung-ujung habis dihukum bukannya belajar."

Bukankah kalimat itu mengingatkan Erin pada Arvin?
Cepat Erin menggeleng. Tidak, jangan rusak pagi yang rusak ini dengan membawa-bawa Arvin.

"Mama tau?"

"Ya bunuh diri namanya kalau ngaku sendiri bolos."

Erin menganga, jadi Liza korbankan Erin demi melindungi dirinya dari Mama? Oh God... Adik macam apa dia?

"Yaudah biar kakak yang laporin ke Mama kalau gitu." Erin mengeluarkan ponsel, siap menghubungi Mamanya. Tamat riwayat kau bocah ingusan! ucapnya dalam hati.
Namun bukan merasa terancam, Liza justru senyam-senyum meremehkan.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang