2. Pemaksa^

3.6K 220 10
                                    

"Sarapan di luar aja, Bang. Ribet banget deh. Sekalian beliin buat Liza sana," omel Erin tanpa mengalihkan pandangan dari cermin di depannya. Tangannya sibuk menyisir rambut sementara dasinya masih bergelayut asal di bahu kirinya. Wajahnya sedikit ditekuk karena sedari tadi Abangnya itu terus saja merengek dan bergelayutan di pintu.

"Abang pengen telor orak-arik, Rin."

Erin memutar bola matanya, kalau tabiat manja Abangnya itu keluar, Erin ragu apa yang di depannya itu benar seorang mahasiswa berusia 21 tahun atau anak TK.

"Abang liat nggak sih ini Erin udah kesiangan?" Erin berseru jengkel. Sekarang ia tengah menyimpul dasinya yang entah mungkin sudah hukum alam jika segala sesuatu dilakukan dengan buru-buru kesukarannya malah meningkat.

"Tapi kan, Rin--"

"Abang!" Erin mentap Fadil tajam.

"Erin nggak ada waktu buat masak!"

Tuhan... Dosa apa yang Erin perbuat hingga mendapat nasib buruk di pagi ini. Sudah kesiangan, tidak ada sarapan karena Mamanya pergi ke Medan, manjanya Fadil malah kumat, padahal semuanya kekacauan ini juga berawal darinya. Kalau dia tidak menyuruh beli martabak semalam, Erin, pasti tidur cukup dan tidak bangun telat, bonusnya Erin bisa buatkan sarapan untuk mereka bertiga. Tapi... Alamak! 10 menit lagi bel sekolahnya berbunyi! Bagaimana ini?

"Jangan galak-galak dong Rin. Mentang-mentang baru dapet pacar juga."

Eh Unta Arab kalau diajak ngobrol.

"Minggir! Erin mau berangkat!" Erin berkacak pinggang di depan Fadil yang menghalangi pintu.

"Sensi mulu, lagi PMS ya?" Fadil yang masih dengan muka bantalnya itu malah dengan santai menggaruk belakang kepalanya.

"Hitungan 3 Abang nggak minggir, Erin lempar ini tas ke muka Abang!"

Itu komunikasi terakhir Erin sebelum gadis itu melakukan lari marathon ke luar rumah. Satu lagi kesialan di pagi ini. Biasanya kalau berangkat sekolah Erin akan di antar Fadil. Berhubung motor Fadilnya mogok, Erin jadi harus berjalan dulu ke depan untuk mencari angkot.

"Angkot, Neng?"

Erin menggigit bibirnya. Ini bukan angkot yang ke arah sekolahnya. Harus berjalan sekitar 300 meter lagi dari perempatan kalau naik angkot ini. Tapi sudahlah, waktunya semakin berkurang, dan tak terlihat tanda-tanda angkot yang ia tunggu akan melintas.

"Saya bayar triple kalo Abang bawanya cepat."

Di dalam ada 4 orang penumpang, dan semuanya anak muda. Tak apalah kalau Erin nyuruh supir angkotnya ngebut. Hukuman hormat bendera dan membersihkan toilet sudah benar-benar menghantui pikirannya.

Sopir angkot itu benar-benar definisi dari pelayanan prima kepada pelanggan. Seperti yang Erin perintahkan, dia mengemudikan angkotnya dengan kecepatan tinggi, sangat tinggi hingga sekarang ketika Erin sudah turun nyawanya terasa hilang sebagian.
Erin melanjutkan perjalanannya. Ia sedikit memegangi kepalannya, efek super ngebut itu benar-benar luar biasa. Apa kabar nyawanya ya seandainya ia dibonceng Marc Marquez?

Erin berhenti sejenak, ia menarik napas dan menghembuskan perlahan. Menyiapkan tubuh untuk memulai marathon kedua pada gerbang sekolahnya.
1, 2, 3!

"HUWA!!!"
Erin berteriak kencang karena kaget. Pasalnya tubuh yang seharusnya melaju ke depan malah mundur ke belakang hingga stuck di posisi awal.

"Anjir! Suara lo kuat juga."

Dahi Erin berkerut, perlahan ia menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati Arvin tengah memegangi tas pungguggunya sementara sebelah tangannya lagi menutup telinga.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang