Tiga bulan tak sekolah membuat Erin harus beradaptasi ulang. Beruntungnya ini tak seperti ketika SD dulu, di mana ia harus mengulang kelas di sekolah yang berbeda.
Di minggu pertama, Erin direcoki pertanyaan dari teman-teman sekolahnya. Entah tentang Erin yang katanya pindah sekolah secara misterius kemudian kembali lagi, atau perihal penampilan Erin sekarang yang terkesan tomboy dan cuek.
"Gue masih bingung nih mau ngobrol sama lo, dulu sih gampang bahas lipstik pun jadi, lah sekarang?"
Erin tertawa ringan, "Ya santai aja kali, Ra. Gue kan juga cewek nggak bakal anti sama yang kayak gitu. Gue sembuh bukan berarti gue jadi musuh dengan diri gue sebelumnya."
Sebenarnya Erin sendiri bingung dengan dirinya sekarang. Ia ingin menjadi dirinya yang dulu yang sudah lama terkubur itu, tapi ia tak bisa melepaskan dirinya yang sekarang yang jelas bertolak belakang.
Erin antusias ketika ia kembali memainkan bola, tapi ia masih suka memasak di dapur. Tak ada masalah sebenarnya kalau ia mengambil dua-duanya, hanya saja itu membuat ia dilingkupi pertanyaan, apa ia benar-benar sembuh?"Ya syukur deh kalo kayak gitu, berarti kita masih bisa belanja bareng lagi."
"Sip, itu bisa diatur."
Satu yang Erin tekadkan sekarang, ia tak akan membuat orang lain mengkhawatirkannya. Cukup dia yang merasakan, ia akan terus berusaha untuk semakin damai dengan dirinya sendiri. Semaksimal mungkin ia akan menikmati hidup ini, ia ingin yang terbaik untuk semuanya.
Erin dan Fira melanjutkan perjalanannya membelah koridor dengan hening. Fira yang sibuk dengan ponselnya, sementara Erin lebih anteng mengamati sekitar. Tak banyak yang berubah dengan sekolahnya ini, tapi rasanya ingin Erin peluk satu-satu tembok sekolahnya itu.
"Kenapa Rin?" tanya Fira karena tiba-tiba Erin berhenti. Erin tak menjawab, wajahnya berubah ditekuk. Penasaran, Fira pun mengikuti arah pandang Erin.
Ada Arvin yang tengah berjalan dengan seorang cewek yang mengintil di sampingnya. Cewek itu beberapa kali meraih tangan Arvin, meskipun cowok itu tak merespon apa-apa."Astaga Zanneth!" Fira menepuk dahinya. Ini adalah hal yang sangat sensitif bagi Erin. Apalagi sekarang Erin itu bisa dikatakan sebagai pacar sahnya Arvin.
"Lo kenal?" Erin menoleh pada Fira dengan tatapan mengintrogasi.
"Dia...." Fira menggantung ucapannya, membuat Erin sedikit memajukan tubuhnya mendesak. Erin memang berbeda sekarang. Daripada menahan sakit sendiri, sekarang cewek itu tak sungkan menunjukkan rasa cemburunya. Pertanyaannya, apa ini baik?
"Dia anak baru di kelas sebelah, dia suka sama Arvin, sebulan terakhir dia suka ngintilin Arvin," jelas Fira seraya meringis, sadar kalau ucapannya itu semakin mengundang kekesalan Erin.
"Rin!" Fira langsung mencekal tangan Erin ketika Erin berniat menyusul mereka.
"Apaan Ra?"
"Lo nggak bakal hajar Zanneth kan, Ra?" tanya Fira waswas.
Erin membelalak, "Lo gila?" Erin terkekeh. "Gue aja yang beneran gila nggak kepikiran kayak gitu."
Dengan Erin yang dilihat lebih manly sekarang, wajar kan kalau Fira beranggapan demikian?
"Gue kan cuma--"
"Udah, lo tenang aja," Erin berujar menenangkan, ia sedikit menepuk-nepuk bahu Fira sebelum setengah berlari menyusul Arvin.
"Aduh!" pekik Zanneth begitu Erin yang sekarang bertingkah grasak-grusuk itu tiba-tiba menempatkan diri di antara dirinya dan Arvin.
"Lo siapa sih?!" kesal Zanneth, memang tak seberapa benturan di tangannya, tapi cewek amburadul itu sekarang menggandeng tangan Arvin dan Arvinnya malah terlihat santai-santai aja. Beda ketika bersama dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Teen FictionNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...