23. Tersadar

1.5K 121 7
                                    

"Vin, beli yang rasa kacang atau nanas?" tanya Dira seraya mengacungkan 2 toples selai di tangannya. Sekarang mereka berdua tengah berada di sebuah super market. Melihat makanan di rumah Dira yang hanya tersisisa 3 butir telur tadi pagi, Arvin pun berinisiatif membawanya belanja sepulang sekolah. Keadaan cewek itu masih kalut, sebagai orang di sekitarnya, mungkin ini menjadi keharusan Arvin.

"Vin?" ucap Dira dengan penekanan. Cowok sama sekali tak menggubris ucapannya,  malah terfokus pada layar ponsel.

"Ah iya, gimana Ra?"

Dira berdecak, "segitu fokusnya sama hp, ngapain sih?!"
Dira setengah melempar 2 toples selai tadi ke dalam trolli yang Arvin bawa. Kemudian dengan kaki yang dihentak-hentak ia berjalan lebih dulu.

Sementara Arvin hanya mengangkat bahu acuh, tak ambil pusing. Ia pun mendorong trollinya dan kembali melirik ponselnya yang menampilkan pesan dari Erin malam itu. Pesan yang hanya ia baca dan tak dibalas sampai sekarang.

"Erin, apa lo bakal bisa ngerti?"

oOo

Pagi menjelang, matahari mulai beranjak dari peristirahatannya. Untuk ukuran siswa yang normal, mungkin sekarang mereka masih bersiap di rumah masing-masing. Tapi untuk Fira, dari 10 menit yang lalu ia sudah berada di ruang OSIS bersama setumpuk berkas dan layar laptop yang menyala.
Tim OSIS kini tengah bekerja keras, karena mendapat kepercayaan langsung dari kepala sekolah atas penyelenggaraan ulang tahun sekolah yang tinggal 2 minggu lagi.
Fira pun harus mengabdikan banyak waktu.
Waktunya untuk Erin pun nyaris tak ada. Begitu mendapat kabar tentang kegilaan Arvin, Fira langsung khawatir. Tapi melihat Erin kemarin yang terlihat baik-baik saja, Fira amat bersyukur.

"Fir, desain yang kemarin dari Rossa ada di lo kan?" tanya Randy, sang ketua OSIS yang kebetulan juga sudah berada di sana.

"Di tas gue, lo ambil aja."
Fira menyodorkan tasnya, ponsel di sakunya tiba-tiba berbunyi, ia memilih mengangkat panggilan yang ternyata dari Mamanya Erin.

"Iya tante?" Karena persahabatannya dengan Erin, membuat Fira juga dekat dengan Mamanya.

"Nggak masuk? Erin sakit?" tanyanya terheran.

"..."

"Oh Neneknya. Iya deh tante, semoga Neneknya cepet sembuh."

"..."

"Iya, sama-sama tante," tutup Fira sopan dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Erin nggak masuk ya?"

"Eh bocah!" ucap Fira setengah terlonjak dari kursinya. Bagaimana tidak, suara Randy yang berat begitu saja terdengar dari arah belakang layaknya listrik yang langsung menyerang jantungnya.

"Ya Ampun Randy, lo ngagetin tau!" kesal Fira.

"Gue nggak niat tuh, gue cuma nanya."

Fira memutar bola mata. Meskipun bertitel ketua OSIS, dan terbukti pintar, terkadang sifat Randy itu benar-benar menyebalkan. Ya, contohnya sekarang.

"Terserah, yang jelas lo nggak berhak tau!" tukas Fira yang kembali fokus pada laptop di depannya. Membuat Randy menggerutu kesal.

oOo

"Fira!"

"Eh, Lang. Kenapa?"

Cepat Galang yang berada di ujung koridor itu berlari ke arah Fira. Mereka sudah saling kenal, dengan perantara Erin tentunya. Dan semenjak Erin tak sekolah, Galang sering menghubungi Fira untuk bertanya tentang cewek itu.

"Ada kabar tentang Erin?" tanyanya begitu tiba di depan Fira.

Sementata itu Fira menggeleng dengan raut tak enak. Ia tak buta untuk tak melihat ketertarikan cowok itu pada temannya. "Masih nggak ada sih, mungkin di tempat Neneknya nggak ada sinyal. Lagian mungkin Erin bakal fokus sama neneknya daripada hp."

Galang mengangguk paham, meskipun terdengar sedikit helaan napas kecewa.

"Yaudah, thanks ya Fir. Kalau gitu gue ke kelas duluan."

"Yo Lang, nanti deh kalo ada kabar, gue hubungi lo."

Fira menghela napas. Jangankan Galang, sebenarnya ia juga menunggu kabar Erin. Entah kenapa nomor Erin selalu tidak aktif ketika dihubungi, begitu media sosialnya yang tak kunjung online.
Dan kalau ditelaah, bukannya nenek Erin yang dari ibunya sudah meninggal? Kalau yang dimaksud adalah nenek dari ayahnya, bukannya hubungan mereka tidak baik? Atau sudah membaik?

"Fir."

"Ya?" Fira membalikkan tubuhnya. Senyumnya seketika luntur begitu melihat siapa yang barusan memanggilnya. Arvin, cowok yang tidak akan pernah mendapat pandangan baik lagi dari Fira.

"Erin kemana?"

Fira berkacak pinggang, "Setelah 3 hari Erin nggak masuk, lo baru nanya dia kemana?" Fira menggeram kesal. Ya meskipun dia sudah melihat Erin baik-baik saja, tapi tetap saja melihat sahabatnya diselingkuhi itu membuatnya geram juga.

"Lo kan 'pacarnya', kenapa nggak tahu Erin kemana? Atau lo juga belum sadar kalau selama 3 hari ini pun nomor Erin nggak bisa dihubungi? Ck! Brengsek!"
Fira langsung membalikkan tubuhnya dan pergi. Lama-lama di depan cowok itu hanya membuatnya ingin meledak saja.

Dan di lain sisi Arvin hanya terdiam. Tangannya yang kebetulan dari tadi tengah memegang ponsel terangkat. Jemarinya bergerak beberapa kali, sebelum akhirnya ia menempelkan benda itu pada telinga.

Tut.... Tut.... Tut....

Kening Arvin mengenyit, apa yang dimaksud Fira dengan tidak bisa dihubungi itu ponsel Erin mati, atau Erin tak mengangkatnya?

'Ha.. Hallo?'
 
Eh?

oOo

"Gue pulang dulu ya," ucap Arvin seraya meraih tasnya yang tadi ia letakkan di atas meja. Dia masih memakai seragam sekolanya, hanya kancingnya yang ia buka dan menampilkan kaos polos putih yang dipakainya.

"Kok udah pulang aja?" heran Dira, sedikit bernada tak senang. Keripik kentang yang tengah dimakan pun mendadak ia simpan ke atas meja.

"Ini udah malem Ra," ujar Arvin yang tidak terlalu memerhatikan Dira dan fokus memakai tasnya.

"Baru jam 8," tegas Dira, tak menerina kalau waktu seperti sekarang disebut malam oleh seorang Arvin.

"Jam 8 itu udah malem Ra, lagian nggak baik kalo cewek sama cowok berduan di rumah gini. Apa yang dibilang tetangga?"

Di luar dugaan Dira justru berdecak dan membuang muka. "Karena Erin kan?" ungkapnya semakin tak senang.

"Bukan--"

"Udah gue tau, ini semua pasti karena dia."

"Ini nggak ada hubungannya sama Erin!" tanpa sadar Arvin meninggikan suaranya. Membuat Dira tertegun beberapa saat.

"Oh yaudah, silahkan pergi." Dira beranjak kemudian masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu cukup keras.

Arvin mengusap wajah. Ia memang salah karena membentak Dira barusan. Tapi itu bukan tanpa alasan. Arvin dalam kondisi memikirkan Erin. Ia masih memikirkan teleponnya tadi dengan Erin.

Setelah mengucapkan 'hallo' Erin tak bersuara lagi. Ia bahkan tak menjawab satu pun pertanyaan dari Arvin seperti "Lo di mana?", "Lo baik-baik aja kan?", "kenapa nggak sekolah?"

Hanya suara dehaman yang membuat Arvin yakin bahwa Erin masih di sana.
Arvin pun tak mematikan teleponnya. Dengan sembunyi-sembunyi ia memakai headset ketika pelajaran berlangsung. Hingga akhirnya sambungan itu terputus karena pulsa Arvin yang habis. Dan Arvin tak sedikit pun mendengar suara Erin.

Arvin melirik pintu kamar Dira. "Gue pulang Ra," ucapanya sedikit keras agar bisa terdengar cewek itu.
Dira sekarang tengah marah, namun Arvin tak akan masuk ke dalam dan membujuknya. Mungkin sudah cukup.
Sekarang Arvin punya sebuah hutang, hutang penjelasan pada Erin yang sebelumnya tak begitu ia pikirkan namun entah mengapa sekarang seperti menjadi sebuah kewajibannya.

04042019

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang