17. Tanda Tanya

1.7K 125 2
                                    

"Ada yang mau dipesan lagi?" tanya perempuan berpakaian hitam-putih yang merupakan seragam pegawai di rumah makan ini. Rumah makan yang mereka masuki tanpa perencanaan dikarenakan cacing-cacing yang sudah menendang-nendang. Entah masakannya akan enak atau tidak, yang penting Erin dan Arvin--yang sudah ada pada mode kelaparan itu--mendapatkan makanan.

"Udah itu aja, Mbak." ucapan yang terlalu praktis untuk mereka yang baru saja memesan makanan-makanan berat dengan porsi besar. Erin bahkan sepertinya lupa dengan program dietnya.

"Gue ke toilet dulu ya," pamit Erin tepat setelah pelayan itu meninggalkan meja mereka.

Arvin hanya mengangguk dan memilih membuka ponselnya yang barusan berdenting beberapa kali menandakan adanya pesan masuk secara beruntun. Kalau bukan Kakaknya, pasti dari teman-temannya tak jelasnya yang berlaku seperti ini

Air wajah Arvin yang mulanya biasa mendadak berubah begitu ia membuka satu persatu pesan masuk yang semuanya berasal dari Devan. Beberapa foto dengan keterangan yang membuat urat-urat di tangan Arvin yang terkepal kuat nampak.

Tak ingin emosi terlajur menguasai diri, jarinya langsung menekan tombol guna menelepon Devan. Ia butuh penjelasan rincinya, ia butuh bicara dengan sahabatnya itu.

"Itu editan kan?!" ucap Arvin langsung dengan nada marahnya. Foto-foto itu membuat isi kepalanya terasa mendidih.

'Kalo foto yang itu, meskipun rapi gue yakin 100% cuma editan, tapi yang lainnya foto nyata,' jawab Devan, tanpa merasa tersinggung akan ucapan tinggi Arvin seolah ia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ia mengirim informasi-informasi itu.

"Mereka sinting ya?!" ucap Arvin tak habis pikir.

'Entah gue juga nggak ngerti. Tapi sekarang lo sama Erin nggak?'

"Iya, lagi mau makan, abis dari taman."

'Taman?!' suara Devan terdengar terkejut.

'Gila!' lanjutnya tak kalah heboh.

"Kenapa?" tanya Arvin bingung.

'Ada beberapa foto yang belum gue kirim, dan itu posisinya kayak di taman. Hati-hati Vin, mungkin sampe saat ini kalian masih diikutin.'

Lagi-lagi tangan Arvin terkepal. Ingin rasanya ia melampiaskan namun sialnya tak ada yang bisa ia jadikan samsak di sini.

"Ok, thanks Van. Setelah anter Erin, gue ke rumah lo."

Arvin mematikan sambungan teleponnya. Seperti kata Devan, mungkin sekarang dirinya masih diawasi, ia tak bisa berbicara panjang lebar lagi dengan temannya itu sebelum semuanya menjadi berantakan.

Arvin memejamkan mata kemudian menarik napas untuk menenangkan emosinya. Seolah ekspresinya yang sekarang tak boleh sampai terlihat di depan Erin.

"Arvin?" ucap seseorang dari arah belakang.

"Eh, Kak Tere?" ucap Arvin begitu menoleh. Seorang gadis berambut panjang dengan baju kasual tengah tersenyum menatapnya

"Ah ternyata beneran lo. Kangen deh, gimana kabarnya?"

Teresa, nama gadis itu. Ia segera menarik bangku di samping Arvin kemudian mendudukinya.

"Gue baik Kak, lama nggak ketemu, segitu sibuknya," ucap Arvin dengan candanya.

Teresa adalah kakak seniornya waktu SMP. Mereka dekat, bisa dibilang Kak Tere--begitu Arvin memanggil--adalah cinta monyetnya Arvin. Meskipun sudah berakhir, mereka tetap baik-baik saja sampai sekarang malah menjadi lebih akrab.

"Haha... Biasalah gue kan udah tua, bentar lagi ujian, sibuk sama ini itu, sekarang aja ini gue mau berangkat ke tempat bimbel," jelasnya yang diikuti raut sedihnya. Menjadi kelas 12 memang benar-benar menyiksa.

"Oh iya, yang tadi Erin kan?"

Kenal cukup lama dengan Teresa membuat Arvin mudah menebak isi pikiran cewek itu. Arvin berdecak, Teresa bukan menghampirinya karena memang merindukannya, tapi karena ada sesuatu yang membuatnya penasaran.

"Lo kenal sama dia?" tanyanya sedikit tak berminat.

"Agak pangling sih, tapi gue kan masih muda buat sepikun itu, gue masih bisa lah ngenalin dia," jawab Teresa dengan wajah yang seperti mengingat-ngingat.

"Cantik kan pacar gue? Mau sekalian gue tanyain tipsya biar bening kayak gitu nggak?" ucap Arvin yang langsung mendapat geplakan ibu tiri dari Teresa.

"Gue nggak burik kali, meski kalah kalau dibandingin sama dia." Teresa memajukan bibirnya kesal. Namun sedetik berikutnya cewek itu terbahak yang membuat Arvin menatap aneh.

"Lucu, ternyata lo doyannya sama yang lebih tua," ucapnya menjelaskan penyebab tawanya.

"Enak aja, cuma sama lo doang. Dan gue udah insyaf. Meski Erin udah tau cara rawat diri, dia seangkatan sama gue tau."

Teresa yang masih tertawa tiba-tiba berhenti. Matanya menatap Arvin lamat. "Buaya mau lo kadalin. Erin itu temen gue waktu SD, dia seangkatan sama gue."

"Serius Kak? Tapi gue seangkatan sama dia tuh, bahkan sekelas."

"Serius lah, meski kalo dilihat dari umur, lo masih lebih tua dari dia."

Arvin mangut-mangut mengerti, yang sebenarnya bukan ekspresi yang Teresa harapkan keluar dari cowok itu.

"Dia emang agak lemot sih, tapi gue nggak nyangka separah ini. Tenang gue nggak bakal bilang sama dia kalo lo ngasih tau soal dia yang nggak naik kelas," jelas Arvin yang membuat Teresa mengernyit

"Lemot? Nggak naik kelas?" keryitan Teresa semakin bertambah.

"Erin mana mungkin--"

"Re!" panggil seseorang yang membuat ucapan Teresa terhenti.

"Buruan! Udah diteleponin nih," ucap gadis sebaya dengan Teresa, mungkin temannya. Ia terlihat mengacung-ngacungkan ponselnya dengan ekspresi panik.

"Sorry ya Vin, gue pergi dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi."

Teresa langsung pergi dan setengah ngacir dengan temannya itu keluar dari sana.
Meninggalkan Arvin yang sedikit bertanda tanya.

"Kenapa Vin?" tanya Erin yang sudah selesai dari toiletnya.
Ia segera duduk dan menyimpan tasnya di samping.

Tampilan Erin terlihat lebih fresh. Jerawatnya sudah tersamarkan concealer, dan yang jelas Erin terlihat lebih manis dengan rambut yang terikat ala ponytail itu.

Wajahnya yang mungil terlihat semakin imut, apalagi leher indahnya yang terekspos semakin menambah kecantikannya sebagai perempuan.

Tunggu, mata Arvin berhenti pada leher itu, dia seperti mengingat sesuatu. Dengan tiba-tiba Arvin bangkit dan menarik ikat rambut cewek yang duduk di seberangnya.

"Loh? Ngapain sih?" Erin menatap bingung Arvin yang merapikan rambut terurainya seolah harus melingkupi keseluruhan lehernya.

Erin bukan salah ingat kan? Waktu itu Arvin sendiri yang menyarankan Erin untuk mengikat rambut. Kenapa setelah Erin melakukan itu Arvin justru melepaskan ikatannya.

Erin menatap rambutnya yang terjuntai, padahal susah payah Erin yang jarang mengikat rambut mengikatnya serapi itu.

"Lo lebih cantik digerai," jelas Arvin setelah kembali duduk di kursinya. Dia juga tersenyum namun entah kenapa itu tak bisa membuat Erin tersanjung.

"Aneh," gumam Erin seraya menarik piringnya karena pesanan mereka sudah tiba.

03022019

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang