21. Arvin, lo...

1.6K 126 2
                                    

Erin menatap ponselnya, suasana kamar yang remang-remang membuat cahaya dari sang ponsel memperlihatkan wajah Erin yang terlihat murung.

Ketika mendapati tak ada yang berubah dari layar ponselnya itu, Erin membenamkan wajahnya pada bantal. Setengah dilemparnya sang ponsel.

Erin menyerah, mungkin Arvin tidak akan menghubunginya hari ini.

"Dek lo belum makan, nggak lagi diet kan?" suara Bang Fadil terdengar dari luar pintu, beriringan dengan ketukan dari punggung jarinya.

'Dek?'
Erin melenguh. "Nggak pengen," jawab Erin tak bertenaga.

"Ayo dong, sakit kalo lo nggak makan."

"Biarin." Suaranya sedikit tertahan karena bantal, tapi masih bisa didengar Fadil.

"Ayo dong, Abang khawatir tau."

Erin mengangkat wajah. "Abang bukan khawatir, tapi Abang laper! Cuma panasin makanan doang, masa harus Erin sih?!"

Erin mengerang kesal. Demi Tuhan moodnya tidak baik dan ia tak ingin melakukan apa pun. Kenapa kakak manjanya itu harus kumat?

"Abang sih mau-mau aja, cuma kasian nantinya kamu harus beresin dapur."

Erin mengusap wajah kasar. Perannya sebagai pembantu terhakikikan sekarang.
Kakak manjanya yang melampaui seorang Sultan dan adik nakalnya yang tak berhenti pacaran dengan buku. Tak ada yang bisa diandalkan!

oOo

"Lo nggak makan?" tanya Fadil yang kini tengah melahap makan malamnya.
Tanpa menghentikan langkah, Erin yang baru selesai merapikan dapur hanya menggeleng.

"Serius?" tanyanya lagi seolah ekspresi malas Erin itu tak cukup meyakinkan.

"Nggak laper, nggak pengen makan, udah paham?" Erin yang sudah menaiki setengah tangga memutar bola matanya.

Fadil mengangkat bahu acuh, memasukan satu sendok penuh ke dalan mulut, "Lo aneh, bukan lagi galau karena si Arvin kan?"

Entah kenapa pertanyaan santai yang jelas asal sebut itu membuat Erin menghentikan langkahnya sejenak. Tatapannya terlihat nyalang ke depan. Pertanyaan Bang Fadil membuatnya tertohok.

oOo

"Makan dulu ya?" ucap Arvin lembut dengan sebuah nampan di tangannya. Sederhana, hanya semangkuk bubur dan air putih. Namun besar harapnya orang yang tengah ia bujuk itu mau menerimanya.

"Nggak Vin." Gadis yang duduk di depan jendela kaca itu tak sedikit pun mengalihkan pandangan. Mata sembabnya seolah tengah menghitung tetesan-tetesan hujan yang menempel di jendela. Ia bahkan tak peduli akan dinginya lantai. Semua yang melihatnya pasti akan merasa iba.

"Dari kemarin loh Ra, lo belum makan."

Dira menggeleng. Bukan soal kekanakan, tapi siapa pun kalau di posisi Dira sekarang pasti melakukan hal yang sama. Satu-satunya keluarga yang dia punya, kini sudah pergi untuk selamanya.

"Udah malem loh, Ra."

Dira menoleh, menatap Arvin yang jelas memancarkan kekhawatiran itu. Tanpa kata Dira bangkit dengan kaki terpincangnya. Ia pergi ke arah kasur kemudian beringsut di sana.

"Mama udah ninggalin gue. Udah malem kan? Kalo lo mau pergi, pergi aja. Gue nggak papa kok sendiri," ucap Dira yang kembali meluncurkan air matanya. Meskipun posisinya membelakangi, Arvin tetap tahu.

Arvin menghela napas. Dia bukan lelaki bodoh yang akan meninggalkan Dira pada posisi ini begitu saja. Dira masih begitu rapuh. Selain dia, siap yang bisa Dira andalkan lagi?

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang