22. Kejutan

1.5K 114 15
                                    

Erin tak berani menghampiri mereka. Mentalnya terlalu ciut untuk bertanya, atau sekedar menyapa 'pacarnya' yang kini selalu bersama dengan cewek itu.

Arvin menjadi siswa paling telat yang masuk ke kelas, Bu Rena sudah memulai prmbelajaran sekitar 5 menit, padahal jelas Arvin tidak kesiangan datang dari rumah.
Dan tak terjadi apa-apa. Erin bahkan merasa Arvin tak sedikit pun meliriknya. Seperti orang asing.

Jam istirahat pun Arvin menjadi yang paling awal keluar kelas, seperti terburu-buru. Dan lagi, bersama cewek itu.
Mereka duduk berdua di sisi kiri kantin. Arvin terlihat berkata-kata yang membuat cewek di sampingnya tersenyum kecil beberapa kali.

Erin memutar mata dan mengalihkan pandangannya. Mendorong mangkok bakso yang baru sekedar ia aduk-aduk saja. Entah ini sebuah kesialan atau apa, niatnya untuk mengisi perut malah mendapat pemandangan yang melilit perut.

Heh, Apa ini? Erin ingin tertawa saking sulitnya membuat sang otak percaya kalau ini nyata.
Tak hanya hati dan matanya, kupingnya pun terasa sangat panas. Erin mendengar jelas ucapan orang di sampingnya yang jelas-jelas mangasihaninya.

Ingat bagaimana Arvin berteriak dan mengumumkan bahwa dia adalah pacarnya?
Sekarang banyak yang berbicara tentang Erin yang sudah dijadikan 'mainan' Arvin. Erin yang hanya menjadi pelepas rasa penasaran Arvin saja.

Arvin, apa lo emang sebrengsek ini?

"Mau ikut gue ke suatu tempat nggak?" Galang yang entah bagaimana sudah berdiri di depan meja Erin berucap dengan raut yang tak terhiasi senyum manis seperti biasanya. Terlihat datar, namun jelas ia bukan marah pada Erin.

"Gue...."

"Bakso lo udah gue bayar kok."

Erin mengatupkan bibirnya. Ia melihat pada ujung sepatunya sebelum mengangguk kecil. Lama-lama di sini juga bukan hal baik kan?
Erin harus berterima kasih, Galang sudah menyelamatkannya. Dan menolak adalah pilihan terbodoh.

Galang cukup sopan. Setidaknya ia tak menarik Erin yang berjalan tak bertenaga seperti keong.
Dengan sabar ia mengikuti langkah Erin di sampingnya.
Hingga untuk sampai di belakang sekolah pun membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Apa situasinya sama seperti yang mereka bilang?" tanya Galang yang kini sudah berhadapan dengan Erin yang memilih menunduk dan melihat ujung sepatunya yang ia gerak-gerakkan.

Erin memilih tak menjawab, pertanyaan Galang kurang spesifik.
'Apa yang mereka bilang' itu apakah tentang Erin yang dijadikan bahan taruhan, Erin yang hanya dijadikan mainan, Erin yang diselingkuhi di depan mata, atau yang mana?

"Lo boleh nangis kok," ucap Galang yang sukses membuat Erin mengepalkan kedua tangannya.

Tenggorokkannya sudah terasa amat tercekat. Ia seperti hendak meledak, sebelum sekelebat bayangan dari masa lalu menghampiri otaknya.

'Perempuan itu jangan suka nangis, harus kuat.'

Erin menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan kenangan tak diundang dengan Papanya ketika ia masih TK itu. Ia benci harus mengingatnya.

"Rin?" ucap Galang. Dahinya sedikit mengernyit. Erin bukan seperti akan menangis, tapi dari raut wajahnya ketika ia menggeleng-gelengkan kepala, terlihat dia tak baik-baik aja.

"Lang," Erin sekarang mendongak dan menatap Galang. Galang sedikit salah mungkin, Erin bukan tak akan menangis, kedua mata cewek itu sekarang sudah berkaca-kaca. Ya, Galang selalu siap. Menangis adalah suatu cara untuk meringankan suatu beban.

"Iya?"

Erin mengarahkan pandangannya ke atas, berkedip beberapa kali agar matanya yang tergenang itu kembali kering.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang