Langit terlihat berwarna abu-abu, hembusan angin yang cukup besar membuat ranting-ranting terpontang-panting hingga daunnya terlepas.
Menari-nari di udara seolah tanpa beban, padahal jelas angin yang mengajaknya menari itu adalah yang membuatnya terlepas dari sang inang.Erin mengamatinya dalam diam. Duduk tanpa alas di depan jendela kaca kamarnya.
Ia mendekatkan wajahnya pada kaca, meniupkan udara di sana, dan membuat kaca itu berembun.
Sementara jemari lentiknya bergerak menggambar bentuk hati di bagian berembun itu.Cinta,
Erin tak yakin apa benar itu yang ia rasakan pada Arvin.
Yang Erin tahu ia hanya ingin marah ketika Arvin bersama cewek itu.
Untuk alasan apa pun. Entah cewek itu yang merupakan bagian masa lalu Arvin yang belum tuntas, atau cewek baru di antara dirinya dan Arvin.
Tapi kenapa Arvin bisa semudah itu?
Erin ingin berprasangka baik, ia menunggu Arvin menjelaskan, sayangnya itu tidak pernah terjadi sampai sekarang.
Apa itu berarti yang dikatakan orang-orang yang mengasihaninya itu adalah faktanya?"Sayang...." ucapan lembut beriring ketukan itu membuat Erin tersadar dari lamunannya.
"Masuk aja Ma."
Tak lama kemudian handle pintu bergerak dan pintu itu pun terbuka, menampilkan Mama Erin yang tengah tersenyum manis padanya.
"Mama kira kamu masih di luar. Ditelepon hp kamu mati. Kamu baik-baik aja kan?"
Erin mengangguk. Kemudian matanya bergulir ke arah meja rias.
"Barang aku ke mana?"
Mulainya di sana hampir penuh dengan kosmetiknya, namun sekarang hanya terlihat pelembab, bedak tabur, dan lipbalm saja.
"Tadi Liza mau minjem bedak, dia sambil bawa susu, eh nggak sengaja tumpah. Mama bawa aja keluar buat dibersihin. Ada beberapa yang rusak sih, tapi nanti deh kita bisa beli lagi."
Lagi, Erin hanya mengangguk.
Sang Mama pun pamit keluar dan menutup pintu. Karna kepentingannya hanya sebatas memastikan Erin baik-baik saja.Erin menjatuhkan pandangannya, pada ponsel yang ia letakan di dekat kakinya. Jemarinya menyentuh kemudian layar ponsel itu menyala.
"Hp Erin nggak mati, tapi dia nggak ada ngehubungi," ucapnya yang tanpa sadar membuat Ibunya yang masih berada di balik pintu menghela napas sesak.
oOo
"Bentar...!" ujar Devan dengan suara seraknya. Matanya belum terbuka sempurna. Kalau saja bel rumahnya tidak berisik, Devan bodo amat dengan siapa pun yang datang ke rumahnya.
Benar-benar mengganggu tidur nyenyaknya di sofa ruang tamu ini."Siapa?"
Matanya tertutup, mulutnya menguap lebar, sementara tangannya yang selesai ia gunakan untuk membuka pintu ia gunakan untuk menggaruk kepala."Gila, pantes aja jomblo. Cewek ilfil duluan liat tampang lo."
Devan membuka perlahan matanya. Seperti hafal dengan suara itu. "Sialan! Kalo tau itu lo, nggak bakalan gue buka," umpatnya yang membuat Arvin di depannya tertawa lebar.
"Orang tua lo nggak ada?" tanyanya seraya masuk ke rumah, melewati Devan begitu saja. Ia terlihat sedikit memerhatikan sekitar.
"Tuan rumahnya siapa sih?" sarkas Devan melihat Arvin yang sudah duduk santai di sofa seraya memakan cemilannya yang tadi ia beli sebelum tertidur.
"Tenang, gue sisain kok."
Devan menghela napas, dan akirnya memilih duduk di samping Arvin. Ia malas berdebat.
"Yaudah, jadi lo ada masalah apa?" to the point Devan.
Kadang ia merasa miris juga. Arvin menemuinnya hanya pada saat butuh saja. Kemarin-kemarin di sibuk sama Erin, sekarang-sekarang dia sibuk sama Dira.
Tapi bodo amatlah. Rasa kantuknya masih mengelilingi, ia ingin Arvin cepat menyelesaikan maksudnya dan ia kembali tidur."Wih... Lo dapet ilmu dukun dari mana?" pukau Arvin seraya bertepuk tangan, membuat Devan mendengus sekaligus memutar bola matanya.
"Tampang nahan boker seharian gitu, dari mananya nggak ada masalah?" cibir Devan dengan wajah dibuat semasam mungkin.
"Perumpaan lo nggak enak sih, tapi bener." Suara Arvin sedikit berubah, tidak cengengesan seperti sebelumnya. Cemilan yang dimakannya pun ia simpan dan mulai memasang ekspresi serius.
"Gue bingung Van," ucapnya membuka topik.
"Bingung apa? Bingung karena lo udah lengket lagi sama Dira terus baru nyadar status lo itu masih pacarnya Erin? Buat orang sebrengsek lo, apa yang mau dibingungin?" ucap Devan seolah ilmu dukun sudah tertumpah ke dalam dirinya. Tapi faktanya dia memang yang paling tahu.
"Kok kalimat yang terakhir lo kayak gitu?"
"Terus lo pikir lo pantesnya disebut apa Vin? Jam istirahat putusin Dira di atap sekolah, pulang sekolahnya lo nembak Erin." Devan mengingatkan salah satu kebrengsekannya.. Mungkin keputusan Arvin datang ke sini salah, karena jelas Devan ada di kubu yang berlawanan dengannya.
"Tapi itu kan--"
"Enggak! Sekarang gue nanya. Ketika lo sama Dira, lo bisa inget Erin. Tapi pas sama Erin, apa lo juga inget sama Dira yang baru lo putusin?"
Arvin terdiam, ucapan Devan menohoknya terlalu kuat hingga ia kehilangan kata untuk menjawabnya.
Devan menghelan napas. Arvin-Dira, Arvin-Erin, Arvin-Dira, masalahnya hanya berputar di sana saja.
Devan mengaku ia sedikit salah dengan menyebut Arvin brengsek barusan. Ia kenal, dan Arvin memang tidak seperti itu. Arvin bukan playboy.Devan hanya mengeluarkan kekesalan. Bagaimana pun hubungan Arvin dan Dira itu hampir mencapai usia 2 tahun. Membuatnya juga mengenal Dira dan berteman baik dengannya.
Arvin mengakhirinya karena sudah bosan, itu wajar. Tidak perlu menjadi brengsek dulu, semua orang bisa merasakan itu dalam sebuah hubungan.
Salahnya, di sini Arvin langsung lari ke Erin. Cewek cantik, baik-baik, Arvin dekati tanpa sedikit pun cowok itu punya rasa sama Erin.
Dan itu membuat Devan kesal juga. Karena dia itu salah satu yang suka mengikuti Erin di Instagram. Bukan suka dalam artian naksir, lebih cenderung kagum seperti fans pada idolanya."Lo emang brengsek sih," ucap Devan setelah otaknya memutar skandal Dira-Arvin-Erin itu.
"Iya gue tau. Gue cuma lurusin. Gue udah nggak ada rasa sama Dira. Udah dari jauh-jauh hari gue cerita sama lo, bahkan lo yang saranin buat putus juga. Gue deket sama dia lagi karena gue kasihan. Nyokap dia meninggal dan dia nggak punya siapa-siapa."
Oh iya satu lagi, sebenarnya Dira itu orang yang baik. Intinya jauh beda dengan yang sekarang. Mungkin karena ibunya yang meninggal itu, ia jadi punya sifat manja pada Arvin. Semacam sebuah sindrom mungkin. Tapi percaya sama Devan, aslinya Dira itu memang orang baik.
"Dan lo udah ceritain itu sama Erin?"
Arvin diam, itu artinya cowok itu belum menjelaskan apa-apa pada Erin.
"Dengerin ya Vin, " Devan menjedanya dengan menarik napas panjang, "meskipun lo nggak cinta sama Erin, tapi lo punya status sama dia, lo punya kewajiban buat jelasin. Karena di posisi Erin, walaupun dia juga nggak cinta sama lo, tapi lo tai-in dia kayak gini, tetep nyesek men!"
Tiba-tiba Devan mengingat seperti apa Erin tadi di sekolah. Dia baik-baik saja, saking baik-baiknya yang lihat malah jadi keliru apa dia manusia, atau manekin cantik yang salah dibawa ke sekolah.
Devan jadi kesal sendiri pada Arvin. Kalau saja Dira atau Erin memintanya menghajar Arvin, dengan senang hati Devan akan lakukan itu.
"Walaupun lo nggak ada niat jahat buat keduanya. Gue tetep doain lo dapet karma," pungkasnya yang membuat Arvin langsung menoleh ke arahnya.
06042019
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Teen FictionNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...