Arvin menatap lamat layar ponsel di tangannya. Sejenak ia terlihat berpikir kemudian berakhir pada keluarnya decakan, melihat foto cewek yang beberapa hari ini dekat dengannya.
Jelas-jelas tadi ia bersama dengan Erin, namun orang yang memotret terlalu pandai hingga membuat Erin seolah seorang diri di sana. Fotonya bisa dikatakan normal, namun posisinya yang duduklah membuat setengah dari paha cewek itu terlihat. Rahang Arvin pun kontan mengeras.
"Apa kita nggak terlalu ikut campur?" Devan bersuara. Tangannya terulur menerima ponsel yang Arvin sodorkan. Setelah mengemban tugas sebagai mata-mata, melapor pada Arvin sudah menjadi kewajibannya. Sayang, setiap yang ia laporkan adalah sesuatu yang membuat mood Arvin menjadi buruk. Entah cowok itu menggeram kesal, marah-marah, atau tanpa pikir panjang langsung menghampiri rumah Erin seperti malam itu.
"Kenapa lo tanya gitu?"
Davin menarik napas, menatap sahabatnya yang jelas tak suka atas apa yang ia katakan. "Gue nggak masalah bantuin, tapi apa hal kayak gini bisa kita atasi? Bukan cuma Erin, mungkin di luar sana juga banyak. 'problematika remaja', lo ngerti kan?"
Arvin menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa. Yang dikatakan Devan memang benar, namun sayangnya ini tak sesederhana itu.
"Kita nggak tahu hal fatal apa yang bisa terjadi kedepannya. Gue udah bilang kan sama lo apa yang 'dia' rencanain?" jelas Arvin, ia menatap Devan dengan serius.
"Iya, gue ngerti. Tapi apa lo nggak mikir campur tangan lo bisa bikin kemungkinan buruk itu terjadi. Bandingin, dulu Erin secuek apa sama cowok, sekarang dia enjoy sama lo kan?"
Tanpa sadar tangan Arvin terkepal kuat. Lagi, yang diucapakan Devan benar dan Arvin menolak mengatakan bahwa caranya salah.
"Gue ke sini buat diskusi, Van, bukan buat debat," ucapnya setelah menetralkan emosi dengan helaan napas.
"Ok ok, gue ngerti." Devan mengalah, sedikit banyak ia tahu seperti apa sifat Arvin termasuk kekeras kepalannya yang kalau sudah A, sulit menjadi B.
"Tapi..." Devan menjeda ucapannya, matanya menatap Arvin dengan pandangan sulit diartikan, sekilas ada rasa penasaran yang tinggi di sama.
"Untuk apa sih lo ngelakuin hal ini?"
oOoErin mengayunkan langkahnya malas, lagi-lagi kakak sulungnya itu menyuruhnya untuk keluar malam. Meskipun baru menunjukkan jam 7, namun tetap saja ini sudah gelap.
"Teh kotak, soda kaleng, kacang." Erin menggeleng menatap catatan kecil yang tadi Bang Fadil berikan itu. Sungguh tak habis pikir. Menyuruhnya ke minimarket hanya untuk membeli 3 barang itu.
"Kok nurut mulu sih? Kenapa gue selalu gagal nolak Bang Fadil?" gerutunya. Kakinya berhenti sejenak untuk menghentak-hentak kesal. Beruntung tak ada orang, jadi Erin tak akan dianggap aneh.
Erin kembali melanjutkan langkahnya. Benar-benar sepi di sini, hanya ketukan langkah sendiri yang ia dengar. Tapi.... Sepertinya tidak. Erin seperti mendengar langkah lain, perlahan di belakangnya.
Terlalu hati-hati untuk ukuran orang yang berjalan tanpa maksud 'tertentu'.Tiba-tiba perasaan Erin berubah tak enak. Lebih mendebarkan daripada diikuti Si Penculik--Arvin--waktu itu. Apa orang itu punya maksud jahat, sehingga insting waspada Erin begitu kuat terasa?
Tak ingin berprasangka buruk tanpa bukti, Erin berhenti sejenak. Ia menunduk, menjadikan tali sepatunya yang tadi ia ikat asal sebagai alasan.
Beriringan langkah itu juga terdengar berhenti. Erin menelan ludah gugup, hati-hati ia mencoba mengintip ke belakang.
Dan ya, sepasang kaki berdiri kurang dari 10 meter darinya.Cepat Erin menegakkan kembali tubuhnya, melanjutkan langkah seperti biasa namun sedikit dipercepat tanpa membuat curiga.
Dari posturnya, jelas itu bukan Arvin.Erin menghela napas lega setelah memasuki pintu minimarket. Meskipun orang itu terus mengikuti setidaknya dia tak akan berbuat macam-macam di tempat ramai kan?
Erin mengambil ketiga barang itu dengan cepat, dan kebingungan langsung melandanya begitu berdiri di depan kasir. Erin merasa diawasi.
Apa orang itu juga ikut masuk?Tuhan, tolong lindungi Erin dari segala rencana buruk orang itu.
"Ini kembaliannya, Mbak," ucap kasir dengan nada sedikit tegas, mungkin itu pengulangan kedua kalinya karena Erin yang hanya bergeming.
"Ah iya, terimakasih."
Erin menerimanya dan berlajan pelan ke arah pintu. Ia tak langsung beranjak pulang, hanya berdiri bingung di depan minimarket itu.Apa yang harus ia lakukan? Ia juga tak mungkin meminta Bang Fadil menjemput, ponselnya ia tinggalkan di kamar, dan Angkot pun tak melintas ke depan rumahnya.
PUK!
"Aaa...." teriak Erin refleks ketika bahunya ditepuk. Tubuhnya juga terlonjak kaget.
"Haha... Segitu kagetnya."
Erin menoleh dan mendapati seorang cowok yang kurang lebih sebaya dengannya, tengah tertawa dengan wajah santainya.
Erin menatap bingung, ia tak kenal orang itu, apa orang itu...."Sori bikin kaget, gue cuma aneh aja liat lo yang kayak kebingungan. Lo sadar ya kalo ada yang ngikutin?"
Mata Erin sedikit terbuka, apa dia yang mengikutinya?
"Arah jam 9."
Kening Erin mengernyit tak mengerti, namun meskipun begitu Erin tetap menoleh sesuai intruksinya. Matanya membulat. Pakaian yang sama persis dan yang lebih meyakinkan orang itu langsung berbalik dan buru-buru pergi.
"Gue Galang, satu sekolah sama lo. Mungkin lo nggak kenal gue, tapi gue tau kalo lo Erin," cowok itu tersenyum manis, sementara Erin hanya bisa tersenyum kikuk. Erin baru menyadari kalo cowok yang di depannya itu masih memakai seragam yang jelas merupakan seragam sekolahnya. Erin sudah salah sangka barusan.
"Mau gue anterin nggak?"
"Hah?"
"Tenang nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma khawatir aja. Yang ngikutin lo tadi belum tentu benar-benar pergi."
Benar yang diucapkannya. Terlebih Erin tak tahu maksud jahat apa yang orang inginkan. Tapi apa ikut Galang juga aman?
"Tadi gue nongkrong di sana, itu temen-temen gue. Gue nggak sengaja liat lo waktu datang tadi juga orang mencurigakan di belakang lo. Ternyata lo beneran lagi diikutin ya?" jelas Galang yang menjawab sebagian besar kebingungannya. Dan mengikis prasangka buruknya lagi yang Erin pikirkan.
"Cewek cantik kayak lo bahaya loh jalan sendirian," ucapnya. Erin dapat merasakan bahwa ucapannya serius. Rasa kesal tiba-tiba menyeruak di dadanya. Orang lain juga bisa tahu kalau Erin keluar malam-malam itu bahaya, kenapa Bang Fadil justru begitu sering menyuruhnya untuk keluar?
"Gue nggak tenang kalo biarin lo pulang sendiri. Terserah kalo lo nggak suka, yang jelas gue mau mastiin lo pulang dengan selamat. Tunggu di sini sebentar, gue ngambil motor dulu."
Erin belum sempat berkata-kata, Galang sudah terlebih dulu lari ke arah teman-temannya yang terlihat asyik mengobrol.
Dia orang asing, apa tidak apa-apa menerima kebaikannya?
Ah terserah, yang terpenting sekarang ia pulang dan menceritakan semuanya pada Arvin.
04032019
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Teen FictionNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...