10. Jalani Dulu^

1.9K 162 4
                                    

Erin menutup pintu sebelum Abangnya merampungkan pertanyaan mengenai ia yang akan pergi ke mana. Bukan tak sopan, lagipula Erin tak akan ke mana-mana, hanya di depan gerbang yang di sisi lainnya ada Arvin yang tengah menunduk melihat ponsel sehingga dalam gelap pun wajahnya masih bisa dikenali karena cahaya yang dipancarkan ponsel itu.

"Ada apa?"

Suara Erin menyadarkan Arvin, cowok itu mendongak dan otomatis ponselnya ia turunkan. Mata Arvin sedikit melebar dari normalnya, ia bahkan tak berkedip sama sekali. Untung saja cowok ganteng itu bukan tipe yang suka menganga ketika terkejut.

"Nggak usah gitu juga kali liatinnya."

Erin membuang muka, bohong kalau ia berkata tidak risih. Masalahnya kalau Arvin menatap seperti itu karena Erin yang berdandan cantik, Erin pasti bangga, minimal tersipu, tapi sekarang wajah Erin itu sedang terlapisi masker berwarna hitam yang bagi mereka yang tidak mengerti--khususnya kaum laki-laki--akan merasa ilfeel.

"Wajah lo... Kenapa dicemongin gitu?" Nada suara Arvin seperti ragu bertanya, jauh dari bayangan Erin yang memperkirakan cowok itu akan terbahak. Mungkin ia tahu Erin akan marah kalau dia sampai melakukan hal itu, tapi entahlah.

"Lo pikir cantik itu praktis?"

Erin membuka gerbang, sedikit membuka ruang dan mempersilahkan Arvin masuk. Namun, cowok itu hanya bergeming di tempat.

"Mau masuk nggak?" tanya Erin pada akhirnya setelah melempar kode lewat pandangan namun Arvin tak merespon apa-apa.

"Nggak usah, udah liat lo ini."

"Hah?"

Arvin tersenyum, "Gue pulang dulu ya?" ucapnya tanpa berkeinginan menjawab kebingungan Erin, justru memupuk kebingungan itu.

"Bentar. Maksudnya, lo tiba-tiba dateng kesini, ketemu gue, terus pulang gitu aja?" Erin memastikan hasil cernaan otaknya sendiri itu.

Arvin mengangguk kemudian terkekeh. "Rindu emang aneh ya?"

Sementara itu Erin hampir saja tak bisa menahan diri dari mengucapkan 'Hah?' untuk yang kedua kalinya. Rindu? apa maksudnya. Kenapa Erin merasa ada yang menghangat di dadanya padahal tidak sepenuhnya ia mengerti ucapan Arvin barusan.

"Udah, mending sekarang lo masuk lagi aja, Abang lo ada di rumah kan? Maskernya cepet bersihin terus tidur. Besok gue jemput."

Erin hendak berbicara namun segera ia bungkam dengan menggigit bibir sendiri. Awalnya ia ingin protes karena Arvin tak menjelaskan rinci maksud kedatangannya yang sesaat ini, tapi rasanya itu terlalu menjatuhkan harga diri, Erin tak mau seperti itu.

"Yaudah, bye Rin."

Erin mengangguk kecil. Ia tak langsung masuk. Ia lebih memilih mengamati punggung Arvin yang perlahan menjauh. Erin baru sadar kalau cowok itu memarkir motornya cukup jauh.

Erin mengangkat bahu, setelah ini entah kegajean apalagi yang akan dilakukan pacarnya itu.

Iya, Arvin adalah pacarnya, Erin memilih untuk mengakui itu. Melihat Arvin yang begitu keras kepala sebelumnya untuk menjadikannya pacar, tidak ada salahnya juga kan Erin mencoba?

"Habis ngapain Rin?" Suara Fadil langsung terdengar begitu Erin kembali memasuki rumah.

"Kenalan sama kurir JNE," jawab asal Erin yang memilih melewati Abangnya itu dan mulai menaiki tangga.

"Lain kali kalo mau apel di dalem aja. Nggak enak sama tetangga. Kalo di dalem kan ada Abang yang awasin."

Langkah Erin terhenti. "Ng...ngomong apa sih Bang." Erin merasa bodoh, kalau saja wajahnya tak tertutup masker, pasti pipinya yang memerah akan terlihat. Dan yang membuat blushing itu adalah ucapan ngaco Fadil. Aaa... Otak Erin sepertinya sudah eror, masa sih Erin sudah mikir tentang apel?

Ting!

Erin mengeluarkan ponsel dari saku baju tidurnya.

'Gorden kamar lo kayaknya harus ditambah, itu ketipisan. Tadi gue nggak sengaja liat bayangan lo di sana. Karena lo pacar gue, pokoknya gue nggak mau cowok lain liat, bahkan kalo itu hanya bayangan lo. Inget gue bakal marah loh Rin. Kalo perlu gue bikin perkedel orang yang liatnya.'

Dahi Erin berkerut, bibirnya perlahan menarik senyuman. Arvin juga punya sisi lucu seperti ini ya?

"Manis," guman Erin tanpa sadar.
oOo

"Besok yang ulangan mapel apa?"

Cewek dengan rambut panjang yang diikat satu itu tampak kerepotan. Kedua tangannya sibuk membenahi tas sementara kepalanya harus ia miringkan guna mengapit ponselnya yang tengah menyambungkan telepon.

'Sejarah. Sumpah ya yang kayak gitu kenapa harus diulanganin segala, emangnya apa manfaatnya buat kita? Nanti kalo kerja juga nggak bakal ditanya kapan VOC didirikan kok. Ya kecuali kerjanya jadi guru.'

Cewek bernama Nadira atau akrab disapa Dira itu mendengus. "Tadi gue nanya loh, bukan nawarin buat jadi penampung curhatan lo."

'Ih Dira kok lo jahat banget sih.'

Dira terkekeh, ia bisa membayangkan wajah Thalia yang sekarang pasti sudah cemberut. Kalau sedang bersama biasanya Dira akan langsung mencubit gemas cewek yang punya kelebihan gizi pada pipi itu.

"Haha... Iya sorry. Telponnya lanjut nanti deh kalo udah di rumah. Punya pacar makanya, biar nggak nelpon mulu gue yang sibuk ini."

'Dih... Gaya lo, kayak lo juga bukan jomblo aja. Yaudah byebye Dira sayang.'

Dira menurunkan ponselnya, tasnya kini sudah terpasang rapi. Kepalanya menengok ke arah kanan, mencari taksi yang siapa tahu saja ada yang kebetulan lewat. Ia ingin segera pulang ke rumah dan mengistirahatkan badannya yang pegal. Hari ini pet shop milik Mamanya itu benar-benar ramai, Dira sampai kewalahan karena hanya dibantu kakak sepupunya yang kebetulan berkunjung.

Dira melihat jam tangannya, belum terlalu malam, tapi taksi memang sudah jarang lewat di sini kalau jam-jam segini.
Terpaksa ia harus gunakan transportasi online yang artinya harus menunggu terlebih dulu. Dan saran terbaik adalah menunggu di halte sana. Sangat sepi, maksudnya cukup sepi karena hanya ada 1 orang di sana.
Dira pun melangkah ke sana dengan mata yang tak terlepas dari orang dengan posisi membelakangi, bukan apa-apa, rasanya Dira tidak asing dengan orang itu. Lebih tepatnya hanya ingin memastikan karena otaknya sudah menebak siapa orang itu.

Puk!

Meskipun sempat ragu, Dira pun memberanikan diri untuk menepuk pundak orang itu.

"Dira?"

"Eh beneran Arvin ya. Gue kira siapa." Dira mengusap bagian belakang lehernya. Entah kenapa ia ingin merutuki keputusannya untuk menunggu di halte dan aksi soknya yang menepuk pundak cowok itu. Seharusnya Dira bersikap tak peduli barusan.

"Masih suka jagain pet shop ya?" Arvin sedikit menggeser posisi duduknya, secara tidak langsung memersilahkan Diri untuk duduk. Tentu Dira tak akan melakukannya, ia akan tetap berdiri meski kakinya pegal.

"Iya, lo sendiri ngapain di sini?" Karena canggung Dira memilih mengamati sekitar, mendapati motor Arvin yang terparkir tak jauh dari posisinya..

"Ada urusan. Lo mau pulang ya? Mmm... Mau gue anter?"

Dira membuat senyuman dengan terpaksa, "Nggak usah, gue udah pesen taksi online kok. Itu kayaknya udah dateng." Dira menunjuk mobil yang berhenti di depannya. Beribu syukur ia panjatkan karena akhirnya bisa lepas dari situasi aneh itu. Dan lagi kalau dibiarkan lebih lama Dira tak yakin ia bisa menahan rasa sesak di dadanya.

"Gue duluan ya."

Dira memasuki mobil itu. Memilih duduk di kursi belakang agar sang supir tidak menyadari kalau begitu mobil itu bergerak, air matanya langsung meluncur.

"Masih suka jagain pet shop ya?" Dira berguman kecil menirukan apa yang tadi Arvin ucapkan. Ia menundukkan kepalanya, merasakan dadanya yang semakin terasa sesak.

"3 hari lalu lo masih jemput gue dari sana, Vin. Emangnya apa yang bisa berubah dari waktu sesingkat itu? Gue bukan lo kok."

16122018

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang