28. Dia Sebenarnya

1.7K 115 0
                                    

"Duh... Kayak nggak bergairah hidup aja Bang?" ucap Devan dengan dagu yang ditopang. Ia menatap Arvin di depannya lekat-lekat sebelum akhirnya gelegar tawa pecah di mulutnya.

"Anjir sumpah kocak banget liat tampang lo yang kayak gini," ucapnya seraya memegang perut yang terasa sakit saking semangatnya ia tertawa. Mungkin Devan perlu melingkari kalender, menandai bahwa ini adalah awal hari terbaiknya.

"Ada hal lain nggak sih selain ngejek gue?"

Devan menggeleng mantap. Ia sangat puas, sangat-sangat puas meledek si bajingan ini.

"Gue nggak yakin Dira atau Erin bakal suka sama lo kalo tampang lo kayak gini." Devan sedikit menelengkan kepalanya. Mata sayu dengan ekspresi ditekuk, hari ini tampilan Arvin benar-benar ancur.

"Lanjutin aja Van, sekalian lo sebut gue itu orang jelek bersertifikat."

Devan berusaha menahan tawanya agar tak terlalu keras, perutnya benar-benar sudah sakit. Namun Arvinnya itu benar-baner mengocok perut.

"Lagian kenapa lo bisa kayak gini. Jangan bilang karena aksi idiot lo yang labrak Erin sama Galang itu?"

Arvin malas mengatakan 'Ya', karena pada akhirnya Devan akan meledeknya lagi, lagi, dan lagi.

"Haha... Anjir bego. Gue kasih Erin nilai 100, orang kayak lo emang pantes digituin."

Lihat? Kadang Arvin merasa ia telah salah memilih sahabat.

"Galang," geram Arvin yang sudah bodo amat dengan ledekan Devan.

"Berani-beraninya dia nyuri kesempatan dalam kesempitan gitu."
Tangan Arvin yang berada di bawah meja terkepal. Ketika mengingat cowok itu, tangannya langsung terasa gatal dan ingin meninju wajah cowok itu sekeras mungkin.

"Well, ada yang ngomongin gue nih."

Arvin mengeraskan rahang. Tanpa menoleh pun Arvin tahu itu Galang.

"Kenapa nih, nggak terima gue kalahin ya?" Galang kemudian tertawa dan meminum soda kaleng yang memang dibawanya.

"Ngerasa lebih baik dari Arvin lo?" Devan bersuara. Mungkin ini yang disebut sahabat sejati. Di depan menghina, tapi di belakang membela. Ok, Arvin cabut kata-katanya tentang ia salah memilih sahabat.

"Haha.... Nggak usah banyak laga deh, pacar temen sendiri dibikin 'bahan'. Lo-ser."

"Maksud lo apa hah?!" Devan langsung bangkit dan menggebrak meja. Beruntung keadaan kantin tak terlalu ramai.

"Udah deh Van." Arvin menenangkan walaupun wajahnya sudah menampilkan kekesalan setengah mati. Beruntung otaknya masih bekerja dengan baik hingga ia tak langsung menghajar Galang dan membuat dirinya semakin minus di mata Erin.

"Hati-hati ya bro, dia temen apa 'temen'?" Galang menepuk-nepuk pundak Arvin. "Dan soal Erin, bentar lagi dia bakal jadi milik gue," ucapnya sebelum pergi dengan senyum kepuasannya.

"Bangke, pake buka topeng segala, keliatan kan kalo dia cuma sok baik di depan Erin," ucap Devan yang sepertinya masih dibalut kekesalan. Arvin menarik sudut kiri bibirnya.

"Dia yang lo bela itu."

"Siapa yang bela dia?" ucap Devan tak terima.

"Yang cinta pun kalah sama yang sela--"

"Gue nggak bela dia!" potong Devan, membuat Arvin yang menirukan ucapannya itu berhenti dan terkekeh.

"Intinya lo itu pernah bela dia."

Devan tak ingin melanjutkan perdebatan. Ia mengambil minumannya dan meneguk hingga habis.
Arvin pun hanya menggeleng-geleng kecil.

"Di sini Rin!" suara Galang kembali terdengar.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang