9. Kecamuk^

2.1K 158 2
                                    

"Gue boleh nanya nggak?"
Setelah hanya ketukan sepatu yang menemani perjalanan mereka, Erin pun membuka suara.

"Nanya aja." Arvin yang berjalan di samping Erin itu berucap santai. Kedua tangannya ia masukkan pada saku jaket sementara matanya lebih banyak mengamati suasana sekitar yang mulai terlihat redup.

"Lo kok aneh sih." Erin menautkan jemarinya. Wajahnya menengadah pada langit yang terhias garis-garis oranye.

"Sebelumnya lo itu nggak pernah ngomong sama sekali sama gue. Malah di saat yang lain banyak yang nyepik gue, lo malah terkesan ngehindar. Gue malah mikir kalo lo benci sama gue. Lo cuma asik sama temen-temen lo."

Arvin tak benci sama Erin. Menurutnya sangat kurang kerjaan kalau dia bertingkah sama seperti anak-anak cowok lainnya. Mereka semua itu pengecut. Berani menggoda Erin saat di keramaian, tapi tak ada satu pun yang berani mengambil start untuk mendekati Erin lebih jauh.

"Gue masih hafal loh ekspresi dingin lo waktu lo bilang suka gue. Terus besoknya gue nemu lo yang arogan, pemaksa, dan sekarang yang gue dapati lo yang lebih santai." Erin mengeluarkan semua yang mengganjal pada pemikirannya. Seperti yang barusan Erin katakan, Arvin sekarang lebih santai, maka dari itu Erin mengambil topik ini.

"Mmm... Kenapa ya? Mungkin karena gue belum tau seperti apa sikap yang cocok buat lo," jawab Arvin dengan intonasi yang seperti balik bertanya pada dirinya sendiri.

Erin terkekeh pelan. "Lo aneh. Kita itu bukan robot. Bersikap sesuai dengan kenginan lo lah, bukan nuruti apa keinginan lawan lo."

Arvin menatap Erin kemudian tersenyum. "Pinter juga," komentarnya seraya mangut-mangut.

"Haha... Nggak tau aja gue ini sebenernya jenius, cuma pura-pura lemot aja." Erin mengelus-ngelus kepalanya, mirip Aladin yang mengelus lampu ajaib agar sang jin keluar.

"Mmmm...."

Erin menghentikan langkahnya, Arvin pun reflek mengikuti. Ia menatap cowok itu, bibirnya menampilkan senyum lembut. Yang membuat Arvin seperti teringatkan akan senyum ibunya yang penuh pengertian.

"Lo berhenti aja. Entah lo main taruhan seperti yang gue pikirin atau bukan. Yang jelas lo nggak perlu repot-repot, apalagi dari ucapan lo barusan lo gonta-ganti karakter buat gue."

"Awalnya mungkin gampang, tapi ketika lo jenuh sama karakter palsu lo, lo bakal nyalahin gue. Sori, gue orang yang sayang banget sama diri sendiri." Di akhir lagi-lagi Erin menarik senyum lembut penuh pengertian itu. Tentu yang mengharap Arvin bisa mengerti atas ucapannya barusan.

"Gue nggak pernah jadi orang lain."
Arvin kembali menghadapkan tubuhnya ke depan. Ia kembali melanjutkan langkah yang kini diikuti Erin.

"Itu cara gue nunjukkin sama lo bahwa inilah gue." Arvin menoleh sekilas.

"Gue dengan keburukan gue yang suka memaksa. Cuma pengen lo tau, biar lo nggak terkejut nantinya dan merasa dibohongi." Jelasnya yang membuat Erin kembali di ambang kebingungan.

Sebenarnya semenjak melihat notifikasi banyak di akun instagramnya itu Erin langsung kepikiran. Memikirkan kemungkinan-kemungkin yang bersangkutan dengan Arvin yang mendadak mendekatinya. Hingga ia menemukan kesimpulan--yang tak sepenuhnya ia yakini, bahwa Arvin mempermainkannya. Seperti di novel-novel, cowok mendekati cewek karena taruhan dengan teman-temannya. Setelah si cewek jatuh pada cowok itu, cowok itu justru menjauhinya, dan Erin tak mau seperti itu.

Tapi ucapan Arvin barusan seolah mengatakan bahwa ia benar-benar tulus pada Erin.

"Tapi buat apa lo ngelakuin ini?"

Arvin menoleh, pandangannya bertemu dengan mata Erin yang menuntut mengerti atas banyak hal.

"Susah ya buat percaya kalo gue cinta sama lo?" tanyanya. Entah kenapa Erin tak ingin mengakui kalau ada sekelebat raut sedih pada sorot Arvin.

"Kalo cinta sepraktis itu, kayaknya dari dulu gue udah punya pacar deh."

Cinta pada pandangan pertama, atau cinta pada seseorang dengan waktu yang singkat bagi Erin itu hanya kekonyolan. Yang begitu bukanlah cinta, melainkan dusta. Tapi entahlah, ini hanyalah pendapat Erin, cewek yang terlalu sulit jatuh cinta, tepatnya tak pernah jatuh cinta.

"Nggak semua mandang cinta kayak diri lo."
Langkah mereka kembali terhenti. Lebih tepatnya Arvin yang sekarang berdiri di hadapan Erin hingga menghalangi langkah gadis itu.

"Dan lagi ini nggak praktis seperti yang lo pikirkan." Arvin memangkas jaraknya dengan Erin.

Erin mematung, ia seperti kehilangan nyawa untuk sesaat. Ia benar-benar terkejut ketika merasakan bibir Arvin yang tiba-tiba mengecup lembut keningnya.

"Sorry gue lancang, tapi gue emang sayang sama lo, Rin."
oOo

Erin menutup pintu dengan wajah terbengong yang sama seperti tadi. Bibirnya sedikit terbuka dengan mata terbelalak samar.
Ia memegang dadanya yang masih berdetak kencang. Kepalanya masih mengingat dengan jelas ketika Arvin... Aaa!

"Lo kenapa sih bengong di situ? Lo nggak kesambet kan? Apa baru liat setan?"

Suara Fadil membuat Erin tersadar.  Cowok itu tengah duduk di sofa sembari menonton tv lengkap dengan camilan di tangannya.

"Gue kan udah bilang jangan keluyuran pas mau magrib ket--"

"Bang!"

Erin membuat Fadil terdiam seketika. Ia menatap Erin dengan alis bertautan

"Jelasin sama Erin gimana mekanisme Abang suka sama cewek!"

"Hah?"
oOo

Erin menggigit bibirnya. Ia memandang kosong pada cermin bundar di tangannya. Ia berdecak kemudian berlanjut melemparkan cermin itu pada atas kasur. Erin tak pernah segelisah ini.
Meskipun Abangnya itu kadang menyebalkan, tapi tadi ia menjelaskan dengan rinci juga penuh wibawa ke-abangan.

"Cowok itu kalo udah suka sama cewek pasti terus dikejar sampe dapet. Yang kadang tingkahnya itu bikin orang mikir dia kayak orang gila."

Arvin juga begitu kan? Erin sering mengumpat kalau cowok itu sakit jiwa.

"Tulusnya cowok itu nggak nanggung. Sayangnya kalo dikecewain sekali, cowok nggak bisa setoleransi cewek. Seberapa cinta pun dia sama cewek itu."

Itu sih tak terlalu Erin pikirkan, yang Erin pikirkan itu ucapan terakhir Fadil.

"Tapi hati-hati aja Rin, nggak semua cowok ngejar cewek karena suka. Ada yang cuma karena penasaran, setelah dapet, bosan, udah deh ditinggalin."

Erin mengetuk kepalanya. Kenapa juga ia harus berpikir ke sana?
Dan kebodohannya kenapa ia harus bertanya seperti itu pada Fadil.
Memangnya apa yang Erin cari? Memastikan bahwa Arvin benar-benar mencintainnya?
Apa pentingnya itu? Kalau pun dia hanya main-main Erin cukup tak jatuh cinta pada Arvin dan tunggu saja sampai dia bosan dan pergi. Beres! Segampang itu Erina!

Ya, segampang itu. Karena yang susah itu memastikan bahwa Erin tidak akan jatuh cinta pada cowok itu. Erin tak terlalu polos, ia browsing di internet tentang cinta. Jantung berdebar kalau di dekatnya, sering terbayang wajahnya kalau berjauhan. Damn! itu tanda-tanda jatuh cinta yang sudah Erin rasakan.

Sekarang Erin paham, ternyata dirinya itu bukan orang yang susah jatuh cinta. Tapi karena tak ada orang seperti Arvin yang berusaha keras masuk dalam kehidupan Erin, untuk menunjukkan bahwa dia layak.

Ting!

Ponsel di saku baju tidur Erin berbunyi. Menyadarkannya dari lamunan yang sudah seperti benang kusut.

'Gue ada di depan rumah lo, bisa keluar sebentar?'

16112018

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang