14. Ayah, Jerawat, dan Jus Alpukat^

1.8K 143 1
                                    

"Udah beres, Rin?" tanya Fadil begitu Erin menyelesaikan acara sarapan dengan piring yang masih terisi tiga perempatnya. Adiknya yang biasa cerewet itu hanya terdiam dan mengabaikan semua pertanyaan yang diajukan.

"Piringnya kumpulin aja, biar aku cuciin pulang sekolah," pesan Erin yang kini sudah menyambar tasnya. Memakainya dengan buru-buru juga pandangan yang lebih sering ia jatuhkan ke lantai guna tak menjalin kontak mata dengan siapa pun.

"Rin, soal ayah it--"

"Aku udah ada acara!" potong Erin cepat juga nada yang meninggi.

Fadil menatap Erin intens, ia menghela napas, "Kamu bohong kan? Sampai kapan kamu ma--"

"Kalo aku bohong! Emangnya kenapa?" lagi-lagi Erin menyambar ucapan Fadil. Suasana hatinya memang tidak baik sejak ucapan Fadil tadi malam.

"Rin!"

Liza langsung menahan Fadil begitu pria itu hendak menyusul Erin yang berlalu. Meskipun masih ber-rok biru, tatapannya mengisyaratakan bahwa ia sudah cukup dewasa untuk memahami situasi ini.

"Bang Fadil bukan Kak Erin. Biarin dia, dia yang lebih tau apa yang mesti dilakukan buat kebaikannya sendiri," ucapannya pada kakak tertuanya itu.
oOo

"Dahi lo kenapa?" Itu pertanyaan ketiga Arvin dengan kalimat yang sama, 3 kata yang sama, serta 12 huruf yang sama. Nada yang ia gunakan juga masih sama, seolah sikap acuh Erin tak membuatnya menyerah.

"Lo kepo banget, emangnya segitu ngeganggu buat pengelihatan lo?" Erin berseru jengkel. Erin sudah repot-repot memasang plester di dahinya guna menutupi, tapi cowok itu malah semangat untuk mengoreknya.

"Bukan kepo, gue khawatir. Cowok lain juga bakal khawatir kalau dahi pacarnya diplester gitu," jelas Arvin yang tak mau kalah.

"Ini jerawat, puas?" Erin memutar bola matanya kesal.

"Aw..." Ringis Erin ketika tanpa perhitungannya Arvin mencabut plester itu.

"Lo gila ya? Sakit tau!" seru Erin dengan nada tinggi. Beruntung di sekolah ini belum terlalu banyak siswa yang hadir karena masih pagi, kalau tidak mereka pasti sudah jadi perhatian di area parkir itu.

"Ternyata beneran jerawat." Arvin mangut-mangut. "Jerawatnya kecil lo pake plester segede gini," lanjutnya seraya mengacung-acungkan plester itu. Plester instan yang umumnya digunakan untuk membalut jari yang teriris.

"Pasangin lagi nggak!" ancam Erin dengan mata melotot, yang tak akan berarti apa-apa untuk Arvin yang sedang dalam mode jailnya.

"Segitu malunya ya ngaku kangen sama gue," godanya dengan senyum menyebalkan. Membuat Erin memutar mata kenapa di era modern ini masih ada orang yang percaya mitos bahwa jerawat adalah lambang dari rasa yang terpendam.

"Jerawat ini bukan karena gue kangen lo! Ini karena panas-panasan kemarin Arvin! Geeran banget sih!"

Itu justru membuat Arvin semakin senang, apa yang lebih menghiburnya dari melihat Erin yang kesal setengah mati seperti ini.

"Ini kegedean sayang, orang lain bakal mikirnya lo kenapa-napa kayak gue tadi." Memang, Arvin tadi sempat cemas dan berpikir Erin terluka.

"Gue nggak peduli, mending mereka mikir gitu daripada tau gue jerawatan."

Lagi-lagi Arvin tertawa, yang membuat Erin diam-diam mengepalkan tangan karena ucapan seriusnya dianggap bercandaan.

"Dengan wajah sesempurna lo, lo masih peduliin jerawat yang sekecil itu."

Kalau saja Arvin yang tidak tiba-tiba memutar tubuh Erin, dia pasti akan melihat perubahan air muka Erin, ekspresi yang belum pernah Erin tunjukkan sebelumnya. Khususnya di depan Arvin.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang