4. Pengganggu (manis)^

2.8K 185 1
                                    

"Ayo dong Bang, bantuin Erin." Erin terus merengek seraya memegang 1 buku catatan beserta 1 pulpen. Sesekali ia menoncolek pundak Fadil yang sekarang sibuk bermain game di ponselnya.

"Kerjain sendiri lah, Rin."

Erin mengerucutkan bibirnya, "Ini soal fisikanya susah Bang, makanya Erin tanya ke Abang." Erin membuka buku catatannya, bermaksud menunjukkannya pada Fadil. Namun sayang, cowok itu sama sekali tak mengalihkan fokus dari ponselnya.

"Bantuin dong ya...." Erin memelas. Ia sudah tak tahu harus bagaimana lagi. Sudah 1 jam tadi di kamar Erin berkutat pada soal ini, namun ia tak kunjung mendapat jawaban, ia merasa semakin berusahan semakin seperti benang kusutlah otaknya.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan pada Abangnya. Dan ternyata Si Abang tak mudah diajak kerjasama.

"Udah tau otak pas-pasan, pake sok-sokan ambil IPA." Fadil malah menggerutu.
Lah memang ini keinginan Erin? Salahkan Mamanya yang meminta Om Bimo--kepala sekolah Erin--untuk memasukkannya ke IPA padahal keadaannya seperti ini.

Erin memang berbeda dari 2 saudaranya yang lain, Bang Fadil dan Liza langganan juara kelas dari kecil hingga sekarang.

"Udah Abang bantuin Erin aja, nggak haram juga kan bantuin adek sendiri. Lagian Abang mau lupa kalo selama ini yang masak buat Abang itu Erin? Mau lupa kalo yang beliin martabak malam-malam itu Erin? Mau lupa kalau yang cuci setrika baju Abang itu Erin? Mau lu--"

"Elah perhitungan banget sih sama Abang sendiri," ucap Fadil dan menarik buku catatan yang ada di pangkuan Erin. Sementara Erin menampilkan senyum lebar karena berhasil membuat Abangnya mau membantu.

"Ini mah di SMP juga ada. Sana tanya Liza aja, Abang tanggung lagi main."

Senyum Erin luntur, bibirnya melengkung ke bawah dan tatapan berbinarnya berubah datar.

"Nggak bisa, Erin masih marah sama Liza karna udah laporin Erin bolos ke Mama." Erin melipat tangannya di depan dada. Teringat bagaimana Mamanya tiba-tiba mengomel di telepon ketika dia dan Arvin sedang di Mall tadi, meskipun di satu sisi senang karena dengan begitu bisa lepas dari Arvin, di satu sisi lagi ia merasa bersalah pada Mama.
Yang menjadi pertanyaan di kepala Erin sampai sekarang, dari mana Liza tahu kalau dirinya itu bolos?

"Itu mah salah lo sendiri. Terserah kalau nggak mau tanya Liza, kerjain aja sendiri."

Erin menatap Fadil dengan mata memicing, "Abang bener-bener mau lupa sama jasa-jasa Erin?"

"Atau nggak lo tanya pacar lo itu deh," usulnya yang membuat Erin berdecak.

"Lo tahu kan Tuhan itu Maha Adil. Nggak ada manusia yang diciptain sempurna, tapi kita punya peran masing-masing, saling melengkapi untuk menjadikan sempurna. Dan dengan lo yang bloon gini, gue yakin pacar lo itu orang yang punya IQ tinggi."

Ceramahan super itu membuat Erin lemas seketika. Tebakannya tepat tentang Arvin yang punya IQ tinggi, tapi menanyakan tentang PR ini pada dia? Yang benar saja!

"Makasih Bang, sori aja kalau sebulan ke depan gue nggak bakal mau disuruh beli apa pun sama lo," ucap Erin penuh penekanan sebelum beranjak dan keluar dari kamar Fadil. Tak lupa ia menutup pintu yang hampir membuat seseorang jantungan.
oOo

Erin menjatuhkan bukunya asal pada atas kasur diikuti tubuhnya dengan posisi terlentang. Satu helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Matanya terpejam, napasnya ia atur agar otaknya bisa relax. Lupakan saja tugas ini dan mari minta contekan pada Fika besok. Erin bersugesti mantap.

Hey Hey Beautiful Beautiful Beautiful angel~

Mata Erin kembali terbuka ketika ponselnya berbunyi nyaring. Tangannya bergerak meraba guna mengambil benda itu yang kebetulan ia letakan asal di atas kasur.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang