Pukul 00.21, Arvin membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Pihak Rumah Sakit menyuruh semuanya untuk pulang. Sekali lagi itu bukan rumah sakit biasa di mana keluarga pasien bisa menunggu. Sementara ketika ditinggalkan tadi, Erin masih tertidur, efek dari obat yang disuntikkan.Arvin menghela napas, ini benar-benar jauh dari bayangannya. Memikirkan tentang orang yang memiliki gangguan saja Arvin tak pernah.
Yang Arvin takutkan, ini akan menjadi titik terburuk lagi bagi Erin.Arvin telah mengingatkan traumanya, dan di kondisi itu Galang malah bertindak yang orang dengan kondisi mental baik saja akan langsung down.
Arvin melipat tangannya untuk dijadikan bantalan. Ngiang cerita Mama Erin membuatnya seolah bisa menggambarkan apa yang terjadi pada langit-langit polosnya. Terbayang bagaimana di posisi Erin membuat dadanya sedikit berdenyut.
"Apa yang harus gue lakukan, Rin?" gumamnya dengan mata yang mulai ia pejamkan. Berharap Tuhan akan memberikan jalan terbaik untuk semuanya.
oOoErin terduduk di atas kasur dengan mata yang menatap kosong. Tangannya mulai terangkat menyentuh perban luka yang menempel di pipinya. Air mata meluncur tanpa mengubah tatapannya.
"Ayah ninggalin Mama karena Maria cantik. Ayah pilih Maria karena Maria cantik."
Erin mengatupkan bibirnya sejenak untuk menahan suaranya yang bergetar."Fira bilang Dira itu nggak cantik, tapi kenapa Arvin tinggalin Erin? Kenapa Arvin pilih Dira?"
Mama Erin yang sedari tadi duduk di bangku samping ranjang Erin mengusap air mata yang sudah hampir jatuh dari matanya. Ia tahu Erin tak akan pernah menyadari kehadirannya--bahkan siapa pun, putrinya tengah bergelut dengan duniannya sendiri.
Ruangan ini hanya ruangan biasa. Bukan ruang isolasi yang hanya dipantau monitor, atau ruang dengan tali yang mengikat pasiennya di ranjang agar tak melakukan hal brutal.
Erinnya memang tidak gila, ia tak membutuhkan ruang sepi atau tali, hanya saja Erin yang seperti ini tetap saja membuat hatinya sakit.
Dokter Lena yang memang menangani Erin dari kecil bilang, dirinya harus tenang dan bersyukur karena Erin tak akan pernah bertindak melukai dirinya sendiri. Dan mengenai kejadian Galang, itu tak membuat luka baru di jiwa Erin selama tak ada hal yang membuat Erin berpikir di sana, karena masalah Erin tetaplah pada titik yang sama. PR-nya adalah membuat Galang seolah hanya ada dalam imajinasi Erin.
"Apa Erin terlalu buruk hingga semuannya ninggalin Erin? Padahal Erin udah bisa masak, Erin udah berusaha menjadi cantik. Erin juga nggak pintar dan ngalahin laki-laki. Tapi kenapa semuanya tetap pergi?"
Anita memeluk putrinya, ia menangis di sana meski Erin tak bereaksi apa-apa.
"Maafin Mama sayang. Ini semua salah Mama. Mama yang tak pandai menjaga suami, Mama yang tak bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu, maafin Mama."
oOoBell pulang sekolah berdentang, Arvin berniat datang kembali ke Rumah Sakit. Ketidak hadiran Erin membuat yang lainnya bertanya-tanya. Entah Fira sudah tahu perihal apa yang terjadi pada Erin atau dia hanya berinisiatif beralibi sendiri, dia bilang nenek Erin meninggal, karena itu hari ini dia tidak hadir.
Kelas mulai sepi, Fira masih setia di bangkunya. Beberapa kali ia menempelkan ponsel pada telinga, kemudian mendesah kecewa karena tak mendapat yang ia inginkan.
"Kenapa Fir?" Arvin tahu Fira tak mengetahui perihal kondisi Erin sekarang atau apa yang menimpa gadis itu. Tapi sebagai sahabat, Arvin yakin Fira sudah tahu tentang masa lalu Erin.
"Bukan urusan lo," tukasnya ketus. Tanpa melihat Arvin di depannya, Fira membereskan barang-barangnya yang masih ia terlantarkan.
"Gue tau di mana Erin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Ficção AdolescenteNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...