"Jadi intinya gimana?" Devan menaikkan sebelah alisnya dengan wajah yang jelas mengharap jawaban puas dari orang di depannya.
Arvin, setelah Fira memutuskan turun dari mobilnya, Arvin pun membatalkan niatnya untuk berkunjung ke Rumah Sakit itu.
Ia memutar arah dan berakhir di rumah Devan. Menceritakan segalanya pada cowok yang beberapa kali menerornya dengan pertanyaan 'Ada apa sebenernya?'"Sumpah kalau aslinya Erin kayak gini, gue nggak bakal mau jadi mata-mata, lebih baik gue ngomong sama keluarganya kalau ada yang niat buruk sama Erin. Mereka pasti punya cara terbaik buat nanganinya."
Arvin mengangguk setuju, tapi sekarang semuanya sudah terlanjur bukan?
Arvin merogoh sakunya, mengeluarkan sekotak rokok beserta koreknya. Ia butuh nikotin untuk otaknya, setidaknya menjadi sedikit rileks."Gue kira lo udah nggak ngerokok," ujar Devan dengan nada terheran.
"Kenapa mikir gitu?" Tatap Arvin mengernyit, sebelum akhirnya ia paham sendiri tanpa Devan menjelaskan.
"Ah itu, Erin nggak suka rokok."
Hampir semua waktu Arvin gunakan bersama Erin sebelumnya kan? Wajar kalau Devan tak melihat Arvin yang melakukan kebiasaan tak baik itu."Padahal sama Dira lo nggak nurut."
Nah benar juga yang dikatakan Devan, tapi Arvin malas memikirkan itu. Membahas Dira hanya membuatnya merasa bersalah. Meski tak bermaksud, tapi ia sudah membuat Dira seolah punya harapan.
"Udah deh, mending sekarang lo kasih tau gue cara termudah gue bisa nemuin orang yang baru satu kali gue liat."
Devan nyaris tersedak soda yang tengah diminumnya. Ia menatap Arvin dengan ekspresi tak terbaca. Cukup sudah ia sok menjadi detektif untuk memata-matai 'fans' Erin, sekarang rencana konyol apa yang ingin Arvin lakukan.
"Udah deh Vin, gue nggak mau berurusan sama yang kayak gini, gue takut semuanya ancur lagi. Lagian lo mau cari siapa lagi coba?" Devan tak habis pikir. Ayolah masalah Erin pun belum tuntas, jangan tambah hal lain lagi.
"Ayahnya Erin."
"Hah?"
oOo
Arvin melangkahkan kaki, sedikit dibumbui ragu. Ada takut kalau Erin akan menolak kehadirannya. Sejenis membencinya atau apa pun.
Ini sudah berselang 5 hari sejak kejadian itu. Arvin tentu tak lepas begitu saja, ia sering menghubungi Mama Erin tentang bagaimana kondisi cewek itu. Selain ia karena rasa bersalah, ia juga khawatir pada Erin dari sisi 'rasa'nya yang lain.Arvin berbicara dengan Dokter yang menangani Erin sebelumnya. Beliau berkata kalau Arvin bisa berbincang dengan Erin, Erin sudah bisa menyadari sekitarnya, hanya saja jangan pernah membahas Galang.
Dan tentang Galang, tentu keluarga Erin bergerak cepat. Agar tidak ada kemungkinan Erin mendengar kejadian itu di kemudian hari--yang berujung pada dirinya yang bermasalah--, masalah itu dibuat serahasia mungkin. Galang tidak dipenjarakan, Ayahnya memindahkan ia keluar kota dengan perjanjian hukum bila mana ia mendekati Erin dalam radius tertentu, ia akan ditangani pihak berwajib. Well, itu memang tak setimpal, tapi kembali lagi pada kebaikan diri Erin.Arvin menghela napas sebelum akhirnya membuka pintu bercatkan putih di depannya.
Pemandangan Erin yang tengah terduduk di kasur seraya menunduk menyambutnya. Entah apa yang cewek itu lakukan. Hanya membolak-balikkan tangan kemudian bergumam tak jelas.
Suara pintu yang terbuka itu tak ia hiraukan, barulah ketika Arvin berdeham Erin mengangkat wajahnya. Sejauh ini yang dikatakan dokter itu tentang perkembangan Erin yang pesat itu benar adanya."Siapa Anda?" ucap Erin dengan raut berubah dingin. Pandangannya memicing yang jelas memancarkan aura tak suka.
Arvin mengernyit beberapa saat, bertanya-tanya apakah Erin kehilangan ingatannya? Hingga akhirnya Arvin mengingat bahwa dulu Erin juga mengatakan hal itu pada Ayahnya bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Teen FictionNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...