31. Erin itu Berbeda

1.6K 121 2
                                    

Mungkin Erin terlalu shock hingga ia terus menangis dan histeris. Situasi tadi tentu sangat mengerikan untuk semua perempuan. Apalagi bukan hanya berniat melakukan tindak pelecehan, Galang juga melakukan kekerasan hingga Erin mengalami memar dan luka goresan pada pipi.

Arvin bukan menyepelekan, ia pikir masalahnya hanya di sana, hingga ketika Mama Erin yang menjadi pemandu ke mana Arvin harus menyetir, memberhentikannya di depan sebuah rumah sakit.

Dengan lukannya, Erin memang harus dibawa ke rumah sakit, tapi tidak dengan sebuah rumah sakit jiwa bukan?

Devan memandang Arvin, pun sebaliknya. Mereka saling melempar kebingungan.
Bukankah terlalu cepat Mama Erin kalau menyimpulkan putrinya mengalami trauma? Atau mungkin karena Rumah Sakit inilah yang terdekat, dan beliau berpikir di mana pun tempatnya yang penting luka Erin segera diobati.

Mama Erin merangkul Erin keluar dari mobil dengan dibantu Fadil yang sudah terlebih dulu sampai karena mengendarai motor.

Beberapa orang yang sepertinya merupakan perawat langsung menghampiri dan mengambil alih Erin. Seorang dokter yang juga ada di sana menepuk-nepuk bahu Mama Erin.

"Ibu tenang, Erin pasti baik-baik aja," ucapnya sebelum ikut masuk ke dalam ruang rawat dan menutup pintunya.

Mama Erin yang semula berusaha terlihat tegar, sekarang roboh. Ia terduduk ke lantai dengan tangan yang menutup wajahnya yang menangis.

Fadil dan Liza langsung berjongkok di sampingnya. Keluarga itu saling berpelukan, mereka sama-sama berusahan menguatkan. Tentu ini sebuah pukulan berat bagi mereka apalagi Arvin tahu keluarga ini adalah keluarga tanpa sosok Ayah.

Arvin yang masih belum mendapat penjelasan tentang situasi ini memilih melihat Erin dari jendela kaca kecil yang terdapat di pintu.
Para perawat-perawat yang tadi membawa Erin kini mereka masing-masing memegangi kaki dan tangan Erin yang sudah berbaring di ranjang.

"Erin nggak cantik lagi! Erin nggak cantik lagi!"

Bukan hanya histeris, sekarang Erin terlihat mengamuk. Tubuhnya bergerak kesana kemari.

"Nggak... Nggak...." tubuh Erin mendadak berhenti bergerak, hanya kepalanya yang menggeleng-geleng dengan sorot takut.

"Erin nggak mau cantik! Galang jahat! Galang jahat!"

Erin lebih histeris dari sebelumnya hingga dokter pun harus menyuntikkan obat untuk menenangkan gadis itu.

Arvin menelan ludah, apa yang dilihatnya kini benar-benar membuat sesuatu di dalam dirinya merasakan sesak.

"Kamu...." Mama Erin menghampiri Arvin.

"Boleh ikut tante."

Arvin berpikir sejenak sebelum mengangguk kemudian mengekor pada Mama Erin. Sebuah bangku tunggu yang terpisah dari Devan dan lainnya.

Mama Erin menarik napas panjang. Menghembuskan perlahan bersama sesak yang mengganjal di dadanya.

"Erin itu berbeda."

oOo

"Kiri Bang!" seru Erina Febria Nasution. Gadis kelas 5 SD yang memiliki rambut sebahu dengan potongan layer. Poninya yang sealis sengaja ia tarik ke atas dengan jepitan, membuat dahinya yang berkeringat terekspos dengan beberapa anak rambut menempel.

Kakinya sedikit berjinjit ketika menyerahkan ongkos pada sopir angkot yang berjasa besar dalam mengantarnya hingga depan komplek ini.

Erin menghela napas bangga kemudian tersenyum cerah. Seragam olahraganya yang lusuh karena keringat tak membuat semangatnya menurun, justru kian meningkat.
Layaknya atlet profesional, Erin menarik bagian depan kaosnya kemudian mencium logo sekolahnya yang ada di sana sebagai bentuk rasa syukur juga bangga.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang