35. Makasih

2.2K 130 2
                                    

Hanya perlu beberapa detik setelah bel itu berbunyi, Dokter beserta rombongan perawat langsung menghampiri. Mereka langsung menangani Erin dan mengusir Arvin beserta Ayahnya. Entah karena prosedur begitu atau menuruti teriakan Erin di sela tangis histerisnya.

Arvin hanya bisa mengamatinya dari jendela kecil di pintu. Perasaan aneh yang sungguh sangat-sangat mengganggu menghampirinya. Arvin memang sempat memikirkan kemungkinan ini, tapi melihatnya terjadi langsung membuat untuk kesekian kalinya ia merasa bersalah.

"Ini semua salah saya."

Arvin menoleh. Pria paruh baya itu menunduk, tanyannya bergerak mengurut kening. Dari ekspresinya Arvin bisa membaca kalau beliau merasa bersalah.
Setelah menemui beliau berdasar data dari Devan kemarin, Arvin mendapati fakta bahwa beliau bahkan tak tahu kalau Erin 'sakit' selama ini. Ia hanya sebatas paham Erin membencinya, dan tak ingin bertemu dengannya.
Sialan memang. Ada rasa ingin menghajarnya kala itu, namun Arvin sadar bahwa ia menemui orang itu tak lebih untuk membantu kesehatan Erin.
Ia ingin Erin sembuh, ia ingin Erin normal seperti yang lainnya.

"Nggak Om, Om nggak salah," ucap Arvin yang menyandarkan tubuhnya pada dinding. Kalau pun membahas tentang siapa yang salah, Arvin lah yang paling tepat untuk disalahkan.
Ia membuat Erin masuk rumah sakit ini lagi dan bodohnya ia berusaha menyembuhkan Erin dengan membawa Ayahnya yang berujung tak baik seperti sekarang.

Tuhan.... Tolong bantulah. Arvin ingin menolong, tapi kenapa hasilnya selalu seperti ini?

"Kalau saya tidak pergi ke sini, Erin pasti tidak seperti sekarang. Bagaimana pun kesalahan saya sangat besar. Bertemu dengan saya hanya mengingatkan luka itu."
Arvin memang sudah menceritakan semuanya yang ia ketahui tentang Erin.
Termasuk dia sendiri yang menjadi dalang kenapa Ayah Erin ada di sini sekarang. Arvin memang bukan psikiater yang paham tentang kejiwaan, tapi ia pernah mendengar teknik penyembuhan orang yang trauma akan sebuah masalah, maka penyembuhannya dengan menghadapkan langsung pada masalah itu.
Oke, Arvin memang asal mencomot teori itu.

Suara handle pintu yang terbuka mengambil fokus Arvin, Dokter Lena yang menangani Erin keluar dengan tatapan sulit diartikan.

"Ikuti saya dan ceritakan," ucap dokter itu seraya berlalu.
Arvin mengikuti dengan langkah lesu. Dia siap untuk dimarahi.
oOo

Arvin hanya disuruh pulang. Erin sudah tertidur tenang dengan obat yang disuntikkan. Tapi bukan itu yang kini Arvin pikirkan, melainkan ucapan Dokter Lena.

"Saya belum tau pasti, tapi sepertinya Erin akan menolak bertemu kamu lagi."

Dokter Lena juga bilang itu hanya perkiraan saja, karena beliau juga belum melakukan pemeriksaan, tapi itu cukup membuat Arvin terpaku di tempat.

Mungkin terpukul mundur ketika hari ini ia ingin menjenguk Erin, ia diusir oleh petugas di sana. Bukan karena Erin tak bisa dibesuk, tapi karena Erin tak mau bertemu dengannya.

Waktu seolah berputar lambat. 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, dan 3 bulan Arvin begitu merasakan bagaimana kosongnya hidup dia tanpa bisa bertemu Erin. Bukan aneh, tapi inilah yang sebenarnya terjadi.

"Huuhh...."
Arvin meniupkan asap dari rokok yang dihisapnya. Ia terduduk tanpa fokus pandangan di salah satu sudut lapangan basket. Berada di pinggiran dan sudah jarang orang yang memakai membuat suasana di sini begitu sepi.

Devan yang mengajaknya kemari. Dia bilang hidup Arvin sekarang terlihat begitu suram dan butuh sedikit hiburan.
Arvin terkekeh. Sialan memang, apa hidupnya terlihat semenyedihkan itu?

Erin, bagaimana kabar gadis itu? Apa baik-baik saja? Apa begitu besar dia membeci dirinya? Atau sekarang Erin malah sudah lupa akan dirinya?

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang