"Ih! Lo kok pake duduk di samping gue segala?!"
Batagor yang berlumur bumbu lezat yang hendak dimasukkan ke dalam mulut Arvin itu tertahan. Wajah cowok itu yang sedari fokus menghadap mangkuk kini menoleh setelah Erin mengeluarkan nada kesalnya.
"Lah bukannya lo sendiri yang ngajak ke kantin?"
Erin berdecak kemudian menggigit bibirnya. Matanya memerhatikan sekitar. Bukan apa-apa, sedari tadi rasanya semua menatap ke arah mereka--Erin dan Arvin. Erin memang sudah terbiasa diperhatikan, namun tidak dengan tatapan aneh yang tak Erin mengerti maksudnya itu. Yang jelas ini pasti karena dirinya dan Arvin duduk bersebelahan. Tepatnya di bangku sudut yang mana akses untuk Erin keluar dari bangku itu terhalang oleh tubuh Arvin.
"Maksudnya lo nggak usah ikut, gue aja yang ke kantin." Ini benar-benar tak nyaman. Apalagi cewek-cewek yang di pojok sana menatap secara terang-terangan kemudian berbisik dan cekikikan tidak jelas.
Erin tak mungkin salah penampilan, ia tipe orang yang tak akan meninggalkan cermin sebelum perfect. Jadi bisa dipastikan mereka cekikikan bukan karena itu."Gue juga pengen makan kok."
Ah Arvin memang diset untuk acuh pada sekitar seperti itu ya?"Ya pisah meja kek, jangan di samping gue." Seumur-umur mereka tak pernah duduk semeja di kantin seperti ini.
"Kenapa?"
Kenapa? batin Erin membeo. Erin tak tahu jawabannya apa, tapi yang jelas mereka tak boleh dalam posisi seperti ini. Selain tatapan-tatapan itu, rasanya nafsu makan Erin langsung hilang kalau ada Arvin di dekatnya. Padahal Erin tak jijik pada cowok itu, tapi entah kenapa begitu.
"Ada hati yang lo jaga ya?"
Mata menatap membelak. Kenapa Arvin malah berpikir ke sana? Hati siapa? Erin kan--
"Maksud gue fans-fans lo itu. Nggak usah sok shock gitu, gue tau lo jomblo dari lahir."
Dengan sekuat tenaga Erin menginjak kaki cowok itu.
"Apa?" Erin melotot ketika Arvin menoleh padanya, hendak memprotes.
Arvin tiba-tiba melunakkan ekspresinya. "Sakit tau kaki aku yang, janji nggak bakal gitu lagi deh," ucap Arvin dengan suara sengaja ditinggikan dan penekanan pada kata yang membuat Erin membelalak itu. Selamat Arvin, ucapannya itu semakin menarik perhatian orang lain.
"Apaan sih!"
Arvin tertawa kemudian melanjutkan makannya. Batagor di katin ini memang yang terbaik, tak akan pernah ada duanya. Tapi ya ... sadar situasi oy!
"Lagian lo kenapa sih segitu nggak maunya sama gue?" tanyanya terlalu santai hingga Erin berpikir dia niat bertanya atau tidak sih? Padahal yang seperti itu bisa dikatakan serius kan?
Pertama-tama Erin menarik napas dalam dulu, membuat dirinya rileks. Ia mengangkat jemarinya seperti anak TK yang hendak bergitung.
"Lo sering ngerokok--ya meskipun nggak di sekolah, lo sering berantem, sering kesiangan, di absensi juga banyak bolosnya, terus...." Erin menengadahkan pandangannya mencari keburukan Arvin lagi. Kalau waktu itu Erin hati-hati agar mulutnya tak mengungkap kata-kata tak baik itu, sekarang ia tak peduli.
"Jangan tilai buku dari sampulnya." Arvin setengah mendengus. Tak terima Erin ungkapkan semua keburukannya.
"Lah emang lo deketin gue bukan karena luarnya?" Erin malah balik bertanya. Meskipun samar terlihat Erin memasang wajah tak suka.
"Gue tau lo deketin gue karena cantik. Kan lucu kalo lo bilang lo liat gue dari dalem sementara lo tau sendiri gue nggak punya kelebihan selain otak pas-pasan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Teen FictionNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...