16. Ayah, Jerawat, dan Sebuah Janji

1.8K 138 5
                                    

"Seriusan nih kita cuma muter-muter doang? Beneran nggak mau beli apa-apa? Atau makan gitu?"
Erin yang berjalan di samping Arvin hanya menggeleng tak bersemangat. Meskipun beberapa kali matanya melirik pada barang-barang yang dijajarkan, namun ia tak mendapatkan ketertarikan barang sedikit pun.

"Lo pendek juga ya," ucap Arvin setelah beberapa saat memerhatikan cewek yang masih enggan melepas plesternya meski Arvin sudah membujuk beberapa kali itu. Tangan cowok itu bergerak menepuk-nepuk puncak kepala Erin, seolah menegaskan bahwa postur cewek itu memang kurang. Tak lama kemudian terkekeh senang.

"Gue lagi de javu atau lo emang udah terlalu sering ngeledek gue?" ujar Erin sedikit kesal.

"Eh, emang gue sejahat itu ya?"

Erin memilih menghembuskan napas kasar, tak berniat meladeni. Tak perlu lagi ada pertanyaaan, sudah jelas cowok itu jahat di atas jahat. Mana ada cowok baik yang maksa pacaran kan? ngajak bolos di jam pelajaran? Ih....

"Nanti deh kapan-kapan gue ajak lo main basket biar tinggi lo nambah."

"Enggak!" ucap Erin cepat.  Topik intinya kan dia ngajak Erin makan, tapi kenapa malah keterusan membahas tinggi badan Erin begini?

"Pokoknya suatu hari gue bakal ajak lo main basket, pasti. Tenang, gue tau lo nggak suka panas-panasan, gue pastiin tempatnya aman."

Apa lagi yang bisa Erin lakukan selain pasrah. Ia seperti sudah terbiasa dengan watak cowok itu. Sepertinya.

"Eh poster film itu keren, gimana kalau kita--"

BRUK!

"Maaf."
Karena tak memerhatikan sekitar Arvin malah tak sengaja menabrak seseorang.
Barang-barang orang itu berjatuhan, namun syukurlah Arvin cukup sigap untuk menunduk dan memungutinya.

Sayangnya itu justru membuat Erin mendapat akses untuk melihat siapa orang yang ditabrak Arvin. Dan seketika ekspresi Erin pun langsung berubah.

"Gue pengen ke toko kosmetik yang waktu itu," ucap Erin tiba-tiba seraya menarik tangan Arvin.
Membuat paper bag yang sudah Arvin pungut kembali jatuh.

Arvin sedikit menahan tubuhnya, ia menatap bingung Erin serta orang yang ditabrak yang merupakan sebuah keluarga kecil. Yang terdiri dari Ayah, Ibu, serta seorang anak berusia sekitar 5 tahun.
Arvin tak bisa begitu saja pergi, Arvin harus betanggung jawab kan?

"Gue bilang gue mau ke toko kosmetik itu!" suara Erin sedikit meninggi karena Arvin yang tak juga mau menurutinya. Cowok itu malah terbengong.

"Erin Ayah ingin bicara sebentar," Sang Ayah dari keluarga kecil itu tiba-tiba berucap. Hingga membuat Arvin menebak dalam pikirannya bahwa Erin berasal dari keluarga yang tidak utuh.

"Sejak kapan Anda punya hak untuk bicara!"

Ini tidak beres!

"Buruan kita pergi Vin!" Erin menatap Arvin memohon agar cowok itu segera ikut dengannya. Sebelum sesuatu yang tak diinginkan juga tengah ditahannya kini terjadi.

"Erin Ayah--ERIN!" teriak Surya begitu Erin berlari tanpa mendengarkan. Dia memutuskan untuk melepaskan cekalan pada Arvin dan pergi sendiri tanpa tujuan.

"Tuhan...." Ayah Erin terdengar menghela napas dan mengusap kasar wajahnya. Sementara Sang Istri mengusap-ngusap lengannya untuk menenangkan. Mengejar Erin sama saja dengan memperburuk keadaan.

"Nggak papa Mas, mungkin sekarang masih belum waktunya."

Arvin tak ingin mendengar lebih banyak lagi, ia tak ingin ikut campur. Oleh karena itu cepat-cepat ia pamit. Bagaimana pun mereka orang tua, Arvin harus punya kesopanan apalagi sudah membuat belanjaan mereka berjatuhan.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang