3. Ancaman^

3K 195 2
                                    

"Apa!"
Erin berseru sengit, sorot matanya tajam. Sendok bubur yang sudah ia angkat disimpan kembali pada mangkuk. Mendadak tak berselera, maksudnya semakin tak berselera.

"Pengen aja liat lo makan."

Berbanding terbalik. Jika Erin berwajah masam, maka Arvin berwajah ceria dan terlihat lahap memakan bubur ayamnya itu. Dan yang jelas sedari dari Arvin tak mengalihkan pandangannya dari Erin. Membuat Erin risih.

"Lo kesurupan Jin mana sih sampe jadi aneh kayak gini?"

Ini belum genap 2 kali 24 jam, tapi Arvin sudah mampu membuat Erin sestress ini.
Sekarang Erin yakin seratus persen kalau Arvin memang orang yang tidak menerima penolakan. Seperti sarapan di pedagang kaki 5 ini. Untuk pertama kalinya semasa SMA Erin bolos sekolah, dan itu hanya karena seorang Arvin.
Mungkin Arvin sudah biasa melakukannya, tapi bagi Erin--entah ini terlalu berlebihan atau tidak--tatapan semua orang seolah menjurus padanya, mendakwanya yang berkeliaran dengan seragam sekolah di saat jam belajar. Itu sedikit membuatnya ngeri.

"Kalau dengan kesurupan Jin yang bikin gue cinta sama lo, maka selamanya gue nggak bakal mau diruqiyah."

Apa ini yang disebut gombalan? Apa seperti ini rasanya digombalin? Kenapa Erin tidak merasa melayang-layang seperti yang orang-orang bilang itu.

"Gue serius Arvin," tekan Erin. Giginya mengatup rapat, berusaha menahan diri untuk tidak mengamuk dan mencakar habis cowok itu.

"Gue juga serius sama lo, mau gue buktiin kayak gimana?"

Ya Tuhan ... Erin sudah tak sanggup lagi.

"Mau gue ajak ke rumah biar sekalian dikenalin sama keluarga gue?"

Mulailah Arvin dengan racauan gilanya.

"Atau lo mau gue nyanyi di lapang basket sekolah sambil bawa bunga?"

Siapa pun sihir Erin untuk pindah dari tempat ini.

"Atau lo mau gue buat 1000 burung origami biar lebih berkesan?"

Erin menangkup wajahnya. Ayo Erin, anggap saja Arvin itu kaset kusut milik kakek buyutnya. Biarkan dia, tak usah hiraukan, anggap saja dia tidak ada. Dan mari kita lanjutkan mencicipi bubur ini saja. Meskipun tak berselera tapi perutnya pasti akan sakit kalau tak diisi, apalagi dirinya yang memang punya riwayat maag.

"Bang!"

Erin menulikan pendengaran dari ocehan tak berfaedah Arvin, sepertinya cowok itu bosan sendiri dan berhenti. Sekarang cowok itu memanggil pedagang bubur dengan suara lantang hingga mau tak mau telinga Erin kembali berfungsi normal.
Melihat seberapa lahapnya, mungkin dia mau pesan bubur lagi. Ya setidaknya mulutnya itu tidak akan mengoceh kalau digunakan untuk makan.

"Saya cinta sama bocah ini Bang!" serunya seraya menunjuk Erin.
Erin tentu melotot kaget dan hampir tersedak bubur yang dimakannya, apalagi ketika si Abang itu menoleh dan tersenyum.

Arvin gila! Wajah Erin sudah memerah karena malu. Bukan hanya si Abang saja, ucapan Arvin membuat pembeli yang lain juga menoleh ke arahnya.

Erin menginjak kaki Arvin yang berada di bawah meja. Mulutnya bergerak tanpa bersuara yang entah mengucapkan serapah apa.

"Bang, kayaknya saya bikin pacar saya malu." Suara Arvin melemah. Maksdunya dibuat lemah.

"Nggak usah malu, Neng. itu tandanya pacar neng sayang banget sama neng."

Dia bukan pacar saya Bang! Kalau kata Cinta, yang dia lakukan ke saya itu jahat!
Erin berkamit dalam hati. Dia masih rasional untuk tidak mengucapkannya pada si Abang.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang